005:ZIA-TEMPAT BERCERITA

1302 Words
“Haus banget gue sumpah!” “Ya pesanlah! Kenapa jadi punya gue yang lo embat?” sulutku pada Dion. Ia masih mengenakan seragam kebanggaannya. Kemeja putih bersih dengan empat garis emas di kedua bahu dan logo maskapai berlambang burung kebanggan negeri ini di dad4 kiri. Ia adalah satu dari dua sahabatku. Kami bertemu beberapa tahun lalu. Ia dan pacarnya yang merupakan pramugari dari maskapai yang sama membantuku yang pingsan di jalan kala itu. Tak mempedulilan gerutuanku, Dion terus saja menghisap isi gelasku hingga bunyi res-resan es batu mengisi udara. “Masih haus nih gue.” “Yon, otak lo masih airport apa gimana sih?” “Ho oh! Paling baru dipaketin.” “Sinting!” “Ngomel aja lo, Zi! Timbang minuman begini doang aja pake darah tinggi! Lagian harusnya lo makasih ke gue, ini tuh kemanisan tau? Bengkak lagi baru lo tau rasa!” “Monyet lo!” “Beruang!” “Ya ampun, ngga bisa ditinggal sebentar deh kalian berdua tuh.” Yang ini adalah Vienna, mantan pacar yang sudah jadi istrinya Dion. “Kamu juga, Zia tuh lagi spaneng, beb.” “Kapan sih dia ngga spaneng, cin?” “Kapan-kapan!” “Aamiin.” “Sial4n lo berdua!” omelku lagi. Lalu, aku mendengus keras kala mereka justru menertawakanku. Pesanan Vienna pun tiba di meja kami. Seperti biasa, Vienna pasti memesankan dua minuman untuk perkepala. Biar ngga berantem katanya. Bandung hari ini mendung sedari pagi. Terkadang gerimis turun, lalu berhenti lagi. Namun, matahari entah bersembunyi di mana. “Kenapa lagi lo, bear?” tanya Dion. Ia sudah memulai suapan pertamanya. “Lo langsung balik ya? Ngga sempat makan dulu di airport?” balasku, tak nyambung. “Kangen kali gue sama bini! Emang Rain kalau habis shift makan dulu? Ngga langsung balik? Bah! Keren gue kalau gitu sih!” “Dasar monyet!” “Lah, kenapa lo, Zi? Biasanya auto belain Rain. Berantem?” tanya Dion lagi. “Lo tuh cowok, kok kepo sih?” “Kepo mah ngga, cewek tuh butuh ngeluarin 20-ribu kata perhari. Ngelihat gelagat dan muka lo yang minta dicaci itu, gue rasa sudah berhari-hari lo ngga ngomong banyak.” Dion menoleh ke Vienna, nah bininya manggut-manggut. “Baru ini lho dia ngomong, beb. Dari tadi kutanya kenapa – Zia ngga mau jawab. Cuma bilang nothing, I don’t know, atau mendengus sambil mewek.” “Ngeri!” tanggap Dion. Titik pandangku bergeser ke jam dinding unik di kafe ini. Garpu yang kugenggam sedari tadi hanya bolak-balik kutancapkan di chicken salad yang kupesan. Lalu, aku mendengus lagi untuk yang kesekian kali. “Jangan digituin makanannya, sayang,” ujar Vienna seraya mengelus lembut punggung tangan gue. “Kalau ngga mau dimakan, Dion bisa kok ngabisin.” “Guys?” lirih gue. Dion meletakkan alat makannya. Vienna pun begitu. “Feeling gue jelek banget nih kalau lo udah nyebut guys! Biasa manggil monyet-monyet tiba-tiba alus kan horor, Zi,” tanggap Dion. Vienna manggut-manggut, sepaham sama lakinya. “Gue minta cerai sama Rain.” Vienna bengong. Dion auto narik gelas yang isinya tinggal es batu, bunyi kunyahan bongkahan beku itu ngilu banget di telingaku. “Zi? Suami lo itu Rain lho. Bee. Your first love,” ujar Vienna, berusaha menyadarkanku. “Ngga cuma first love, cin. The one and only,” koreksi Dion. “Nah itu,” tanggap Vienna. “Sayang, lo mau gue temenin ke psikiater?” tanyanya kemudian padaku. “Atau minimal ke penasihat perkawinan?” Lagi, aku mendengus. Mungkin sudah puluhan kali hingga pukul setengah satu siang ini. “Lo mau nasihat dari gue, bear?” tanya Dion. By the way, bear itu panggilan yang Vienna berikan padaku. Saat-saat terberat dalam hidupku, mereka menjadi tempatku menumpahkan semua keresahan. Kala itulah aku menceritakan sebab musabab mengapa aku bisa menjejakkan kaki di Seoul – Korea Selatan. Termasuk tentang hancurnya perasaanku karena Rain. “Apa?” balasku. “Selama dia ngga minta izin poligami, selama lo ngga lihat langsung atau mendapat bukti yang credible bahwa dia ng3we sama cewek lain, selama dia ngga main tangan sama lo … jangan cerai! Penyesalan tuh di belakang, bear. Kalau di depan namanya pos hansip!” “Dion ih! Malah bercanda!” omelku seraya terkekeh. “Gue serius, bear!” Aku menatap Vienna. Ia malah menitikkan air mata. “Vie … gue harus gimana?” Aku ikutan sengau. “Sayang … lo ngga akan bisa tanpa Rain. Lo cinta banget sama dia. Gue ngga mau lihat lo sehancur dulu lagi, bear. Lo senyum, lo galak, lo berusaha berekspresi, tapi tatapan lo selalu kosong.” *** Seoul National University Hospital, delapan tahun yang lalu. “Kami menemukannya pingsan di depan CU. Pacarku mencari identitasnya dan menemukan kartu pasien di sini.” Aku mendengar jelas suara pria yang menggendongku. Hanya saja, dunia berputar terlalu cepat jika aku membuka mata. “Apa sesuatu terjadi padanya?” Kali ini suara seorang wanita. “Biar kami periksa lebih dulu. Kalian bisa menunggu,” sahut wanita lainnya. Entah siapa. “Baiklah,” tanggap pria sebelumnya. Kini aku hanya berteman seseorang yang bahkan tak mampu kulihat jelas. Aku merasakan tanganku ditusuk jarum, lalu ada sesuatu yang masuk ke pembuluh darahku. Suara pria lainnya menyapa pendengaran. Hingga perlahan, duniaku kembali hening. “Zi? Dek?” Aku membuka mata, menatap Mas Ara dengan raut khawatirnya. Ia merendah, memelukku sebisanya. “Mas ….” “Apa yang sakit? Kan Mas sudah bilang, tunggu sebentar.” “Gue haus.” Mas Ara mendengus. “Tadi gue salah turun halte. Gue pikir lo masih bisa nahan sebentar. Gue jalan kaki. Abisannya nanggung cuma kelewat satu halte masa mau nunggu bis lagi?” “Pantesan lo lama banget, Mas.” “Ngga banget sih. Lo aja ngga sabaran,” omelnya. “Apa yang sakit, Dek?” “Pusing aja tadi.” “Sekarang?” “Kayaknya sudah ngga apa-apa.” “Dokter bilang infus lo habis dulu, baru boleh balik. Tapi, kalau masih ada keluhan, ya terpaksa dirawat. Lagi!” “Ngga apa-apa, Mas. Pulang aja.” Mas Ara mendengus. Ia duduk di kursi penunggu dengan bahu yang jatuh terkulai. Kasihan abangku ini. Kini tanggung jawab keluarga bertumpu di bahunya. Ia bahkan masih kuliah, dan terpaksa menghabiskan liburan naik tingkatnya untuk menemaniku menjalani beberapa bedah. Tidak, tak hanya kuliah, bahkan urusan perusahaan Papa yang diujung tanduk harus ia atasi. Ditambah, pacarnya yang teramat ia cintai, belakangan ini menghilang entah ke mana bak ditelan bumi. “Oh iya, Dek. Yang nganter lo ke sini mau ketemu. Boleh?” tanya Mas Ara kemudian. “Boleh. Mereka masih nungguin, Mas?” “Iya. Karena tau satu bangsa dan satu tanah air, mereka jadi khawatir. Yang cowok pilot, ceweknya pramugari.” “I see.” “Gue panggil ya?” “Iya, Mas. Boleh.” Langkah Mas Ara kian menjauhiku, namun tak lama kemudian pasangan yang begitu nampak rupawan dan serasi menyambangi bilikku. “Hi, Dwiana. Or Zaskia? Feeling better?” tanya yang perempuan. Aku mengangguk. “Makasih ya? Kalian berdua,” tanggapku. “Gue Vienna. Itu cowok gue, Dion.” “Gue Zia.” “I see. Ternyata panggilan lo Zia?” “Hmm.” “Lo emang harusnya udah boleh berkeliaran gitu, Zi?” tanya Dion. Lucu ya? Aku justru merasa … mudah sekali menerima mereka berdua. Bahkan sepertinya mereka pun tak sungkan bicara denganku. “Iya. Kemarin sudah pulang,” jawabku. “Lo habis bedah apa?” Kini Vienna yang bertanya. Raut wajahnya nampak khawatir, bukannya menghakimi. “Kalau lo ngga nyaman untuk cerita, ngga apa-apa kok, Zia.” “Gue punya kelainan struktural di wajah. Bawaan lahir. Dan sebelum ke sini, gue bleeding dari hidung sampai sulit dihentikan. Juga, ada tumor di kepala yang belakangan suka bikin gue kejang.” Keduanya tertegun. Namun, aku bisa merasakan hangatnya genggaman Vienna di tanganku. “You’ll be ok, Zia.” Aku menyahutinya dengan anggukan. "I hope so, Vie."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD