004:RAIN-FLASH BACK-SHANNA

1629 Words
Masih, Bandung di masa lalu. “Pep, sini sebentar,” ujar Kang Leo begitu meeting selesai. Gue memperlambat gerakan, masukin tablet dan sok-sokan ngerapihin isi tas. Iya, kepo aja gitu apa yang mau disampaikan leader kami di sini. “Mulai besok, urang ngga mau ya dengar kamu manggil si Uwik dengan fabel names Piggy.” Halus banget nadanya si Akang. Peppy mendengus. “Pep?” “Iya, Akang.” “Jangan marah dong?” “Ngga marah sih. Ngga ada ruginya juga buat aku. Cuma heran aja, si Piggy aja ngga kenapa-kenapa.” Yang tadinya Kang Leo duduknya tegak, sekarang jadi lesu. Berasa ngomong sama anak kecil mungkin. “Pep?” tegur Kang Leo lagi. “Buktinya apa kalau dia keberatan?” tantang Peppy. “Ya ngga ada sih.” “Kenapa Akang mikirnya aku milihin nama Piggy karena aku nge-bully dia? Akang ngefitnah aku lho.” “Kok jadi gini sih?” “Di pertemuan selanjutnya, aku bakalan tanya sama Piggy, kalau memang dia keberatan, that would be ok. Tinggal cari nama lain kan?” “Hmm,” gumam Kang Leo, diiringi anggukan. “Lagian, Kang … kalau di dongeng-dongeng gitu, Piggy tuh ceria, suka main, semangat banget, ramah, supel, kreatif, dan lain sebagainya. Kenapa Akang mikirnya hanya ke body sih? Akang nih yang body shamming!” “Kenapa jadi urang yang salah ya?” “Ngga salah. Aku cuma bingung aja, kenapa pikiran Akang dan yang lainnya malah ke badannya Piggy aja. Sampai ngga lihat karakter baiknya. Jangan-jangan, Akang nilai aku tuh sombong dan haus perhatian ya karena aku milih fabel names Peppy alias merak? Akang ngga tau kalau merak betina tuh jelek?” “Astaghfirullah. Ngga gitu maksud urang, Pep.” “Atuh jangan mikir yang jelek-jelek dong ke aku, Kang. Kan tinggal tanya dia aja, suka atau ngga, kalau ngga suka ya cari fabel names yang lain.” “Hmm. Oke.” Nyerah dah si Akang. “Ya sudah, aku pulang ya Kang?” “Urang anter mau teu?” “Ngga mau ah.” “Kenapa gitu? Malah ngambek kan?” “Ngga ngambek kok, Akang Leo yang baik hati.” “Terus?” “Nanti aku dikira pacarnya Akang.” “Lah?” Gue sontak terkekeh. “Bee?” “Naon, Kang?” “Eta awewe ngomongnya mah halus banget. Tapi nyelekit.” “Kerjain skripsi aja udah,” sahut gue sembari tertawa. “Ngga usah mikirin nganter-nganter cewek dulu. Buruan lulus, kerja, traktir kita deh.” “Eleuh!” Biasanya, Shanna pulang bareng Bara. Tapi, tadi Bara ditelpon mamanya untuk jemput beliau di tempat kerja. So, harusnya malam ini jadi jatah gue pedekate sama Shanna. Masalahnya, sedari tadi pikiran gue justru terganggu dengan tangisannya Uwik. “Bara mana, Rain?” tanya Shanna begitu ngga mendapati tebengannya di halaman basecamp. “Mamanya minta jemput.” “Oh.” “Mau naik ojol dari sini atau makan mie ayam di depan dulu?” “Kamu yang traktir?” “Iya.” “Oke. Makan mie ayam dulu kalau gitu,” tanggapnya riang. Lucu banget! Gemesin! Gue pun mengangguk. Ada kios mie ayam di depan komplek tua tempat basecamp kami berada. Harganya murah meriah, tapi rasanya juara pisan! Dikasih makan ini mie ayam tiga kali sehari pun ngga bakal gue blenger. Dan hebatnya lagi, mau makan di sini ataupun dibawa pulang, tetap aja enak. At least hati tenang karena kaldunya bukan air cuci kakinya jinny oh jinny. Iya kan? Iya dong! “Kenapa kamu ngga diantar-jemput sih Sha?” tanya gue. Shanna ini bukan anak orang susah. Bokapnya turunan bule, kerjaannya juga ngga main-main. Bahkan kendaraan di rumahnya ngga ada yang pakai merek sejuta umat. Nyediain supir untuk Shanna mah berasa jajan krupuk buat kedua orangtuanya. Yakin banget deh gue! “Ngga bebas dong, Rain. Kayak aku ikutan Gen Mingle gini, yang ada Papa bakalan ngamuk.” “Kan tinggal jelasin kita ngapain aja.” “Ya ngga segampang itu, Rain. Papa maunya aku fokus sekolah. Urusan di luar itu Papa ngga bisa kasih toleransi.” “Termasuk pacaran?” “Kok dari ikutan Gen Mingle jadi ke pacaran?” “Mumpung kelintas di pikiran aku, Sha.” Shanna terkekeh. “Iya? Termasuk?” tanya gue lagi. Ia memberi anggukan sebagai jawaban. “Kolot ya Papa aku?” “Ngga juga sih. Beliau begitu pasti karena khawatir sama kamu,” tanggap gue. “Bukan karena ngga bisa percaya sama aku?” balasnya. “Bukanlah, Sha.” “Tapi, aku sih ngerasanya gitu. Tiap kita meeting aja, aku pasti pakai alasan belajar bareng. Kalau Papa tau, yang ada aku bakal diseret pulang.” “Atuh, Sha … kalau ketauan nanti, apa ngga jadi panjang urusannya?” Shanna menghempaskan napasnya, lalu menaikturunkan bahu. “Ya sudahlah, dipikirin nanti aja, kalau memang kejadian. Iya ngga, Sha?” “Rain?” “Ya?” “Kamu juga mikir aku tuh haus perhatian ya? Sombong?” tanyanya kemudian. Gue menghentikan langkah sejenak, menghadapnya. Lalu, gue menggeleng. “Syukurlah. Aku cuma punya kamu dan Bara. Kalau kalian aja ngga percaya sama aku, ngga tau lagi deh.” Kami kembali melangkah. Tak jauh lagi, kami akan tiba di tujuan. “Aku agak sedih lihat kamu segitu pedulinya sama Piggy, Rain,” sambungnya lagi. “Segitu pedulinya?” Ngga paham gue apa maksud Shanna. “Iya. Sampai ambilin tas dia tadi,” jelasnya kemudian. “Oh. Cuma nolong aja kok.” “Emang dia ngga bisa ambil sendiri?” “Namanya anak baru, Sha. Ngga enak hati kali kalau cabut duluan di tengah meeting,” jawab gue, masih menutupi situasi yang sebenarnya. “Tuh kan, kamu peduli banget sama dia.” “Sama kamu pun, aku peduli kok, Sha.” “Banyakan ke aku kan tapi?” “Iya.” Shanna tersenyum. Dan lagi … hati gue meleleh. Nyaris aja gue urung ngebahas penyebab Uwik menangis. Tapi, kalau demikian, artinya gue ngebiarin Shanna jadi orang jahat dong? Ngga boleh! “Makan sini, Mang. Dua ya. Satu komplit, satu lagi mie ayam only!” ujar gue ke Mang Nandang — yang jual mie ayam — begitu tiba di kedainya. “Siap!” sahut si Mamang. Duduklah kami di tempat yang masih tersedia. Ngga pakai lama, pesanan pun tiba. Gue ngga ngomong apa-apa, fokus ke ngisi perut. Masalahnya, kalau perut lapar dan mata ngantuk, processor di otak gue malah lemot. Beres makan, Shanna ngebuka aplikasi serba guna dari ponselnya. Memesan satu unit ojeg online. Sementara gue memperhatikannya lekat. “Kenapa, bee?” tanyanya sembari meletakkan ponsel kembali ke atas meja. “Sudah pesan ojeg?” “Iya.” “Sha?” “Hmm?” “Tadi kamu ribut sama Uwik?” Shanna mengerutkan kening, sementara gue mengatupkan bibir. “Kok kamu bisa kepikiran aku ribut sama Piggy?” balas Shanna. “Tadi aku lihat kamu dari halaman belakang,” jawab gue. Shanna terdiam, raut wajahnya berubah kaku. “Maksud aku, Sha … apa ada yang ngga kamu suka dari Uwik?” “Maksud kamu apa sih, Rain?” Kok jadi ngegas ya? Gue mendengus. Bakalan ngga kelar kayaknya nih. “Tadi, Uwik nangis,” jelas gue. “Kalian berantem?” “Hah?” “Kamu tadi dari halaman belakang kan? Sama Uwik kan?” Kedua mata Shanna sontak melebar. “Pi … Piggy … ngomong apa sa-sama kamu?” tanyanya kemudian. Terbata. "Ngga ada ngomong apa-apa. Aku cuma mergokin dia nangis. Itu aja. Aku lebih nyaman nanya ke kamu, Sha.” “Oh.” “Jadi?” Belum sempat menjawab, ojeg yang dipesan Shanna berhenti di depan kedai ini. “Saya, Pak,” sahut Shanna. “Rain, kamu yang bayar kan? Aku duluan ya?” ujarnya kemudian, nampak tergesa. Ada urusan yang mendesak mungkin, lagipula malam sudah lumayan larut sih. “Oke,” tanggap gue. Anehnya, kenapa gue ngerasa ada yang sedang disembunyikan Shanna ya? Kalau mereka ngga ribut kan harusnya Shanna tinggal jelasin ke gue. Tapi, kalau menuduhnya ngomong kasar ke Uwik, setau gue Shanna ngga pernah begitu. Lagipula, atas alasan apa Shanna sejahat itu nge-bully Uwik? *** Saat ini. Shanna? Uwik? Ngga-ngga! “Bee? Jawab pertanyaan aku, please?” “Sayang, di hati aku cuma ada kamu.” “Pertanyaan aku bukan itu, bee. Berapa kali kamu jatuh cinta sebelum sama aku?” Gue mendengus keras. “Aku ngga tau, sayang. Lagian apa pentingnya sih? Toh kamu yang aku pilih!” “Penting buat aku!” “Zia ….” “Ekspresi kamu tuh kayak ngga jujur ke aku. Kamu melamun!” “Astaghfirullah. Kamu kenapa sih, Zi? Kenapa kamu begini? Apa selama ini aku ngga nunjukin betapa sayangnya aku ke kamu?” “Kamu bohong kan?” desaknya lagi. Sumpah! Ngga enak banget rasanya dicecar begini. “Aku ngga bohong, Zia. Kalau parameter jatuh cinta yang kamu maksud seperti yang aku rasakan ke kamu, berarti jawabannya aku ngga pernah jatuh cinta sebelumnya. Cuma sama kamu, Zi!” Zia berdiri begitu saja, menyisakan gue yang jatuh terduduk ke belakang. “Aku nih lagi ketakutan, bee! Aku ngga seusil itu ngorek-ngorek masa lalu kamu hanya untuk memuaskan egoku!” Gue berdiri, lalu bernapas dalam. Kepala gue pening banget rasanya. Delapan bulan menikah, baru kali ini Zia seperti ini. Kedua tangan gue menangkup wajahnya. Tanpa permisi, bibirnya gue lumat. Bahkan gue berani menyisipkan tangan gue ke bagian bawahnya. Awalnya Zia diam saja. Namun, beberapa saat kemudian, ia justru menangis pilu. “Aku takut, bee,” isaknya. “Takut apa, sayang?” lirih gue, frustasi. “Aku takuuut!” “Zia ….” Saat ini gue sadar, ada kesalahan besar – entah apa itu – yang pernah gue lakukan ke Zia. Dan itu menyisakan luka juga trauma yang teramat dalam di dirinya. Masalahnya … gue sama sekali ngga bisa berpikir apa itu. Sementara membuka kebenaran, bagi Zia hanya akan membuat gue meninggalkannya. Allah, Rain harus bagaimana?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD