Niar's Family

1132 Words
"Iya, Bu. Alhamdulillah Niar udah dapet kerja, kok. Kemarin mau ngabarin Ibu belum sempat karena sampe kos langsung kerjain tugas kuliah dan ketiduran." Niar bercerita kepada ibunya melalui ponsel. "Alhamdulillah, Nak. Maafin bapak dan ibu, ya. Kamu jadi sampai harus nyambi kerja di sana. Padahal harusnya fokus kuliah." Suara ibunya sedikit bergetar saat mengucapkan sykurnya. Niar yang mendengarnya menjadi sedikit terharu dan segera menukas, "Aduh, Bu. Ini tuh emang keinginannya Niar, kok. Beneran nggak ganggu kuliah, jamnya aja bisa diatur, loh. Makanya Niar agak lama nyari kerjanya tu soalnya cari yang jamnua fleksibel bisa diatur-atur gantian sama karyawan lain yang emang sesama mahasiswa juga." "Iya, Nak. Tapi seharusnya kami yang mencukupi kebutuhan kuliah kamu, tapi nyatanya malah begini ...," "Beneran nggak masalah, Bu. Justru ini bisa jadi ajang pengembangan diri buat Niar. Kan jadi lebih dulu tahu dunia kerja tu kayak apa, meskipun bidangnya gak sesuai, sih, wkwkwk." Niar berusaha membuat suaranya terdengar ceria demi membuat ibunya tak merasa sedih. Wanita yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang meski tak luput dari kecerewetan khas ibu-ibu pada umumnya itu tak patut merasa sungkan karena hal yang di luar rencananya. Mana ada orangtua yang tak mau membiayai anaknya? Mana ada orangtua yang ingin anaknya putus sekolah? Hanya saja kondisi usaha mereka di kampung memang tengah diterpa kemunduran sehingga mau tak mau, harus ada pengeluaran yang dipangkas. Bu Nani dan Pak Herman--orang tua Niar--bekerja sebagai pedagang pakaian di pasar tradisional daerah Jombang di mana mereka tinggal. Biasanya usaha mereka lancar saja. Meskipun tentu terkadang sepi dan ramai pembeli, itu hal biasa dalam dunia perniagaan. Karena keterampilannya mengatur keuangan, Bu Nani kerap menyisihkan penghasilan toko mereka saat ramai sebagai dana cadangan bila saat toko sepi. Begitulah biasanya, yang penting semua pengeluaran dapat terpenuhi setiap hari. Akan tetapi, badai ekonomi menerjang keluarga mereka saat Pak Herman tertipu agen grosir abal-abal yang melakukan kecurangan transaksi dengan mengirimkan pakaian yang tidak sesuai dengan pesanan mereka. Padahal, saat itu Pak Herman tengah memakai hampir sebagian besar modalnya untuk mengambil stok di agen tersebut. Tergiur harga murah tanpa memeriksa dahulu kualitas bahan dan jahitan, membuat ia rugi besar karena ternyata barang yang dikirim tidak sama dengan gambar di katalog yang mereka tawarkan. Pihak agen sama sekali tidak merespon saat Pak Herman memprotes dan mengajukan retur. "Tidak bisa, Pak. Kami tidak menipu. Anda sudah melihat katalognya, memilih sendiri untuk memesan, dan kaki telah mengirimkan pesanan Bapak tanpa kurang suatu apa ...," "Tanpa kurang suatu apa bagaimana! Ini tidak sama seperti di gambar. Katalognya bagus-bagus gambarnya. Mana bisa yang datang seperti pakaian kumal begini. Bahannya juga tampak sekali ini amnil yang grade rendah sehingga pasti harganya murah. Saya merasa ditipu, ya!" Sontak Pak Herman menyela jawaban santai orang dari agen grosir tersebut dengan berang. "Tapi kami tidak melakukan penipuan, Pak. Kami canrumkan semua detail bahan di insert katalognya. Bapak sendiri sebagai pembeli harus bisa memnedakan kualitas berdasarkan harga," bantah sang perwakilan agen dengan nada culas. "Apanya yang tidak penipuan. Bahannya memang benar yang tercantum di katalog, tetapi biasanya semua agen yang pernah kirim ke saya ya pakai grade yang terbaik. Mana ada yang pakai grade rendahan seperti ini?" Sambil mengacung-acungkan beberapa helai baju yang menjadi perdebatan mereka saat itu. Sang wakil agen mendecih sambil melanjitkan perkataannya bahwa seharusnya Pak Herman juga berpikir bahwa harga pastilah sesuai kualitas. Tidak mungkin mereka menjual baju dengan bahan yang sama persis dengan harga yang jauh lebih murah dari agen lain, bukan?. Ah, memang saat itu Pak Herman begitu fokus dengan harga murah yang ditawarkan. Selisih yang lumayan dari harga pasaran pada umumnya membuatnya segera ingin memenuhi stok toko yang kebetulan memang sedang habis dengan baju dari agen tersebut. Betapa terkejut saat yang datang tak sesuai persangkaan. Gambar yang di katalog sama saja seperti katalog dari egen lain, tetapi yang datang grade bahannya jauh di bawah kualitas dari agen lain yang biasanya menjadi langganan Pak Herman. "Saya mau retur, ya. Bagaimanapun juga saya merasa tertipu. Gambar dengan barang tidak sesuai sama sekali. Itu termasuk penipuan dalam transaksi apalagi saya tidak datang sendiri ke lokasi tetapi memakai jasa pengiriman seperti ini." Menjeda sebentar untuk menarik napas, Pak Herman kemudian melanjutkan, "Seharusnya kalau memang memakai grade bahan rendah bisa dicantumkan dalam keterangannya. Lagipula juga harus mencantumkan gambar real dari baju yang dijual tersebut. Bukannya gambar modelnya saja dengan realita bahan yang serendah ini!" tukas Pak Herman semakin emosi. Si agen tak memedulikan segala protesnya karena menurut pembelaan mereka, kualitas bahan yang ditawarkan sudah disesuaikan dengan harganya. Kesalahan tetap berada pada pihak pembeli yang tak teliti menanyakan atau memeriksa dahulu sebelum memutuskan memesan dalam partai besar. Bu Nani yang sejak awal telah merasakan sedikit keanehan dengan harga yang ditawarkan hanya diam. Ia sudah memperingatkan suaminya untuk tak tergiur harga miring dari agen baru dan mengabaikan tawaran dari agen langganan mereka kalau itu. Namun, Pak Herman berkeras ingin esan karena ia berdalih mungkin saja harga miringnya itu sebagai trik promo menggaet sebanyak mungkin pedagang pakaian untuk berlangganan kepada mereka sebab agen tersebut masih promo pembukaan. Kini saat benar telah terjadi apa yang ditakutkannya, wanita paruh baya itu hanya dapat mengelus d**a menyabarkan dirinya sendiri. Suaminya memang terkadang ceroboh sekali. Ada beberapa kali juga mereka tertipu, tetapi tak sebanyak kali ini. Modal mereka hampir semua terpakai dan kondisi stok toko sedang sangat sedikit. Semntara barang yang datang tak mungkin mereka pajang sebab tak sesuai dengan yang mereka jual sebelumnya. Kalau dipajang juga, mereka takut para pembeli akan kabur dan memasang mindset bahwa baju di toko mereka kualitas rendahan. Hal yang tentu akan berakibat fatal sebab branding mereka dipertaruhkan. Akhirnya Pak Herman mengambil hutang modal di koperasi pasar dan memesan kembali dari agen langganan. Bu Nani yang selama ini menjaga sekali agar mereka tak sampai meminjam modal pun pasrah. Bagaimana lagi, sudah tak ada simpanan. Ingin menyalahkan suaminya tapi ia kasihan. Bagaimana pun, niat Pak Herman pastilah untuk memajukan toko mereka. Kalau akhirnya terjerat penipuan, itu hal lain, pikirnya. Mungkin memang takdir Allah sedang menginginkan keluarga mereka lebih belajar lagi dari pengalaman dan berhati-hati dalam melakukan transaksi. "Maafkan Bapak, ya, Bu. Gara-gara Bapak gak nurut sama ibu, nih. Kita jadi terpaksa berhutang." Pak Herman berucap lirih penuh penyesalan. Digenggamnya tangannsang istri untuk meminta pengertian. "Ya sudah lah, Pak. Yang penting mulai sekarang tidak diulangi kesalahan yang sama. Bapak itu jangan buru-buru kalau memutuskan sesuatu. Dipikir dulu yang tenang, ditimbang segala kemungkiannya dan harus mau menerima masukan dari orang lain, khususnya dariku." Pak Herman diam mendengarkan perkataan istrinya yang memang baru terasa kebenarannya. "Aku ini kan juga sama ingin toko kita lancar laris, Pak. Tapi bukan dengan cara meminimalisir modal jualan dengan mencari baju berharga murah. Kan kita seharusnya tahu mana ada pedagang mau rugi, jual baju bagus dengan harga jauh di bawah pasaran. Pasti ada kemungkinan bahannya yang dipermainkan. Bapak sih tidak percaya sama feeling Ibu," nasihat Bu Nani panjang lebar menceramahi suaminya. ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD