003:RAIN-FLASH BACK-PIGGY

2227 Words
Bandung di masa lalu. “Kang?” “Sudah datang kamu, bee?” “Hmm.” “Masuk deh, urang ngabisin rokok sebentar. Nanggung.” “Sip!” “Oh iya, ada anak baru, bee.” “Bagus dong?” “He euh. Bongsor.” “Namanya?” “Piggy.” “Karakter apa yang diwakili nama itu, Kang?” “Anak-anak yang ngasih itu nama buat dia. Tadi dia ngga kepikiran mau ambil nama apa. Eh Peppy nyeletuk, Piggy aja. Kamu tau kan kalau si Peppy sudah ngomong, eta anjing-anjing mah manut wae,” jelas Kang Leo, agak kesal itu raut wajahnya. Gue mendengus. “Kamulah coba bilang sama si Peppy. Kalau dia duluan yang berhenti manggil Piggy, yang lain pasti ngikut. Eta barudak mah cengengesan wae, padahal urang jelas lihat matanya sedih kitu, bee. Kayaknya dia ngga suka fabel names-nya.” “Nami aslina saha?” tanya gue kemudian. “Sakedap, bee.” Kang Leo mematikan rokoknya yang akhirnya habis, menggandeng gue ke kantor sekretariat. Ia lalu meraih map berwarna marun di atas meja kerjanya. “Uwik,” ujarnya. Lalu menyerahkan map itu ke gue. “Karena nama dia juga, si Peppy bilang ngga jauh beda sama ngoik-ngoik. Tadi urang tegur, jangan begitu. Malah ngambek eta awewe.” Gue menyimak setiap kata yang Kang Leo tuturkan, sementara mata gue fokus ke fotonya Uwik. “Maksud Akang, Uwik dikasih julukan Piggy karena badannya?” Kang Leo mengangguk. “Masa sih Peppy begitu?” “Ngga usah percaya sama urang. Sok aja kamu amatin sendiri nanti di dalam. Kamu nilai langsung by your self.” “Oke, Kang.” “Mami Papi sehat, bee?” “Sehat alhamdulillah, Kang.” “Si Teteh masih cantik?” “Masih atuh.” “Masih jomblo teu?” “Masih, tapi hatinya sudah memilih.” “Bilanginlah, sama urang wae.” “Sudah, Kang. Masih cakepan crush-nya dibanding Akang ceunah.” “Eleuh-eleuh.” Gue tergelak. Kang Leo ngga seserius itu kok jatuh cinta sama Teteh Reina. Katanya, suka aja lihat Teteh. Orangnya ngga jaim, santai, dan rada selebor. Ngga kayak gue yang jaim parah, rada kaku, dan benci banget sama kata ‘ceroboh’, apalagi selebor kan? “Ayo, Kang? Keburu malam nih.” “Oh, let’s go!” Perkenalkan, nama gue Ahmad Rain Evano. Gue anak kedua dari dua bersaudara, alias bontot. Usia gue enam belas tahun dan saat ini duduk di kelas sepuluh. Saat ini, gue lagi di basecamp salah satu komunitas anak mudanya Bandung. Gen Mingle namanya. Kami fokus ke aksi sosial, kesejahteraan, dan pemberdayaan masyarat. Pendirinya adalah si Akang yang barusan ngobrol sama gue. Beda umur kami lumayan jauh sih, beliau sekarang sudah di tingkat akhir pendidikan strata satunya. Lagi galau, kepingin fokus ke skripsi katanya, tapi direcokin sama anak-anak Mingle melulu. Dan … beliau adalah satu-satunya orang di komunitas ini yang kami semua tau identitas aslinya. Seorang pemuda berdarah murni Pasundan, mahasiswa ITB jurusan Desain Interior dan nama aslinya beneran Leo. Sementara gue, di komunitas ini dikenal dengan Bee. Alasannya karena gue serajin, sedisiplin dan sekomit itu dengan tugas-tugas gue. Beda lagi kalau di rumah, atau di tengah-tengah keluarga, justru bawaan gue tuh tidur melulu. By the way, di komunitas ini hanya ada dua orang yang tau identitas gue sebenarnya. Kang Leo dan si Dolphie alias Bara – salah satu teman gue yang cukup dekat. Selebihnya, mereka hanya mengenal gue sebatas apa yang mereka lihat. “Yeuh! Mari kita mulai meeting-nya. Bee bawa bala-bala sekarung tuh.” Sekarung dari mana coba? Gue mengambil tempat, duduk bersila di samping Bara. Dan dari sini, anak baru yang dimaksud Kang Leo berhadapan dengan gue dalam satu garis lurus. Tatapan kami bersirobok, gue datar aja seperti biasa, sementara Uwik auto memalingkan wajahnya. Yang konyol, gue tetap aja ngelihatin dia. Uwik memang bertubuh besar dengan tinggi yang gue perkirakan sekitar 165-cm, beda 13-cm sama gue yang menutup tahun kemarin di 178-cm. Target gue, optimalisasi gaya hidup sehat supaya di usia dua puluh nanti tinggi gue setidaknya bertambah 10-cm dari sekarang. Nah lho, kenapa gue malah jadi ngomongin diri sendiri? Gue balik ke Uwik. Tubuh sudah, sekarang wajah. Dengan berat badan demikian, bentuk wajahnya pun pasti membulat. Matanya indah, surainya juga. Hanya saja, bagaimana parasnya gue ngga bisa menilai. Uwik menutupinya dengan masker. Mungkin lagi flu, atau bahkan break out berhubung ada beberapa acne yang nampak di keningnya. “Bee, kita ada anggota baru yang datang sendirian. Perkenalannya tadi sudah, tinggal sama kamu aja yang belum. Nanti wae-lah ya? Kita meeting dulu,” ujar Kang Leo kemudian. Seulas senyum gue lengkungkan seraya melambaikan tangan ke Uwik. Cewek itu kikuk, mengangguk kaku. “Okeh! Meeting pertama tahun ini urang buka.” Digital recorder gue aktifkan, punggung gue sandarkan ke dinding, jemari siap di atas keyboard laptop. Yep! Kalian ngga salah. Gue memang sekretaris komunitas keren ini. “Agenda tahunan kita masih sama ya. Yang tinggal menghitung hari adalah program pemberdayaan bagi komunitas kurang mampu. Which is kita bakal ngajarin mereka memanfaatkan lahan sekecil mungkin untuk berkebun tanaman pangan. Ala-ala urban farming but in zero budget. PJ-nya Dolphie.” Kami semua menoleh ke teman kami dengan fabel names tersebut. Dolphie alias Bara mengangkat tangannya, mencengir garing. “Urang lanjut dulu biar bebas si Dolphie kasih laporan progress,” lanjut Kang Leo. Mikir bareng ini dimulai tepat pukul empat sore tadi. Dan sekarang, sudah jam setengah enam. Kang Leo memberi jeda istirahat, dan meeting akan dilanjutkan selepas shalat magrib nanti. Laptop di pangkuan gue masih terbuka, tapi titik pandang gue enggan berpaling dari Uwik. Dari tadi anak-anak memang memanggil dia Piggy, Uwik nampak menanggapi dengan santai dan seolah ngga keberatan dengan panggilan tersebut. Hanya saja, setiap kali senyumnya pudar, gurat sedih itu muncul kembali. Apa cuma gue dan Kang Leo yang sadar? Berhubung waktu magrib semakin dekat, kami para cowok-cowok muslim beranjak ke masjid yang ngga jauh dari basecamp ini berada. Shalat dululah. Sementara yang cewek-cewek, shalatnya tetap di sini. Selesai shalat, berhubung lapar, gue dan Bara mampir sejenak di Mamang penjual somay dan batagor. Ganjal perut dulu, berhubung looks like masih butuh sekitar dua jam ke depan untuk membahas project-nya Bara. Tersisa tujuh hari saja sebelum pelaksanaan. Sampai di basecamp lagi, anak-anak yang lain juga masih pada ngunyah. Hanya saja … Uwik ke mana? Gue ngga jadi duduk, keluar lagi dari ruang meeting, celingak-celinguk di depan pintu. “Ngapain kamu?” tanya Kang Leo. “Hayuk atuh masuk. Mulai lagi meeting-nya. Emang mau semalaman di sini?” “Henteu atuh, Kang.” Ya ogahlah! “Ya masuk atuh ih.” “Sakedap, Kang.” Kedua mata gue menyapu sekeliling kembali, sementara Kang Leo malah melongokkan kepala ke dalam basecamp. “Oh, iya si Peppy belum ada yak? Cari dulu sana. Sekalian tembak,” ujarnya kemudian. “Kok tembak?” “Kamu pikir urang ngga tau kalau kamu have a crush ke si Peppy?” “Antara crush dan nembak itu ada jeda yang namanya pedekate, Kang.” “Ah, pedekate terus jadian henteu kamu mah!” Ngekeklah gue. “Cicing wae nyak, Kang?” Maksud dari omongan gue, memohon ke si Akang supaya diam-diam aja. Gue memang suka sama Peppy. Sudah lumayan lama malah. Tapi, entah kenapa untuk nembak rasanya ‘belum saatnya’ terus. Apakah karena gue ngerasa kalau Bara juga punya perasaan yang sama ke Peppy? Oh iya, nama aslinya Peppy tuh Shanna. Gue, Bara dan Shanna satu SMP. Kalau gue dan Bara, jadi lumayan dekat karena telat di hari pertama kelas dua SMP. Kami mendapatkan tempat duduk yang bersisian, dan sejak itu jadi banyak tukar pikiran dan main bareng. Sementara Shanna, gue ngga tau sih gimana awal mulanya bisa akrab sama kami berdua, satu-satunya yang lekat di kepala gue hanya Bara yang ngenalin Shanna ke gue. Lantas, sejak kapan gue suka sama Shanna alias Peppy? Jawabannya, sejak kami bertiga sekolah di SMA yang berbeda. Lebih tepatnya, gue yang misah sendiri. Setiap kali ketemu Peppy di sini, jantung gue kebat-kebit dan rasanya dia jadi berlipat-lipat lebih cantik dari sebelumnya. Waktu kelas IX, gue ngajak Bara dan Shanna gabung di Gen Mingle. Menurut gue, ini komunitas keren banget sih. Kang Leo bak Robin Hood, sementara para pengikut setianya ini adalah Merry Men – meski kurang tepat juga karena Kang Leo bukan maling dan anggota geng ini ngga semuanya cowok. Tapi, gue tersentuh dengan bagaimana mereka peduli ke orang-orang yang hidupnya kurang beruntung. Ngga hanya berupa bantuan, mereka juga konsisten mengadakan pelatihan tanpa biaya supaya masyarakat yang hidupnya sulit ini bisa berdaya. “Geura atuh ih, cari!” ujar Kang Leo lagi, nyuruh gue buruan nyari Peppy. Gue ngangguk aja, lantas melangkahkan kaki. Biar kebayang, gue ilustrasiin dulu posisi basecamp kami. Tempat ini memiliki halaman yang cukup luas. Rumputnya tebal dan rapih yang selalu dijaga seorang member yang anak pertamanan. Mereka yang bawa motor jadi ngga perlu parkir di pinggir jalan. Ada area parkir motor di halaman tanpa merusak keindahan taman. Kiri dan kanan bangunan utama ada gang sempit, membawa kita ke taman belakang yang mungil plus sebuah bangunan kecil terpisah yang difungsikan sebagai gudang. Sekarang nih, gue lagi otewe ke taman belakang, dua langkah lagi akan berbelok di gang sebelah kanan basecamp. Baru aja gue belok, ujung mata gue menangkap sekelebat bayangan. Gue mudur lagi dong, ternyata Peppy yang muncul dari gang sebelah kiri dan baru saja menjejak di teras basecamp. Berarti, tinggal Uwik nih yang belum kelihatan. Langkah gue lanjutkan. Dan semakin jarak terkikis, suara isak tangis semakin jelas menyapa pendengaran. Khawatir salah jika gue menegur siapa pun yang tengah bersembunyi itu, gue memainkan sebuah drama. Ponsel di saku gue keluarkan, lalu gue lekatkan di telinga. “Iya, Mi. Kita masih ngebahas project minggu depan. Dua jam lagi deh selesainya,” ujar gue, pura-pura lagi telponan sama Mami. Gue diam sesaat, mencoba membaca situasi. Hening. Suara tangisan itu tak lagi ada. “Bisa bareng anak-anak yang lain, Mi,” ujar gue lagi. Dan di sinilah, Uwik akhirnya muncul di ujung gang. “Iya, Mi. Oke.” Ia berjalan sembari mengenakan masker-nya. Berhubung pencahayaan di gang ini cukup redup, hanya sekilas saja gue sempat melihat parasnya Uwik. “Sip. Wa’alaikumsalam, Mi.” Ponsel langsung gue masukkan ke saku lagi, jangan sampai Uwik tau kalau gue cosplay. “Hai,” sapa gue kemudian ke dia. Uwik hanya mengangguk. “Kok kamu di sini?” “Bee?” “Ya?” “Bisa tolong ambilin tas aku di dalam?” pintanya sopan. “Oh, kamu mau pulang?” “Iya. Ada urusan keluarga.” “Bisa aku bantu?” tawar gue. Siapa tau ada yang sakit gitu kan? “Ngga usah. Ngga apa-apa kok. Aku ngga enak aja mau masuk ke dalam.” Gue mengerutkan kening. Kenapa harus ngga enak? “Oke. Tunggu ya, aku ambilin tas kamu dulu,” ujar gue akhirnya, menyanggupi permintaannya. “Iya. Tas aku yang model lurik ya, bee?” “Hmm.” Gue pun gegas melangkah masuk ke basecamp dengan pikiran yang rada kalut. Sorot matanya Uwik yang mengganggu hati gue. Bahkan gue bersusah payah saat menyadari kesedihan yang teramat dalam di sana. Pas gue ngambil tasnya, tatapan gue dan Shanna bersirobok. Apa mungkin ada masalah antara Shanna dan Uwik yang bikin Uwik sampai sesedih itu? Shanna juga dari taman belakang bukan? “Kenapa kamu, bee? Ngapain bawa-bawa tasnya Uwik?” tanya Kang Leo. “Akang ih meuni pilih kasih. Kita semua manggil dia Piggy, Akang doang yang manggil Uwik. Menyalahi aturan tuh,” sinis Shanna, beneran sinis, bukan bercanda meski anak-anak yang lain menanggapi ocehannya dengan terkekeh. “Urang ngga suka body shamming!” tegas Kang Leo. “Naon, bee?” Beliau kembali ke gue. “Ada urusan keluarga katanya. Lanjut aja meeting-nya, Kang. Abdi ngantar Uwik ke depan sakedap.” “Bawa motor urang aja nih,” ujarnya kemudian seraya menyodorkan kunci motor. Gue mengangguk, lalu kembali bergegas menyambangi Uwik. “Yuk, Wik. Aku antar,” ujar gue seraya menyerahkan tasnya. “Ngga usah, bee.” “Lho, kenapa?” “Aku sudah pesan taksi online.” “Kok gitu? Lebih cepat naik motor lho.” “Ngga usah. Nanti motornya rusak aku naikin.” Mencelos jantung gue. “Kamu ngga suka kan dipanggil Piggy? Biar aku bicara sama anak-anak ya?” “Ngga usah, bee. Yang ada mereka akan benci aku.” “Wik … jangan diam aja kalau ada orang yang jahat sama kamu. Meski niat mereka bercanda.” “Hmm. Makasih sarannya.” Gue tau pasti, saran gue Uwik tepis mentah-mentah. “Batalin aja ya taksi online-nya?” “Ngga.” “Uwik?” “Oh, itu kayaknya,” ujarnya sambil menunjuk ke sebuah unit kendaraan yang melambat dan akhirnya berhenti tepat di depan basecamp. “Makasih ya, bee?” “Oke.” Uwik melangkah, gue mengikutinya di belakang. Setidaknya, gue perlu melihat jelas siapa pengemudi dan nomor polisi kendaraan yang menjemput. Saat Uwik mengulurkan tangan, gue memanjangkan langkah, mendahuluinya meraih tuas pintu. Ia menoleh, gue memberinya senyuman. Kedua matanya menyipit, yang artinya di balik masker-nya pasti dia tengah tersenyum kan? “Makasih ya, bee?” “It’s ok. Masuk deh,” ujar gue. “Bukan soal kamu megangin pintu.” “Terus?” “Makasih sudah pura-pura nelpon tadi. Makasih sudah ngga nanya kenapa aku nyendiri.” “Uwik ….” “Aku duluan ya?” Saat mobil itu hilang di titik pandang, gue masih terpaku di sisi jalan. Kenapa gue bersikap begini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD