Pulang

811 Words
Pulang ke rumah bukannya disambut dengan sapaan ramah atau paling tidak mendapat senyuman. Safira malah mendapati Januar tertidur di sofa dengan kondisi baju yang berantakan dan bau alkohol yang sangat menyengat. Kondisi rumah sudah mirip kapal pecah. Botol-botol minuman berserakan di sembarang tempat. Piring dan gelas kotor juga berserakan di mana-mana. "Ya ampun ...." Safira membuang napas lelah. Meraup wajahnya dengan telapak tangan, lalu meringis jijik. "Bapak pasti abis minum-minum lagi sama temen-temennya." Mau marah. Mau kesal. Mau mengomel. Safira tidak memiliki cukup tenaga untuk hal sia-sia semacam itu. Dia sudah cukup merasa lelah selama tinggal di apartemen Kai. Dan kini Safira harus melihat kekacauan ini. "Kapan ini semua berakhir ...?" gumam Safira lirih, menyorot sendu pada ayahnya yang tidur di sofa. Tidak mungkin juga 'kan Safira membiarkan saja kekacauan ini, meski tubuhnya terasa sangat lelah. Rumah itu harus terlihat rapi dan bersih walau pun tidak mewah. Agar setiap orang yang memandang akan merasa betah dan tidak jijik. Safira lantas masuk ke kamarnya terlebih dahulu, mengganti pakaiannya dengan baju rumahan. Baru setelah itu dia membersihkan rumah. Pertama-tama yang dia lakukan adalah memunguti satu persatu botol bekas minuman di lantai, memasukkannya pada kantong plastik dan menaruhnya di sudut pintu masuk rumah. Biasanya akan ada tukang rosok yang mengambil botol-botol bekas tersebut. Selesai dengan urusan botol, Safira mencuci piring dan beberapa perabot rumah yang kotor. Selanjutnya dia menyapu seisi rumah sampai teras hingga bersih dari debu dan semacamnya. Dia lalu mengepel lantainya dengan cairan pel khusus lantai yang wangi agar bau minuman dan rokok tidak terendus lagi. Kemudian setelah mengepel, Safira pergi ke warung yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah dengan berjalan kaki. "Eh, Neng Fira. Kok, baru keliatan, sih, Neng? Habis dari mana aja?" tanya si pemilik toko yang menjual berbagai macam keperluan rumah serta dapur itu. Safira tersenyum dan tidak terlalu sulit untuk menjawabnya, "Iya, Bu. Kebetulan saya dipindah ke salah satu cabang yang jaraknya lumayan jauh. Jadi, daripada bolak balik ngabisin ongkos, saya milih kos dekat sana. Biar gak abis di ongkos gajinya, Bu." "Bener, Neng." Si ibu berambut beruban itu manggut-manggut percaya. "Silakan milih-milih dulu, Neng." "Ya, Bu." Safira lalu membeli sayuran, buah-buahan juga lauk untuk makan malam. Dia juga membeli beras dan kebutuhan lainnya di toko itu. Selesai berbelanja, Safira lekas kembali ke rumah dan mulai memasak untuk dia dan ayahnya. Januar masih tidur di tempat semula. Tak berpindah apalagi bergeser. Safira membiarkannya saja tak mau mengusik ayahnya. Namun, dia pasti akan menanyakan banyak hal pada Januar saat sudah bangun. Karena ini menyangkut uang yang jumlahnya tidak sedikit. Safira harus tahu, bukan? ke mana perginya uang tersebut? Bunyi ponsel mengalihkan perhatian Safira yang tengah mencuci beras. Meninggalkan pekerjaannya itu, Safira buru-buru berlari menuju ke kamar untuk mengambil ponsel. Senyumnya mengembang ketika melihat nama si penelepon. "Mas Arkana?" Safira langsung menjawabnya, "Halo, Mas?" "Halo, Sayang." Arkana menyapa dengan lembut seperti biasa. "Apa kabar?" "Aku baik, Mas. Mas sendiri, gimana?" Safira duduk di tepi ranjang sambil senyam-senyum sendiri dan memainkan kaki. "Aku baik, Sayang. Maaf, ya, baru bisa telepon sekarang. Kemaren-kemaren gak sempet." "Syukurlah, Mas," sahut Safira merasa lega dengan jawaban Arkana. Dia menghela panjang napasnya dan menanggapi permintaan maaf kekasihnya. "Aku ngerti, Mas. Di sana kamu pasti kewalahan." "Iya, Fir. Aku di sini lumayan kesulitan. Soalnya, bukan di negara sendiri. Jadi bingung." Terdengar suara kekehan Arkana dari seberang sana. Safira ikut tertawa. "Besok-besok bawa asisten, Mas. Jadi kamunya gak perlu kewalahan sendiri." "Asisten udah ada, Fir. Aku sewa jasa orang yang tahu seluk beluk di sini. Ya ... lumayan ngebantulah." "Oh ... Ya bagus, Mas. Itung-itung bantu kamu biar gak kerepotan urus sana-sini." "Iya, Fir." Sejenak hening. Keduanya tenggelam dalam pikiran masing-masing. Lalu ... "Gimana sama Kai, Fir? Dia jagain kamu dengan baik 'kan?" tanya Arkana. Raut Safira sontak memucat. Perlu waktu yang cukup lama untuk dia menjawab. "Baik, kok, Mas. Dia baik." Dia menghela napas pendek, seraya memijat pelipis. Bila membicarakan Kai, kepalanya selalu merasa pusing mendadak. Bagaimana tidak? Jika mengingat nama tersebut, maka Safira juga mengingat semua utang-utangnya. "Baguslah." "Mas di sana jaga kesehatan, ya? Jangan capek-capek," ucap Safira.. "Iya, Sayang. Kamu juga. Doain, semoga Papi bisa cepet dapet pendonor. Jadi, aku juga gak kelamaan di sini." "Tentu, Mas. Aku pasti doain kesembuhan Papi," sahut Safira. "Kalau gitu teleponnya disambung besok lagi, ya? Gak pa-pa 'kan?" "Iya-iya, Mas. Gak pa-pa." Safira beranjak dari kasur, lalu meletakkan ponselnya ke nakas karena obrolannya dengan Arkana sudah selesai. Pekerjaan di dapur yang tertunda lekas-lekas dilanjutkan oleh Safira, karena jam yang hampir menjelang malam. "Udah jam enam? Cepet banget." Beras sudah selesai dicuci, lalu tinggal di masukkan ke dalam magic com. Sambil menunggu nasi matang, Safira menyiapkan bahan masakan yang dibelinya tadi. Malam ini menu makan malamnya cukup sarden dan sayur capcay. "Fira! Safira!" panggil Januar dari ruang tamu. Saat terbangun hidungnya langsung mencium aroma masakan. Dia yang yakin jika Safira sudah kembali ke rumah, pun lantas meneriakinya. - bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD