Saat kebiasaan, sikap, bahkan sifatmu tiba-tiba berubah setelah kehadirannya, yakin masih bilang nggak jatuh cinta?
- FMDE
"Pulang aku yang antar," ujar Elang ketika Ara sudah selesai makan.
"Aku pulang sen.."
"Seperti biasa tak ada penolakan. Lain kali kau harus ingat!" ucap Elang tegas membuat Ara terdiam.
"Gar lo tunggu di sini. Jangan ngacak-ngacak apartemen gue. Awas!"
"Iye iye," jawab Edgar sekenanya, yang kini sudah beralih memakan es krim di wadah seperti ember. Lalu ia menoleh ke arah pakaian yang dipakai Ara.
"Lo biarin ni anak make setelan kaya gitu keluar apartemen?" tanya Edgar yang membuat Elang beralih menatap Ara.
"Gapapa."
Bletak.. Sebuah sentilan keras Edgar mengenai dahi Elang.
"Ngapa sih gar?!!" bentak Elang.
"Kaga," jawab Edgar santai, "Cuma pengen njitak pala elo aja. Greget gue."
Edgar langsung menghindar kala ia tahu pasti Elang pasti akan membalasnya.
"Ara. Nih pake jaket gue. Bisalah buat nutupin setengah boxer doraemonnya Elang." Edgar terkekeh.
Ara mengambil jaket itu dan hendak memakainya ketika tiba-tiba tangan Elang menahannya.
"Pakai jaket gue."
"Gabisa, gue udah minjemin duluan, lagian elo ga ada otak apa baju Ara kayak gitu lo biarin turun ke lobby." Edgar menahan Elang. "Sekali ini aja sih Lang!" seru Edgar dengan nada sedikit tinggi.
Akhirnya Elang mendiamkan Ara memakai jaket Edgar.
"Cepet pake!" Elang memerintah Ara lalu berjalan duluan menuju pintu. Ara mengikutinya.
"Makasih Kak Edgar," ucap Ara pamit, membuat Edgar tersenyum menatapnya.
Manis juga.
...
Tepat seperti dugaan Edgar, orang-orang yang ada di lobby melirik ke arah Ara yang menggunakan boxer doraemon dan jaket yang kebesaran itu.
Ara merasa kikuk sedangkan Elang terus menarik lengan Ara tanpa memperdulikan tatapan orang-orang.
Setelah mereka keluar apartemen, Elang langsung memasuki mobil yang disetir Mang Ujang.
"Rumah lo di mana?"
"Berhentiin di deket simpang jalan deket sekolah aja Kak."
"Gue nanya rumah elo, bukan jalan!" jawab Elang menaikkan suaranya satu oktaf.
"Pak, jalan yang saya sebut tadi ya." Ara tak mengacuhkan bentakan Elang. Mang Ujang mengangguk.
"Mamang malah nurut sama ni anak. Saya apa dia yang jadi majikan Bapak?!" bentak Elang kesal memarahi Mang Ujang.
"M-maaf Mas," ucap Mang Ujang tergagap.
"Adaaw..." Elang terpekik keras.
"Jangan kurang ajar sama orang tua. Ga baik! Minta maaf cepet!" marah Ara, menajamkan mata abu-abunya pada Elang.
Like a magic. Elang terdiam dan menurut.
"Maaf Mang." Elang mengucapkannya sambil bersungut, membuat Mang Ujang tersenyum dan mengangguk melihat Elang yang baru kali ini menurut dengan orang lain selain nunanya.
"Mang ke jalan yang tadi saya sebut ya," ujar Ara lagi, setelahnya ia mendengus kearah Elang. Ara tiba-tiba teringat sesuatu
"Kak Elang baj--"
"Itu di kaki lo." Elang berujar masam karena masih kesal.
Ara membuka bungkusan itu yang isinya ternyata baju sekolah baru. Ara tersenyum menatap Elang.
"Makasih Kak Elang. Nanti kalau ada uang aku ganti," ujar Ara bersemangat sambil tersenyum lebar pada Elang.
Deg!
...
"Mang ujang muter balik kerumah aja. Ga usah ke apartemen," ujar Elang, membuat Mang Ujang menoleh.
"Bener Mas?" tanya Mang Ujang.
"Iya Mang Ujang yang ganteng," jawab Elang sambil memutar bola matanya malas. Sosok Ara serasa bergentayangan apabila ia berkata kasar lagi dengan Mang Ujang "Elang mau jengk nuna."
'Aish! Lagi-lagi gue mikirin cewek aneh itu!'
...
Elang melangkahkan kakinya masuk kedalam rumah. Baru tiga langkah suara yang amat dibencinya terdengar menghentikan langkahnya
"Kau pulang?" tanya Rasyid - ayah Elang, keluar dari ruang kerjanya.
Elang hanya diam saja dan tetap melanjutkan langkahnya menaiki tangga menuju kamar nuna-nya.
"Kau membuat masalah di sekolah?" tanya Rasyid membuat Elang menghentikan langkahnya.
'Dasar bodoh, dia benar-benar melapor pada orang tua gila ini!' Elang mengumpat dalam hati.
"Lalu kau memecatnya?" Elang menghentikan langkahnya di injakan tangga pertama.
"Hampir saja. Aku masih memberinya kesempatan untuk bekerja," jawab Rasyid membuka korannya yang kini tengah duduk di ruang tengah.
Elang menarik nafas lega, lalu meneruskan langkahnya yang tertunda.
"Siapa perempuan itu?" tanya Rasyid lagi, membuat Elang berbalik sempurna kearah ayahnya.
"Sejak kapan anda jadi peduli dengan urusan saya?" tanya Elang sembari menatap tajam kemata ayahnya.
"Berhenti menatapku seperti itu Elang!" bentak ayahnya.
Elang mendecih dan mendengus kasar.
"Ayah minta, kau jauhi perempuan itu. Ayah akan mengenalkanmu pada perempuan relasi bisnis ayah," kata-kata Rasyid itu berhasil membuat Elang tertohok. Lalu tiba-tiba tertawa tak jelas dan dibuat-buat.
"Sejak kapan saya mau?! Nggak cukup perlakuan anda pada nuna. Sekarang anda mau menjadikan saya yang kedua. Iblis!" umpat Elang lalu melanjutkan langkahnya tanpa memerhatikan raut wajah ayahnya yang kini berubah marah.
Rasyid akhirnya hanya diam menatap langkah Elang yang melanjutkan langkahnya menuju kamar Aletha - nuna Elang.
"Selamat sore nuna." Elang memeluk nunanya yang duduk di kursi roda dari belakang.
"Reyhan?" Aletha menoleh cepat kearah Elang yang memeluknya.
"Nuna ini aku. Kau bahkan tak mengenali suaraku lagi? Apa karena aku terlalu jarang menjengukmu nuna?" Elang mencium pipi nunanya, namun hatinya benar-benar merasa miris.
Aletha tersenyum lalu membawa Elang untuk duduk dikasurnya. Ditatapnya dan diusapnya wajah Elang.
"Ada apa?" Aletha bertanya pada Elang.
"Aku hanya merindukanmu Nuna."
"Tapi wajahmu ingin berbicara yang lain."
"Apa ayah menyakiti Nuna?" Elang mengalihkan pertanyaan nunanya.
Aletha tersenyum. "Ada apa? Bilang sama Nuna."
Elang menarik nafas lalu merebahkan kepalanya ke paha Aletha, "Tak ada Nuna. Elang serius."
Aletha mengelus kepala Elang lembut.
"Nuna, kau tinggal denganku saja ya?" pinta Elang entah yang keberapa kali.
"Tidak Elang. Nuna ga bisa. Gimana kalo Kak Reyhan datang?" Aletha terus mengelus kepala Elang.
Rahang Elang mengeras. "Nuna tak bisakah kau berhenti membicarakan laki-laki bodoh itu!" Elang menaikkan suaranya menatap nunanya. Dirasakannya air muka nunanya berubah sedih.
"Lagipula ayah jadi sendirian kalo Nuna juga pergi," nada suara Aletha melemah.
"Lupakan saja." Elang menghela kasar. "Nuna mau makan? Aku bawain masakan Edgar. Nuna suka kan?" Lagi, Elang mengalihkan pembicaraan mereka
Aletha tersenyum dan mengangguk.
Baru beberapa suapan yang diberikan Elang, ada yang mengetuk pintu kamar Aletha.
"Permisi Mas Elang, Tuan menyuruh Mas untuk ke ruang tamu sekarang."
"Iya Bi. Nanti saya kebawah," jawab Elang datar, lalu melanjutkan menyuapi Nuna-nya.
"Liat ayah sekarang aja," suruh Aletha.
Elang menghela nafasnya lagi.
"Baiklah. Nuna makan sendiri ya. Nanti kalau Elang udah ngeliat ayah, Elang kesini lagi nyuapin nuna,"
Aletha mengangguk. Kalau bukan suruhan nunanya saja, Elang tidak akan mau melihat ayahnya.
"Jangan marah-marah dengan ayah," pesan Aletha. Elang hanya mengangguk kecil.
...
"Elang ini dia tunanganmu. Kebetulan, mereka memang ingin mampir ke sini tadi," ujar Rasyid dengan senyum palsunya.
Darah Elang tiba-tiba mendidih melihat perempuan itu.