Hal Langka

1284 Words
"Maksud kamu?" Safira sontak memicing, meminta penjelasan atas apa yang diucapkan Kai barusan. 'Sial! Gue malah kelepasan ngomong!' Kai merutuki kecerobohannya dalam hati. Kini, dia harus berpikir keras untuk mencari alasan. Jika tidak, Safira pasti akan tahu semua rencana yang sudah dia susun selama ini. "Kai," tegur Safira. "Apa, sih?" Kai berdecak, lalu berpura-pura mengangkat cangkir kopinya, dan menyesapnya. Safira masih belum mau pergi. "Aku itu tanya. Tadi maksud omongan kamu itu apa? Kamu tadi bilang—" "Gue laper! Bisa bikinin gue sarapan sekarang?" Kai menyela perkataan Safira, sebelum perempuan itu makin mendesak meminta penjelasan. Dia beranjak dari tempatnya. "Cepetan! Gue mau tiduran dulu di kamar. Kalo udah siap, elu ketok aja pintu kamar gue." Tak berminat berlama-lama berada di dapur sekaligus ingin menghindar. Kai lantas pergi dari ruangan itu, dan masuk ke kamar. Sementara Safira berdiri sambil menatap nyalang kepergian Kai. "Aku yakin, dia tadi nyebutin nama Mas Arkana," gumam Safira, masih mengingat-ingat setiap ucapan Kai padanya. "Apa dia punya niat buruk sama Mas Arkana?" Daripada pusing memikirkan Kai yang tidak jelas, lebih baik Safira segera mengerjakan pekerjaannya, lalu membuatkan sarapan untuk sang tuan rumah. Sebelum memasak, Safira lebih dulu mencuci beberapa baju kotor milik Kai. Beberapa baju dari dalam tas ransel yang kemarin Kai bawa keluar kota. Selesai mencuci, Safira lanjut membuat sarapan. Namun, ketika membuka kulkas dan hendak mengambil stok bahan masakan, yang ada hanya keju slice, tomat, daun bawang serta cabai bubuk. "Ya ampun. Gak ada apa-apa. Mau masak apa, coba?" Safira menggaruk kepala sambil meneliti isi kulkas yang kosong melompong. "Gimana, dong?" Dia bingung. "Mana sarapan gue?" Kai tiba-tiba sudah muncul kembali di dapur. Berdiri dengan tangan terlipat di d**a. Safira mengembuskan napas panjang, lalu menutup kulkas. Dia berbalik dan menjawab, "Aku lupa bilang kalo isi kulkas habis." "Elu gimana, sih, Fir?" "Kan, aku udah bilang lupa." Safira memutar bola matanya. "Ck! Gue udah laper banget lagi!" "Beli bubur ayam aja. Kan, ada, tuh, di pinggir jalan pas mau ke arah sini," usul Safira. "Sekalian pulangnya mampir belanja di swalayan buat beli stok bahan masakan." Mau tak mau Kai pun setuju. "Ya udah. Ayo! Payah banget, sih, lu!" sungut Kai, lalu pergi ke kamarnya lagi untuk mengambil kunci mobil. "Yang ngomong juga payah!" balas Safira. Dia pun lekas bersiap-siap untuk berangkat. Kali pertama makan bubur ayam di pinggir jalan dan itu pun harus mengantre. Kai yang tidak terbiasa makan di sana awalnya kesal dan sempat marah. Namun, saat lidahnya mengecap rasa gurih berpadu dengan rasa manis. Raut muka yang awalnya kesal, otot-otot yang tadinya menegang seketika mengendur. Safira yang duduk di sampingnya menyadari perubahan itu. "Enak 'kan?" sindirnya, sambil mengaduk pelengkap bubur agar tercampur. Kai melirik. "Biasa aja." Tentu dia merasa gengsi jika mengakui rasa bubur ayam yang memang sangat enak. "Ck, biasa aja, kok, sampe lahap gitu makannya," cibir Safira, dan mulai menyuap. "Kok, lu, jorok, sih, Fir? Masa diaduk-aduk gitu?" tanya Kai yang keheranan melihat cara makan Safira yang sangat-sangat aneh menurutnya. "Jorok apanya? Cara ternikmat makan bubur, tuh, ya, begini. Diaduk sampai kecampur semua. Hmm .... Mantep!" Safira menyuap buburnya lagi dengan raut riang. Sedangkan Kai meringis dan bergidik. "Cewek aneh! Makan cara apaan, tuh!" "Kamu yang aneh! Ketauan banget kalo gak pernah makan bubur ayam. Ck!" Safira tertawa dalam hati. "Cerewet! Udah buruan! Habis ini katanya mau ke supermarket." "Ke supermarket punya Papi kamu atau ..." "Ck! Yang deketan sini aja! Ngapain ke sana-sana!" sahut Kai, lekas menghabiskan buburnya. "Iya, deh!" Keduanya lalu bergegas pergi dari warung bubur setelah menghabiskan bubur masing-masing. Mobil Kai saat ini sedang menuju ke supermarket terdekat. Hanya perlu waktu sekitar sepuluh menit mereka sampai ke tempat yang dituju. "Gue nunggu di sini aja. Males!" Kai berkata sambil membuka kaca jendela. Dia lalu mengambil kotak rokok yang ada di saku jaket. "Kok, gak ikut masuk? Ini belanjaannya banyak, loh? Nanti siapa yang bantu bawain?" protes Safira. "Nanti kalo udah selesai belanjanya, elu telepon gue." Kai menyulut rokoknya. Bibir bawah Safira mencebik. "Ya udah." Dia melepas sabuk pengaman. Biasanya Safira selalu belanja kebutuhan bahan-bahan di apartemen Kai setiap seminggu sekali. Dia lebih mirip istrinya Kai daripada calon kakak ipar. Kai menyodorkan debit miliknya ke Safira sebelum perempuan itu turun dari mobil. "Nih! Pakek ini buat bayar. Pin-nya sama kayak pin apartemen. Gue lagi gak ada duit kes." Disodorkan debit card oleh Kai, sepasang manik Safira mengerjap. Tidak biasanya pemuda itu menyerahkan barang-barang pribadinya ke sembarang orang. Apalagi, ini menyangkut uang. "Gak takut kalo duitnya aku habisin?" sindir Safira, mengambil kartu tersebut dari tangan Kai, dan membolak-baliknya. "Gak! Gue 'kan bisa tambahin itu ke utang-utang lu! Beres!" sahut Kai, mengisap filter tembakau, lalu mengepulkan asap ke luar jendela mobil yang terbuka. "Buruan!" Safira mendengkus, lalu turun dari mobil. _ Selesai berbelanja, Kai dan Safira langsung menuju apartemen. Ada sekitar empat kantong belanjaan yang dibawa ke atas oleh keduanya. Safira membeli keperluan dapur sekaligus kamar mandi. Beres menata belanjaan pada tempatnya masing-masing, Safira lanjut memasak untuk makan siang. "Kai, makan dulu. Aku udah masak." Safira mengetuk pintu kamar Kai. "Iya, bentar!" Kai menyahut dari dalam. "Ya udah. Makanannya udah siap di meja. Kamu tinggal makan. Aku mau siap-siap pulang ke rumah dulu." Safira masuk ke kamar yang dia tempati selama tinggal di tempat itu. Rencananya, dia akan pulang dan akan kembali lagi lusa. Ada hal yang penting yang ingin ditanyakan pada ayahnya, pastinya mengenai kejelasan uang sepuluh juta hasil meminjam dari Kai. Sementara Safira masuk ke kamar, Kai keluar dari kamarnya. Melangkah ke dapur, dan melihat meja makan sudah terisi beberapa macam masakan. Selama tiga bulan lebih, Kai sudah terbiasa dengan masakan buatan tangan Safira yang menurutnya tidak terlalu buruk rasanya. Pintu kamar Safira terbuka, Kai menoleh, lalu bertanya, "Elu ada rekening 'kan, Fir?" "Nomor rekening? Ada, kok. Buat apaan?" tanya Safira, melangkah ke dapur. "Udah gak usah banyak nanya! Kirimin sekarang ke gue." Kai berkata sambil mengisi piringnya dengan nasi beserta lauk dan sayur. Tentu saja Safira semakin terheran-heran dengan pertanyaan Kai. Rekening? Buat apaan? pikir Safira yang kemudian mengedikkan bahu, dan lekas mengirimkan nomor rekeningnya lewat pesan. "Udah kukirim," ucap Safira. Kai hanya mengangguk karena mulutnya sedang mengunyah nasi. "Ya udah. Aku pulang dulu. Lusa baru ke sini lagi," pamit Safira, mencangklong tali tas ransel ke pundak kirinya. Kakinya sudah bersiap akan pergi, tetapi tiba-tiba... "Entar malem lu berangkat ke Bar 'kan?" tanya Kai, dan Safira sontak urung melangkah. "Iya." Kai manggut-manggut seraya mengangkat gelas yang sebelumnya sudah diisi air oleh Safira. Dia meminumnya sedikit, dan meletakkannya kembali. "Biasanya kalo berangkat jam berapa?" tanya Kai. Kening Safira mengernyit. Lagi-lagi dia dibuat terheran-heran. Tetapi, dia tidak mau berpikiran buruk terlebih dahulu. "Aku, sih, biasanya berangkat jam delapan. Telat-telatnya jam sembilan," ucapnya memaparkan, sambil menelisik raut Kai yang tak bisa ditebak. Selama mengenal dan bersama Kai, baru kali ini pemuda itu menanyakan perihal itu. Selain keras kepala dan suka seenaknya, Kai itu terbilang manusia yang sangat cuek terhadap sekitar. Kadar kepekaannya itu sangat-sangat tipis. Bahkan, Safira sampai dibuat takjub karena bila diingat-ingat lagi, seharian ini dia dan Kai berinteraksi layaknya calon ipar. Tak pernah sekalipun Safira akrab seperti ini dengan Kai. Dari mulai sarapan bersama di warung bubur lalu mengantarnya berbelanja. Ini adalah hal yang langka. Safira pun akhirnya mulai menyadari, jika sejak tadi pagi cara bicara Kai juga sangat berbeda. 'Habis dari luar kota dia jadi berubah kayak bukan Kai yang biasanya. Kok, aku malah jadi was-was, ya? Apa dia punya rencana lain lagi?' batin Safira yang mendadak merasa takut sekaligus cemas. Akan tetapi, ketakutan dan kecemasannya segera berganti dengan keterkejutan. Ketika sosok yang tengah duduk di kursi meja makan dan sibuk mengunyah itu melontarkan kata-kata. "Entar malem gue jemput ke rumah lu jam delapan. Pokoknya elu harus udah siap pas gue dateng. Ngerti?" Sepasang manik Kai menyorot Safira. "Nger-ti." _ bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD