Susah ya, jadi orang yang terlalu mudah jatuh cinta. Jadi ga jelas hatinya sebenernya buat siapa.
- Edgar
Edgar menarik gas motornya menuju simpang jalan dekat sekolah. Entah kenapa ia hanya penasaran saja walaupun ia tahu, Ara pasti sudah pulang kerumah.
'Ga mungkin kalau Ara tidur di jalan kan?'
Memasuki simpang jalan itu Edgar melambatkan motornya. Jalanan masih saja ramai walaupun sudah hampir tengah malam. Lalu matanya menangkap sesosok perempuan di depan sebuah coffe shop, sedang tertatih-tatih membawa kantong plastik sampah besar ke sebuah tong sampah di sudut cafe tersebut.
Edgar menarik gas motor lambat dan terus memicingkan matanya. Dilihat dari postur tubuhnya itu Ara, tapi Edgar tak tahu juga. Lalu perempuan itu menunduk, ternyata mendekati seekor anak kucing.
Edgar sudah menepikan motornya di dekat coffe shop tersebut. Ternyata benar itu adalah Ara.
Eeh? Ara kerja sampe malem begini? Elang tahu ga?
Edgar terkejut.
Lalu ia memfokuskan pandangannya lagi kearah Ara.Tapi sepertinya Ara tak menyadari kehadiran Edgar karena masih sibuk dengan kucing kecil itu.
"Pus pus. Kamu lapar? Aduh aku lupa bawa sisa ayam di dalam tadi, ada satu padahal. Coba aku cariin ya." Ara kemudian berdiri dan membuka kantong plastik sampah yang tadi dibawanya.
Edgar termanga melihat Ara yang mengubak-ubak sampah itu, membuat Edgar bergidik apalagi melihat kepala Ara yang agak terbenam kedalam kantong plastik sampah itu.
"Nah ini! Untung ada!" ucap Ara gembira, "Yuk makan." Ara terlihat benar-benar bahagia ketika memberikan ayam bekas itu ke kucing kecil didepannya.
Sesudahnya, Ara lalu berdiri sambil mengibas-ngibaskan tangannya dan berbalik.
"Astaga dragon!" umpat Ara terkejut, karena di depannya ada Edgar berdiri menghadap kearahnya sambil tersenyum menampakkan deretan giginya.
Edgar tiba-tiba tertawa mendengar kata-kata Ara ketika terkejut tadi, "Hai Ara. Lagi ngapain? Kerja?"
"I-iya lagi kerja. Kakak ngapain kesini?" tanya Ara yang tiba-tiba menjadi gugup.
"Nggak, tadi cuma kebetulan lewat aja nyariin Elang. Taunya elo ada disini. Pas banget ya."
"Emang Kak Elang belum pulang?" tanya Ara yang terdengar antusias.
Kok gue kesel.
"Dia ternyata pulang kerumahnya. Ngeliat nunanya," ujar Edgar masam. "Lo ga ngajakin gue masuk gitu?"
"Oh, eh, iya kak. Masuk aja." Ara kikuk.
"Mau minum apa?" tanya Ara ketika mereka sudah di dalam.
"Ada jus alpukat ga?"
"Ada ada. Nanti aku buatin. Kakak suka itu juga? Aku juga suka banget. He-he." Ara bersemangat sekali dengan senyuman yang mengembang di bibirnya.
"Iya suka." Edgar terpaku karena melihat senyuman cewek planet ini.
Astaga gue kok gini.
Edgar menepuk-nepuk pipinya setelah Ara menuju ke meja pantry.
"Nih Kak diminum." Ara menyodorkan minumannya.
"Danke," ujar Edgar, lalu menyeruput minumannya.
Ara mengrenyitkan dahinya. "Artinya?"
"Artinya makasih Ara yang cantik." Edgar tertawa yang di sambut oleh tawa Ara juga.
"Jadi lo kerja disini? Kenapa lo kerja? Elang tahu gak?"
"Iya Kak. Buat nyari uang. Nggak," jawab Ara singkat, padat dan jelas.
"Singkat. Bagus jawaban elo," sungut Edgar membuat Ara lagi-lagi tertawa.
Anjir dah! Ni anak kok ketawanya lucu.
"Lo pulang jam berapa?"
"Mungkin sekitar jam satu." Jawaban Ara lantas membuat Edgar terkejut.
"Anjir! Lo ga ngantuk apa besok?"
"Aku di skors, Kak Elang juga."
"Oh iya. Gue lupa, tadi Elang udah bilang."
"Ngomong-ngomong. Tolong jangan bilang-bilang ke Kak Elang ya kalo aku kerja disini." Nada suara Ara terlihat memohon.
Edgar mengernyitkan dahinya. "Emang kenapa?"
"Gausah aja." Ara terseyum lagi, membuat Edgar luluh juga.
"Oke. Tapi ada syaratnya."
Ara mengubah raut wajahnya, bertanya.
"Gue minta nomor hape elo boleh ga?"
Ara tampak berpikir sebentar. "A-aku ga ada handphone." Ara gugup. Handphone-nya yang kemarin sudah ia jual untuk menambah uang rumah sakit Kinan.
Edgar agak terkejut mendengarnya. Mana ada remaja jaman sekarang ga punya barang yang namanya handphone. Lalu ia teringat sesuatu tentang kasta tiga yang dikatakan Elang dikelas waktu itu.
Itu Ara?
Akhirnya Edgar hanya mengangguk dan mengerucutkan bibirnya.
"Oh gue punya ide. Lo tunggu sini bentar." Edgar keluar dari cafe.
...
"Tadaaa..." Edgar menunjukkan kertas hvs, spidol warna, gunting, straples, dan sebagainya.
"Mau diapain?" tanya Ara bingung.
"Liat aja nanti."
Edgar lalu menggunting kertas hvs itu menjadi tiga bagian, ditumpuknya agak banyak lalu di straples menjadi seperti sebuah buku. Setelah itu ia menggambar menggunakan spidol warna di kertas-kertas itu, membuatnya seolah seperti handphone dengan gelembung-gelembung chatting.
"Nih handphone buat elo," ucap Edgar bersemangat. Ara menerimanya dengan kening berkerut. Edgar langsung tertawa melihat reaksi Ara.
"Nanti kita bisa chattingan disini. Kalo lo mau cerita, curhat atau apa, tinggal tulis disini, nanti lo taro aja dimana yaak? Hmmm?" Edgar mengetuk-ngetuk dagunya. "Lo selipin aja deh di deket pot bunga depan kelas gue pas lo lewat. Oke gak?" tanya Edgar.
"Boleh boleh," jawab Ara gembira dengan mata berbinar-binar.
"Ngomong-ngomong, lo lucu juga ya."
"Eh?"
...
Sementara itu, Elang terbangun di sofa. Ia melihat nunanya tertidur di pahanya membuat Elang tersenyum dan mengelus wajah nunanya.
Lalu ia mengangkat dan memindahkan nunanya ke atas kasur. Perhatiannya kemudian teralih ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul satu malam.
"Astaga! Gue lupa ada Edgar di apartemen. Bakalan jadi kapal pecah apartemen gue!"
Elang langsung merapikan selimut Nunanya setelah itu mencium keningnya. "Selamat malam nuna. Mimpi indah." Elang lalu menutup pintu kamar Aletha.
Elang keluar kamarnya dengan sedikit berjinjit, malas kalau ayahnya akan mengetahuinya. Dua langkah lagi ia menuju pintu, Elang dikejutkan dengan lampu yang tiba-tiba hidup.
Bangsat! Si tua Bangka itu masih aja idup malam-malam gini.
Elang menoleh dan mendapati ayahnya mendekat kearahnya. Dan plaaakkk...
Sebuah tamparan keras mengenai pipi Elang. Ia sudah tahu itu akan terjadi.
"Kau membuat masalah Elang!" ucap Rasyid dingin. Elang mendengus mencemooh menatap kearah lantai sembari mengusap bekas tamparan ayahnya.
"Aku tahu," setelah itu Elang langsung meninggalkan ayahnya.
"Kau tidak boleh berkuliah dan harus bekerja di perusahaan ayah saat kau tamat SMA nanti. Dan juga kau harus segera bertunangan dengan Renatta. Itu hukumannya."
Elang tak menghiraukannya. Dan tetap melangkah keluar.
Dasar iblis. Kau kira aku mau menurut padamu?!
Elang lalu memanggil Mang Ujang, supir pribadinya yang menungguinya di pos satpam.
"Mang pilih jalan yang lewat dari simpang deket sekolah ya."
"Iya Mas," jawab Mang Ujang sambil mengelap wajahnya yang basah karena baru berusap.
Selama di perjalanan Elang menatap ke luar jendela. Perasaan kesal, marah, bingung, bercampur aduk dalam pikirannya. Lalu dalam hatinya terlintas, 'Ara sudah dirumah belum?'
Saat mobil melewati jalan simpang dekat sekolah, Elang meminta laju mobil untuk melambat.
Namun, tatapannya tiba-tiba terbelalak, melihat seperti sosok Edgar dan Ara sedang tertawa di dekat dinding kaca di sebuah cafe yang terlihat sangat jelas.
Elang menyuruh Mang Ujang berhenti. Dan ternyata benar, itu Edgar dan Ara. Di tambah lagi motor yang terparkir adalah motor Elang.
...