DELAPAN

1359 Words
Setelah gosip miring yang beredar beberapa hari lalu, kini gosip itu sudah mereda dengan sendirinya. Aku tidak lagi mendengar kasak kusuk dari orang orang sekitar. Sebenarnya aku sendiri juga tidak tahu dari mana asal muasal rumor tersebut. Tapi satu yang pasti. Menghilangnya semua rumor buruk yang terjadi tentangku, tidak lain karena Andy. Ya, kekuasaan yang dimilikinya, mampu membungkam nyinyiran setiap orang yang ada. Aku sangat bersyukur karena memiliki teman seperti Andy. Biarlah orang berkata apa, aku tak peduli. Bagiku, Andy serta Endrew sudah seperti saudara. Aku masih berjalan melewati setiap koridor gedung kampus. Ketika aku melewati toilet, tanpa sengaja aku melihat Endrew yang sedang berbicara dengan seseorang. Aku tidak tahu siapa orang tersebut. Aku mendekat untuk menghampiri Endrew, dalam sekejap, orang yang berbicara dengan Endrew menghilang begitu saja. “Kek, ngapain, lo disini?” tanyaku. Endrew terlonjak kaget dengan suaraku yang tiba-tiba. “En- enggak ada apa-apa. Memangnya kenapa?” dengan sedikit tergagap Endrew balik bertanya. Ku tatap mata Endrew untuk mencari kebenaran dari apa yang dikatakannya. “Yakin tidak apa-apa? Lo gak kedinginan apa dengan baju seperti itu?” kulihat seluruh baju Endrew basah. “Abis kecebur dikolam mana, lo?” Endrew terlihat aneh. Ia seperti kebingungan untuk menjawab setiap pertanyaan yang kulayangkan. “Oh- ini tadi gue kecebur dikolam ikan deket taman belakang kampus.” Sambil berjalan kedalam toilet. “Pantesan lo bau ikan. Ha ha ha,” gurauku. Endrew mendengus tidak terima. “Enak aja bilang gue bau ikan, bentar.” Endrew segera masuk kedalam toilet untuk mengganti baju. Beberapa menit kemudian, seluruh baju yang tadinya basah kuyup. Kini sudah kering seperti sedia kala. Entah kapan Endrew membeli baju atau memang dia sudah membawa baju ganti, yang jelas Aroma amis dari air kolam berganti dengan aroma wangi parfum yang menguar dari pakaian Endrew. “Weh … bawa baju ganti, Lo?” sambil aku endus aroma tubuh Endrew.     “Weh … wangi bener, kayak mbak kunti aja, lo. Wanginya semerbak sampai mual rasanya,” gerutuku sambil berlalu sedikit menjauh, tidak kuat mencium aroma parfum menyengat. “Lo duluan saja, perutku gak bisa diajak kompromi nih,” tanpa ingin mendengar jawaban dariku. Endrew seketika kembali menutup pintu toilet. aku hanya mengangguk sebagai jawabanku. Tanpa menoleh, aku tinggalkan Endrew yang masih setia bercengkerama di dalam toilet. “BRUK” tanpa sengaja aku menabrak seseorang saat keluar dari dalam toilet. “Maaf, Mbak. Saya tidak sengaja,” kulihat siapa orang yang aku tabrak. Tanpa sengaja aku menatap orang itu. Ia adalah Lisa, gadis yang pernah menuduhku yang bukan-bukan. “Aduh, bagaimana ini. Kalau dia sampai melihatnya matilah aku, kenapa harus disaat seperti ini tamuku datang,” kalimat yang ada didalam otaknya kala itu. Aku melihat Lisa begitu tidak nyaman serta sedang menyembunyikan sesuatu. Aku tahu kalau dia kedatangan tamu bulanan. Sepertinya gadis itu tidak siap kedatangan tamunya. Aku membantunya untuk berdiri, dan melepas jaket yang kenakan dan kuberikan kepadanya. “Pakailah ini, ini akan sedikit membantumu.” Aku mengulurkan jaket yang ada di tanganku. Aku lihat Lisa enggan menerima bantuan dariku. Tanpa aba-aba, aku pasangkan jaketku pada pinggang ramping Lisa. “Jangan menolak, aku yakin kamu membutuhkannya saat ini,” ucapku kemudian aku pergi meninggalkan Lisa yang masih berdiri di depan toilet. “Lisa!” terdengar suara seseorang yang familier di telingaku. Aku menoleh ke sumber suara. Ternyata benar dugaanku. “Bi- bian, kenapa kamu menyusulku kemari?” tanya Lisa yang terkejut dengan kedatangan Bian. Bian adalah tetanggaku di kampung. Dia adalah anak dari pak Budi, pengepul cabai terkaya dikampung. “Kenapa kamu lama sekali? Aku sudah menunggumu diluar sejak tadi. Iin bilang kalau kamu sedang di toilet. ya aku kemarilah,” ucap Bian panjang lebar. “Eh, ada monster disini!” ejeknya saat melihatku. “Mo- monster kamu bilang, Bi?” kulihat Lisa menatap tajam Bian untuk mencari jawaban atas kata pria pembuat onar tersebut. “Iya, dia itu monster. Kamu tahu enggak, kalau dia itu bukan manusia. Mana ada manusia yang bisa membaca pikiran orang lain,” ucap Bian sinis. “Ap- apa maksud kamu, Bi?” Lisa masih saja tidak mengerti ditambah dengan keadaan wajah cantik itu semakin pucat pasi. Bian tidak lagi menghiraukan pertanyaan yang dilayangkan oleh Lisa. Sepertinya, akulah yang diincarnya. “Heh, Monster. Bagaimana lo bisa kuliah di tempat ini heh? Bapak gue aja gak bisa kuliahin gue disini bersama Lisa. Kenapa lo bisa disini? Nipu orang lo? Atau lo manfaatin orang yang sedang kesusahan dan mencari keuntungan darinya menggunakan kemampuan busukmu itu?” tuduhnya kepadaku. Aku hanya diam, enggan untuk menimpali omangan unfaedah yang keluar dari mulutnya dan berlalu meninggalkan mereka berdua. Aku tahu ini pasti akan terjadi jika aku bertemu dengan Bian. Setidaknya aku bersyukur, karena aku tidak kuliah di tempat yang sama dengannya. Ya, Bian adalah mahasiswa kampus lain. Aku tidak tahu, ada urusan apa dia sampai datang ke fakultas pertanian tempatku belajar. Sepertinya Bian memiliki satu hubungan dengan Lisa. “Hei, Monster. Mau kemana lo main kabur aja?” teriaknya kepadaku yang semakin menjauh. Samar samar aku dengar Bian meminta Lisa melepas paksa jaket yang aku kenakan padanya. “Cepat lepas, aku tidak mengizinkanmu mengenakan jaket milik monster itu.” Dengan kasar Bian membuka jaket tanpa memikirkan nasib Lisa. “Tap- tapi-” belum sempat Lisa mengucap kalimatnya. “Ini milik lo. Jangan sekali kali lo nawarin apapun kepada cewek gue.” Dan melempar jaket kearah mukaku. Aku melihat Lisa hendak berlari masuk kedalam toilet, namun langkahnya terhenti kala mendengar suara Bian. “Lis, kenapa kakimu berdarah?” sontak Lisa menoleh kearah kedua kakinya. Dan Lisa bisa melihat darah yang sudah menetes tipis di antara roknya. Sontak semua mahasiswa yang berada disana, mengetahui apa yang terjadi kepada Lisa. Dan itu membuat Lisa merasa sangat malu. Lisa seketika berlari masuk kedalam toilet dan menguncinya dari dalam. Aku bisa mengerti dengan apa yang dirasakan Lisa saat ini. Bagaimana bisa Bian tidak bisa peka dan memahami keadaan sensitive yang sedang di alami Lisa. Kejadian hari ini sungguh kejadian yang sangat memalukan bagi Lisa. Jangankan Lisa, aku sendiri yang notabenya seorang pria merasa sangat malu dengan kebodohan dari Bian. Aku segera menyusul Lisa yang berada di dalam toilet, dan memberikan kembali jaket yang sempat dikembalikan oleh Bian. “Lis, pakailah ini. Aku akan menganggap kejadian hari ini tidak pernah terjadi.” Aku letakkan jaket di atas dinding toilet. aku yakin kalau Lisa akan tahu aku meninggalkan jaket disana. Aku kembali keluar dari dalam toilet dan menghampiri Bian yang masih di luar. “Dasar gak punya otak, Lo. Teganya lo melakukan itu kepada Lisa.” Kutatap Bian, bisa kudengar kini ia sedang memakiku. Aku tidak peduli dengan tatapan semua orang kepadaku. Aku yakin, kalau mereka sudah mendengarkan semua ucapan pria bodoh ini. Dan sudah dipastikan, sebentar lagi akan ada berita heboh seantero kampus. Yang tak lain adalah berita tentangku serta kemampuanku. Biarlah mereka berbicara seenaknya, aku tidak peduli. “Satu, dua, tiga,” hitungku sambil menjauh dari Bian. “b******k, Lo monster!” seketika Bian melayangkan tinjunya dari belakang. Aku sudah menduga, pasti Bian tidak akan diam saja. Aku segera menghindar dari pukulan Bian. Bian jatuh tersungkur kelantai karena pukulannya tidak tepat sasaran. “Kalian bisa lihat, kan. Dia memang monster. Buktinya dia bisa menghindari pukulanku dengan mudah,” jelasnya kepada mahasiswa yang tengah menonton keributan yang ia timbulkan. Bisa kudengar kasak kusuk dari para penonton. Mereka telah terhasut oleh omongan Bian. Bisa dipastikan, gossip miring yang telah mereda akan kembali ramai diperbincangkan. Ditambah dengan hasutan Bian hari ini. Aku tidak peduli akan omongan mereka yang tidak tahu menahu tentangku. Kuanggap semua omongan mereka hanya sebuah angin lalu. Aku segera pergi meninggalkan tempat itu. Aku tidak ingin lebih lama lagi berada disana. “Pengecut, mau kabur Lo?” hina Bian. Ia sengaja ingin menyulut emosiku. Aku berbalik dan mendekat kearah Bian. “Terserah apa yang kamu bilang, aku hanya tidak ingin menimbulkan keributan di tempat umum.” “Pengecut, pengecut aja, Lo. Jangan sok jadi anak baik. Didepan saja belagak jadi orang baik, tapi nyatanya, Lo memanfaatkan orang dengan segala kelebihanmu.” Aku terus berjalan tanpa menghiraukan Bian yang berteriak mencaciku. Tanpa menunggu Endrew yang masih berada di dalam toilet, aku pergi menuju kelas. Aku sungguh tidak tahu, apa yang membuat Bian membenciku sedari dulu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD