11 ~ Keturunan Cabe

1256 Words
Hati nurani kadang ngasih tuntunan yang enggak-enggak. Jadi siap-siap aja kalo tiba-tiba hati nurani elo milih dia. Iya! Dia! Hmm.. - FMDE Elang benci suasana ini, penuh dengan senyum palsu, menurut Elang. Sebenarnya ia memilih untuk kembali ke kamar Nunanya saja, tapi Elang tahu sopan santun. "Wah nak Elang. Ternyata aslinya kasep pisan ya," puji Mama Renatta yang tak kalah menornya dari Renatta. Oh, keturunan. Ya. Perempuan itu adalah Renatta, perempuan yang dibencinya sejak kelas sepuluh karena sifat centil dan menjijikkannya di mata Elang, seperti cabe-cabean kelas kakap. Jangan kalian kira, semua laki-laki suka dengan perempuan yang bohay atau bahenol, dan pintar berdandan. Elang, ia benar-benar tak suka perempuan yang berdandan, catat, berdandan yang cukup berlebihan. Dimata Elang, berdandan seperti itu adalah perempuan yang tidak memiliki percaya diri. Karena, Aletha, nunanya, adalah perempuan yang tidak terlalu suka berdandan, mungkin dari situ rasa kurang suka Elang muncul. Contohnya seperti sekarang, Renatta menggunakan baju super ketat yang berwarna hitam keputih-putihan memperlihatkan seperti baju yang tak pernah dicuci setahun. Lagi, rambut yang di below (apalah Elang tak tahu) berpulir-pulir seperti cacing kepanasan, ditambah lipstik tebal yang menutup bibir Renatta yang sebenarnya dower itu membuat Elang semakin mual, dan juga tak ketinggalan make up yang Elang tahu pasti ketebalannya bisa mencapai puluhan senti (rada lebay elah). Entah spesies cabe-cabean apa cewek seperti Renatta ini Elang tak tahu. Gue yang ga tau style betina jaman sekarang, atau emang dia yang ga tau cara nyocokin kostum ga sih. Sumpah jijik gue. Ditambah lagi, Renatta tiba-tiba tersenyum, senyum yang dipaksakan. Bisa jadi karena takut make up yang sedang ia pakai retak tiba-tiba. Kan bahaya. Demi apapun, Elang ingin muntah rasanya. Namun tak ada pilihan lain bagi Elang, sehingga ia ikut duduk berbaur dengan ayahnya dan keluarga Renatta. "Hehe... Iya tante. Makasih," jawab Elang sekenanya, sembari menyalami kedua orang tua Renatta. Elang pastikan ia tidak akan menoleh kearah perempuan najis di depannya sekarang. "Elang, ini Renatta anak satu-satunya Om Ahdan dan Tante Lusi. Yah ayah harap kamu bisa dekat dengan Renatta. Kalian kan satu sekolah juga, ga mungkin ga kenal. Dan di juga akan menjadi calon tunangan kamu," kalimat terakhir Rasyid berhasil membuat Elang tertohok. Dengan cepat Elang membiasakan wajahnya, dan menahan emosinya agar tidak keluar saat itu juga. "Hehehe.. Iya Om Rasyid. Renatta udah kenal sama Elang. Kemaren Elang sempet minta nomor telepon Renatta tapi belum dihubungin sampe sekarang." Renatta berujar manja. Ingin rasanya berkata kasar. "Mungkin Elang lagi ada kerjaan Ren," ucap Om Ahdan - ayah Renatta sambil tersenyum. Namun Renatta memberengut. Elang langsung mengambil langkah cepat. "Om, Tante, Ayah, Elang kebelakang bentar ya sama Renatta." Elang mengeluarkan jurus muka duanya yang sekarang sedang terlihat manis. "Oh yaudah gapapa. Malah lebih bagus!" Tante Lusi berujar gembira Ni tante-tante sama nyinyirnya kayak anaknya. .... Setelah Elang dan Renatta sampai di taman belakang, Elang melepaskan pegangannya di lengan Renatta. "Kok di lepas sih Lang?" ujar Renatta manja. "Najis!" gumam Elang hampir tak terdengar. "Apa?" tanya Renatta penasaran dengan kata-kata Elang barusan. "Gak," jawab Elang singkat.  Elang menarik nafasnya kasar. "Oke, gue kesini bukan mau ngajak elo kenal lebih deket atau apa, mana mau gue ama cabe-cabean kayak elu. OGAH!" ucap Elang to the point membuat Renatta membelalak. Namun, beberapa detik kemudian 'wanita gila' itu tersenyum, "Gapapa deh gue dikatain, yang penting orangnya elo." Astaga drakula, ni anak najong banget. Merinding gue. "Langsung aja. Gue tau ayah gue pasti mau nunangin kita. Mau sampe mati pun ayah gue pasti maksa gue. Oke gue terima, tapi gue punya syarat." "Apa?" Renatta sudah berbinar-binar duluan "Selama elo gak ganggu gue sampe masa SMA gue abis dan pura-pura ga kenal gue, selama lo gak nge-bully Ara, dan gak bocorin tentang pertunangan kita, gue bakal nerima tunangan itu."  Elang  menarik nafas sangat dalam saat mengucapkan kalimat terakhir. Elang tahu, ia bahkan tak mampu melawan ayahnya. Cukup dengan ia memilih tinggal sendiri di apartemen pun itu sudah merupakan belas kasih paling kecil dari ayahnya yang seperti iblis menurut Elang, karena waktu itu tak ada satu apartemen pun yang menerima nama Elang Airlangga. Karena ayahnya sudah memerintahkan seluruh apartemen di Bandung untuk mem-blacklist nama Elang. "Jangan bilang lo suka Ara," ujar Renatta dengan air mukanya yang berubah masam. "Gue tau elo yang nge-bully Ara kemarin di sekolah. Dan itu cukup buat bikin lo kena sanksi keras dari sekolah!" kata Elang dingin. Renatta berfikir sejenak. "Kalau gue ga mau?" "Sekeras apapun, gue bakal nolak pertunangan kita. Lo tau kan gue gimana?" jawab Elang mengeluarkan tatapan dinginnya membuat Renatta terdiam. "O-oke!"  Renatta tergagap ditatap Elang seperti itu. "Bagus."  Elang lalu  meninggalkan Renatta masuk kedalam rumah. ... Elang mengambil handphonenya, dan mengsms Nunanya. Nuna, satu menit dari sekarang kau telepon aku, suruh aku ke atas untuk menjengukmu. Kau paham nuna? Ting.. Sebuah sms masuk ke handphone Aletha. Aletha yang tahu dengan situasi itu, langsung menelepon Elang satu menit kemudian. Tiba-tiba handphone Elang berbunyi. Elang yang duduk dengan ayah, Om Ahdan, dan Tante Lusi langsung mengangkat teleponnya. "Iya nuna, aku akan segera ke atas. Tunggu ya, nanti Elang suapin," ujar Elang di telepon. Rasyid yang mendengar Elang mengucap kata 'nuna' di depan Renatta dan orang tuanya langsung memelototi Elang tajam. Elang tak peduli. "Permisi Om, Tante, Elang keatas mau nyuapin kakak saya, Aletha. Kakak sakit sampai sekarang," lalu Elang menatap ayahnya tersenyum mencemooh dan mendengus. Terdengar kedua orang tua Renatta terkejut, ribut dan bertanya-tanya mengetahui bahwa kakak Elang - Aletha, ternyata sakit. Karena selama ini, di media publik, Rasyid selalu mengatakan kalau Aletha sedang fokus berkuliah di luar negeri, dan menunda pertunangannya dengan salah satu relasi ayah juga.  Menurut Elang, ayahnya malu karena depresi yang ditimpa oleh Nuna-nya sehingga tak mau mengatakan hal yang sebenarnya. Mulai saat itulah Elang semakin benci dengan ayahnya, yang menurut Elang sangat gila kekuasaan itu. Elang lalu meninggalkan mereka walaupun Elang sangat sadar akan konsekuensi yang akan diterimanya nanti. "Kau menyelamatkanku Nuna." Elang mencium pipi Aletha. Tapi Aletha tak tahu tentang masalah Rasyid yang mengatakan kebohongan tentangnya pada publik. Aletha benar-benar depresi, sehingga sangat jau dari dunia luar, dan hanya menyendiri di kamar. "Aku mau nemenin Nuna malam ini. Nuna mau nonton film baru? Aku bawa lima kaset!" ucap Elang bersemangat membuat Aletha tersenyum gembira. .... "Mana sih Elang? Ga dateng-dateng, udah hampir jam 12 malem. Jangan-jangan dia ngapa-ngapain Ara lagi." Edgar langsung tersentak berdiri dari sofa, ketika tiba-tiba pikiran itu terlintas di kepalanya. Ia lalu mencoba mengontak Elang, namun handphone cowok itu tidak aktif. "Gak, gak! Ga mungkin Elang gitu." Edgar menenangkan hatinya lalu melanjutkan makan keripik bayamnya yang tertunda. Bruumm... Edgar menarik gas motor Elang dari basement. "Apaan sih yang gue lakuin! Edgar memuku-mukul helm yang ia pakai. "Ah biarin. Yang penting gue tau Ara ga kenapa-napa."  Ia mengendarai motor Elang menuju-- "Astaga b**o! Gue lupa, gue mau kemana nyak?!" Edgar baru menyadari kebodohannya setelah keluar dari parkiran apartemen. Ia tidak tahu di mana rumah Ara. Dan ia juga sudah tahu satu hal, tak mungkin Elang mau pulang kerumahnya. "Ahh, gue telepon Mang Ujang aja, untung ada nomornya." Edgar langsung mengontak nomor Mang Ujang. "Mang, mamang tahu rumah Ara dimana?" Lah ngapa gue jadi nanyain rumah Ara.  Edgar membatin bingung. Padahal ia berniat untuk mencari Elang. 'Ah yaudah bairin.' "Setau mamang sih tadi dia minta berhentiin di jalan simpang sekolah kalian, Mas Edgar."  "Oh gitu. Kalo Elang dimana?" "Oh Mas Elang tadi minta dianter kerumahnya, mau jenguk Nuna katanya." Jawaban Mang Ujang menimbulkan kerutan di dahi Edgar. "Okedeh kalo gitu. Makasih ya Mang Ujang ganteng," jawab Edgar yang langsung disambut tawa Mang Ujang. 'Alhamdulillah. Udah dua orang yang bilang saya ganteng.' batin Mang Ujang. "Iya. Sama-sama Mas Edgar."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD