Keceplosan

1247 Words
Semalam, tepat jam satu Kai tiba di apartemen bersama teman-temannya. Itu semua sebenarnya terpaksa. Eve pun datang tanpa diundang begitupun dengan ke lima temannya yang memaksa ingin ke tempat tinggal Kai, dengan alasan sudah sangat lama mereka tidak berpesta. Inginnya menolak, tetapi Kai merasa tidak enak. Niat ingin beristirahat pun harus ditunda dan menunggu sampai teman-temannya pulang. Kai juga sempat mendatangi kamar Safira, memastikan jika perempuan itu masih tinggal di apartemennya. Mendapati calon kakak iparnya sudah terlelap, Kai tak sampai hati membangunkannya. Lalu, ketika Safira mengintip dari celah pintu kamarnya, Kai pun sebenarnya menyadari. Namun, sengaja berpura-pura tidak tahu sebab dia sangat yakin jika Safira tidak menyukai keberadaan teman-temannya yang tukang rusuh. Saat semua teman-temannya dan Eve pergi, Kai-lah yang membereskan bekas kekacauan di ruang tamunya. Mengepel serta membersihkan sampah-sampah yang ada dengan tangannya sendiri. Hampir menjelang pagi dia melakukan hal tersebut. Tubuhnya terasa sangat lelah, tetapi matanya tak jua dapat memejam. Ada banyak hal yang dia pikirkan. Salah satunya mengenai kehidupan Safira. Masalahnya, kenapa mendadak dia jadi kepikiran mengenai Safira? Gusar. Karena itu Kai memutuskan untuk beranjak dari kasur, lalu keluar kamar. Pada saat yang bersamaan, dia melihat Safira yang sudah bangun dan tengah berada di dapur. "Fir," panggil Kai. Safira menoleh dengan manik melebar. "Astaga. Kamu?" Dia terkejut melihat sosok yang ada di hadapan. Seperti bukan Kai yang dia kenal. Yang biasa tampil dengan rambut gondrong menjuntai sebatas leher. "Apaan, sih, lu? Kayak ngeliat setan." Kai kesal karena reaksi Safira yang berlebihan. Dia menduduki kursi, dan bersedekap. Kemudian berkata, "Bikinin gue kopi." Bibir bawah Safira mencebik, dengan perasaan jengkel dia lekas melaksanakan perintah tuan rumah. Mengambil cangkir dari kabinet dan mulai merebus air di panci. Sambil duduk, Kai memejamkan mata. Namun, telinganya mendengarkan pergerakan Safira yang sedang meracik kopi di cangkir. "Bokap lu gimana?" tanya Kai. "Gimana, apanya?" Safira balik bertanya, dan seketika mendapat decakan dari Kai. Tangannya sibuk menuang air panas ke cangkir. "Kebiasaan! Ditanya malah balik nanya." "Kamunya aja kalo nanya nanggung. Sepotong-sepotong doang!" sahut Safira tak ingin disalahkan. Kopi yang dibuatnya sudah jadi. Safira menaruhnya di meja makan. "Kalo nanya itu yang jelas, jadi yang ditanya juga biar paham," sambungnya. Sejenak Safira mengamati perubahan penampilan Kai. Ada yang berbeda dari biasanya. Dengan potongan rambut yang menurutnya cukup oke, Kai terlihat semakin menarik. Lalu, anting tindik yang biasanya terdapat di sudut bibir bawah kini sudah tidak ada. Telinganya pun sama. Tidak ada lagi anting-anting di sana. Sialnya, saat Safira keasyikan menjelajahi ketampanan Kai, manik pemuda itu tiba-tiba terbuka. Safira lekas mengalihkan pandangan seraya berdeham. Mendapati Safira yang salah tingkah karena ketahuan sedang memandangi dirinya membuat satu sudut bibir Kai naik. Sepuluh hari tidak melihat Safira, Kai merasa jika calon istri kakaknya itu semakin kurus seperti kurang sehat. "Bokap lu jadinya buat usaha apa?" Kai bertanya sambil mengangkat cangkir kopinya, menghirup aromanya sesaat. Baru kemudian menyeruputnya perlahan. "Gak tau," jawab Safira, berlalu dari hadapan Kai, dan mengambil gelas di kabinet. Meletakan cangkir kopinya, Kai lalu bertanya lagi, "Gimana, sih? Elu 'kan anaknya? Masa' gak tau?" Aneh saja. Padahal, Safira itu anak perempuan. Harusnya, antara ayah dan anak perempuan itu biasanya dekat. "Kamu aja yang tanya sendiri sama Bapakku. Kalo aku yang nanya, yang ada dia malah marah-marah gak jelas." Safira menuang air putih ke gelas yang baru saja dia ambil dari kulkas. Kemudian menduduki kursi yang berseberangan dengan Kai dan meminum airnya. "Kok, gitu?" Kening Kai mengerut, sementara Safira mengedikkan bahu pertanda dia tidak mempunyai jawabannya. Kai mengangkat cangkir kopinya lagi, lalu menyesapnya. "Kamu yang beresin semuanya?" Safira hanya memastikannya saja bila yang dilihatnya semalam bukanlah mimpi. Kai mengangguk sambil meletakkan cangkirnya ke meja. "Tumbenan?" sindir Safira. "Gue gak bisa tidur makanya nyari kesibukan." "Kenapa gak bisa tidur?" "Gak tau!" Safira manggut-manggut. Dia lalu teringat sesuatu. "Oh, iya. Mas Arkana ada ngehubungin kamu, gak?" Pertanyaan Safira membuat Kai seketika berdecih. "Kenapa, emang? Dia gak ngehubungin lu?" Satu alisnya naik setinggi mungkin. Seolah-olah dia merasa senang jika dugaannya tepat. "Enggak ..." Kepala Safira menggeleng pelan, lalu membuang kasar napasnya. "Udah tiga hari lebih Mas Arkana belum telepon aku," adunya. "Ya lu teleponlah! Masa' gitu aja pakek disuruh?" Kai mulai jengkel. "Nomornya gak aktif." Safira menggigit bibir bawahnya, menahan sesak yang tiba-tiba menghimpit d**a. "Aku pikir dia telepon kamu atau kamu yang telepon dia." "Ck! Ngapain gue telepon dia?" acuh Kai, lantas bersedekap. "Kamu gak khawatir sama kondisi Papimu?" Bahu Kai mengedik. "Biasa aja." Safira memicing, lalu mencebik. "Kamu itu anaknya tapi kayak bukan anaknya,"cibirnya. "Gue juga gak mau kali, jadi anaknya," sahut Kai dengan entengnya. "Kalo gue bisa milih, gue gak mau lahir dari hasil hubungan gelap." Karena selama bertahun-tahun dia harus menanggung rasa malu atas predikat yang disandangnya. Sepertinya topik pembicaraan sudah di luar batas. Safira hanya tidak suka jika menyinggung perasaan Kai. "Hmm ... Oke. Aku ngerti." Memilih untuk menyudahi, Safira lantas berdiri. "Aku mau nyuci baju dulu." "Bertahun-tahun menyandang predikat anak haram itu gak enak rasanya, Fir. Apalagi, hampir setiap hari kita jadi bahan ejekan. Di rumah sendiri pun gak dianggap pula," ucap Kai tiba-tiba, dan itu berhasil membuat Safira berbalik menatapnya. Kai kembali melanjutkan bicaranya, "... Gak di rumah, gak di sekolah. Arkana selalu jadi idola. Barack gak pernah bosen muji-muji anak pertamanya itu di depan semua orang. Sedangkan ada gue yang jelas-jelas anak kandungnya juga. Barack itu seakan malu ngakuin gue sebagai anaknya di depan umum. Makanya, selama gue tinggal di rumah, yang gue dapet cuma cacian dari mulutnya." "... Dia gak pernah nganggep gue sama nyokap. Dia juga sering nyalain gue kalo misalkan Arkana kenapa-napa di sekolah. Pokoknya Arkana dan Arkana. Gue itu gak pernah ada di hidupnya, Fir. Jadi, kalo sekarang gue gak mikirin dia. Itu bukan salah gue. Karena dia yang udah jadiin gue kayak gini. Gue sama sekali gak ada ikatan batin sama dia. Gue gak peduli, mau dia hidup atau pun mati." "Kai." Safira menegur Kai atas apa yang diucapkan oleh pemuda itu. Meski dia cukup prihatin atas apa yang dialami Kai selama ini. Safira baru mengetahui semua itu, dan sangat tidak menyangka jika calon mertuanya dulunya seperti itu. Dia sampai tidak bisa berkomentar banyak karena menatap wajah Kai yang sendu. Kai mendengkus. "Rasanya gak adil aja, Fir. Dia minta gue maafin semua kesalahannya. Tapi, apa dia pernah mikir? Gimana perasaan gue, bertahun-tahun hidup dalam lingkungan yang benci sama gue? Apa dia pernah mikir, gimana gue mati-matian berjuang hidup, saat gue hampir mutusin mau bunuh diri? Gak, Fir! Barack gak pernah mikirin semua itu. Manusia itu terlalu egois, sampe gak sadar kalo dia udah jadiin gue korban." Safira termangu. Untuk pertama kalinya dia mendengar Kai mengeluh. Bercerita mengenai ketidakadilan yang dia dapatkan dari sosok yang seharusnya melindungi. Sosok yang Safira pikir bijaksana dan baik. Ternyata, di balik sifatnya yang suka seenaknya, Kai mempunyai luka yang begitu besar dan membekas. Sehingga menimbulkan perasaan benci yang mendarah daging. Jika seperti ini siapa yang patut dipersalahkan? Safira pikir, jika Kai hanyalah korban. Karena dari itu, Kai tidak segan-segan berbicara kasar kepada ayahnya sendiri. Kebencian sudah menutupi hati nuraninya sebagai seorang anak. 'Aku baru tau kalo ternyata kamu memiliki luka sebesar itu, Kai. Aku juga gak nyangka, ternyata calon ayah mertuaku dulunya seorang yang sangat tega dan jahat sama darah dagingnya sendiri. Dia secara terang-terangan menyalahkan dan menyudutkanmu. Menghancurkan mental anak kandungnya sejak kecil.' Benak Safira menyeru, menyayangkan apa yang dilakukan Barack terhadap Kai. "Karena itu, gue bertekad buat ngebales sakit hati gue. Gue mau Arkana ngerasain gimana rasanya berada di posisi gue dulu." Kai menatap nyalang Safira. Kebencian nampak begitu jelas dari sorot matanya. "Maksud kamu?" _ bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD