DUA PULUH EMPAT

1749 Words
Di dalam Aula telah ada raja Arthur yang duduk di atas singgasananya bersama para tetua kerajaan fairy. Mereka tanah merundingkan perihal diri Keiyan beserta kekuatan yang dimilikinya. Para tetua saling berbisik, membicarakan masa depan kerajaan. Tidak semua tetua berpendapat sama dalam melangkah. Masing-masing berusaha mementingkan ego sendiri. "Baginda, bagaimana kalau kita memberi posisi pada Keiyan di kerajaan ini. Dengan begitu, ia akan selalu berada disini untuk melindungi kaum kita dari musuh." salah satu tetua yang bernama Robin memberi usul. "Tapi, Baginda. Alangkah baiknya kalau kita membantu Keiyan. Kita semua tahu siapa Keiyan sebenarnya serta seberapa besar kekuatannya. Lebih baik kalau dia menyelesaikan dulu masalahnya. Saya sangat yakin kalau dia pasti akan selalu mengingat kebaikan kita. Keiyan merupakan tipe orang baik dan tidak mudah melupakan orang yang telah membantunya. Dan dia pasti akan selalu membantu kita kelak meskipun dia tidak berada disini. Bukankah jiwanya juga terhubung dengan tempat ini? Dia pasti akan tahu disaat kita membutuhkannya kelak." usul tetua yang lain. "Saya setuju dengan pendapat itu. Jika kita menempatkan Keiyan di kerajaan, maka dia akan berpikir kalau dia sedang diperalat. Dan kita tidak tahu kedepannya jika dia sampai berpikiran seperti itu. Dan kita juga tahu, kalau Keiyan bisa saja menghancurkan kerajaan ini meski hanya seorang diri. Saya rasa, kita harus membimbingnya serta menunjukkan jalan yang benar. Saya yakin kalau Keiyan tidak akan mau menerima jabatan yang diberi di istana." tetua yang lain menimpali. “Bagaimana kalian bisa tahu, kalau dia tidak akan menerima jabatan yang akan kita tawarkan?” Robin tidak yakin dengan ucapan yang lain. Manusia mana yang tidak akan silau jika diberi posisi yang tinggi. semua manusia pasti suka yang namanya harta, tahta, dan wanita. Robin sangat yakin kalau Keiyan akan tetap tinggal jika dia memberi salah satunya. kalau dia tidak menginginkan harta atau tahta, maka Robin akan memberikan wanita kepada Keiyan. “Saya sangat yakin dan sangat mengenal siapa Keiyan," sahut seorang wanita yang masih terlihat cantik meski sudah berumur. "Kenapa kamu sangat yakin, Lea. Dari mana kamu tahu?" ujar Robin yang masih kukuh dengan pemikirannya sendiri. "Kamu pikir, aku selama ini kemana? Aku yang selalu mengawasinya sejak petaka hari itu. Kalau saja hari itu aku tidak bergegas membawanya pergi, mungkin kaum kita akan musnah. Ingatlah! Pelindung yang kita gunakan selama ini tidak lain karena kekuatan darinya. Jangan lupakan Adrick saat ini sudah mulai bergerak. Kita harus membantu Keiyan jika tidak ingin seluruh dunia Immortal hancur dan jatuh ke tangan Raja yang salah." Robin seketika bungkam mendengar apa yang dikatakan Lea. Ia telah melupakan hal paling penting selama ini. Memang benar selama ini kaum fairy telah mendapatkan pelindung berupa ilusi kabut tebal. Sehingga tidak ada musuh yang berani menyerang. Tanpa ada yang tahu bahwa sedari awal Keiyan mendengarkan setiap percakapan para tetua di dalam Aula. "Jadi selama ini, memang aku berasal dari dunia monster ini. Endrew pernah bilang kalau aku merupakan salah satu bagian dari para peri. Karena ia pernah melihat energi pelangi berkumpul pada tubuhku. Lalu, kenapa mereka bilang bahwa aku mempunyai masalahku sendiri. Harusnya mereka mengatakan kepadaku, siapa aku sebenarnya," batin Keiyan. "Masuklah, Kei. Aku tahu kamu berada disini sejak tadi," perintah Lea. Keiyan terkejut dengan apa yang didengar ya. Itu berarti Lea sudah mengetahui bahwa Keiyan telah mendengarkan semua perkataan mereka. Begitu pun dengan para tetua dan raja, yang tidak mengetahui Keiyan sudah datang. Mereka kira Keiyan masih melanjutkan makan bersama keluarga kerajaan yang lain. Semua orang yang berada di dalam ruangan itu gugup, mereka takut kalau Keiyan akan berburuk sangka. Kecuali Lea. Keiyan membuka pintu yang tinggi menjulang dengan ukiran yang unik di setiap daun pintu. Keiyan sungguh terkejut ketika ia berhadapan dengan salah satu tetua disana. Keiyan merasa sangat familier pada satu-satunya wanita paruh baya di sana. "Kemari lah, Kei. Duduklah disini," titah Lea yang melihat Kei masih diam tercengang di hadapannya. "Kei," panggil Lea lagi sambil menepuk bahu Keiyan. Keiyan tersentak kaget merasa ada yang menepuk bahunya. "Kenapa wajahnya sangat mirip dengan mbok Lastri? Hanya saja mbok Lastri sudah sangat tua. Atau hanya perasaanku saja," batinnya. Mata Kei masih saja menatap Lea. Yang ditatap hanya membalas dengan senyuman. Rapat para tetua pun sudah membuahkan hasil. Para tetua bersedia membantu Keiyan untuk menemukan guru yang tepat untuk Keiyan serta menemukan cara untuk menggunakan darah Keiyan yang ternyata mengandung racun, tapi juga bisa digunakan sebagai obat yang ampuh jika menggunakan beberapa ramuan. Tapi sayangnya tidak ada yang mengetahui ramuan jenis apa yang bisa digunakan. Bahkan para tabib juga kesusahan mencari ramuan itu. Beberapa kali melakukan percobaan. Tapi hasilnya nihil. Racun di dalam Kei terlalu kuat. Hanya satu orang yang pernah menggunakan darah jenis itu. Yaitu nyonya Grace satu-satunya tabib dari klan witch yang bisa merubah racun dalam darah menjadi sebuah obat. Akan tetapi, tidak ada satupun yang mengetahui keberadaan nyonya Grace. Nyonya Grace menghilang begitu saja seperti ditelan bumi sejak perang saudara di kerajaan Witch. Chris sudah mulai putus asa, pasalnya semua percobaan selalu gagal. Sampai kapan ia akan menunggu. Sedangkan dirinya dituntut untuk segera membawa obat untuk pangeran Alex yang sampai saat ini masih tertidur lelap dalam peti. "Kek, besok pagi kita akan segera pergi dari sini. Kita harus mencari tuan Gary untuk bisa membantuku." Chris mendengar percakapan Kei dan Endrew ditaman belakang. Chris tidak tahu harus bagaimana. Apakah dia akan terus mengikuti kemana Keiyan pergi, atau ia akan kembali dengan tangan kosong. Yang akan mengecewakan junjungannya. Dan disini, belum tentu akan berhasil mengubah racun tersebut. "Kenapa begitu cepat, Kei? Apa ada sesuatu yang terjadi?" Endrew terkejut dan sedikit kecewa dengan apa yang dikatakan oleh Keiyan. Jika besok pagi ia akan pergi, itu artinya ia akan pergi juga meninggalkan tempat ini dan akan susah untuk bertemu kembali dengan tuan putri. "Ada hal yang lebih penting, ini menyangkut dunia ini," Keiyan menjelaskan. "Lalu, bagaimana dengan pangeran Alex yang menunggu dalam tidurnya disana?" sahut Chris yang berada di balik tiang. "Kita akan mencari nyonya Grace bersama. Aku akan memintanya untuk membantu. Kamu jangan khawatir." sambil menepuk bahu Chris. Keesokan hari Kei dan dua orang temannya tengah berjalan ditengah hutan. mereka menuju arah utara untuk menemukan jejak dari tuan Gary. Tuan Gary adalah salah satu tetua legendaris dari kerajaan Witch yang pernah menjabat sebagai tangan kanan raja terdahulu Raja Arlan. Sepanjang perjalanan, hanya terdengar suara Endrew dan Keiyan yang bercanda. Chris hanya diam dan mengamati interaksi dua sahabat tersebut tanpa ingin menyahut ataupun menimpali. "Hei, lo itu makhluk hidup bukan, sih? Dari kemarin hanya diam saja." ujar Endrew yang tidak direspon sama sekali oleh Chris. "Berasa ngomong sama angin, gue. Dah lah, kesel gue liat muka pucet lo!" dengusnya dan berlalu meninggalkan Chris yang duduk di atas pohon. "Kek, lo tunggu sini aja. Gue mau ke sungai dulu," pamit ya. "Jangan lama-lama, lo. Bosen Gue sendiri." teriak Endrew sambil menatap sinis Chris. "Noh, ada Chris. Lo gak sendirian." mengerlingkan sebelah mata sambil terkekeh. "Sial, lo! Dah sana. Jangan sampai kayak kucing, lo!" Endrew mengumpat. Keiyan menyusuri sungai yang menuju air terjun. Melihat hamparan sungai yang luas, ia teringat akan Jack yang selalu menemaninya di hutan kala sedih ataupun senang. Sesak terasa menghimpit d**a Keiyan. "Jack, dimana kamu saat ini? Aku sangat yakin kalau kamu masih hidup. Semoga kita bisa bertemu lagi, Jack." menatap derasnya air yang jatuh kepermukaan. Keiyan berjalan menuju bawah air terjun. Ia ingin mendinginkan kepalanya saat ini. Kei ingin merilekskan tubuh untuk sejenak setelah beberapa hari berjalan dan tidak menemukan tanda-tanda tuan Gary ataupun nyonya Grace. Dinginnya air yang terjatuh di atas kepala serasa sedang memijat kepala Kei. Kei berharap rasa panas yang ada dalam dirinya akan menghilang. Melebur bersama dinginnya air yang mengalir. Kedua bola mata yang memanas juga akan akan segera kembali normal. Ia tidak ingin menunjukkan rasa sakit yang mendera sekujur tubuhnya di hadapan Endrew. Setelah rasa sakit Kei mereda, tanpa sengaja Kei melihat ada sebuah goa di balik air terjun. Terlihat ada sebuah cahaya terang berasal dari dalam. "Adakah orang yang tinggal di dalam gua itu?" ucapnya dalam hati. Keiyan perlahan mendekat ke bibir gua. Ia sangat penasaran siapa yang berada di dalam gua itu. Batuan yang berwarna gelap karena lumut, menjadikan batu itu licin. Aroma lembab jamur dan tanah menguar jelas di indra. Kei berjalan memasuki gua dengan perlahan dan berusaha tidak menimbulkan suara. Kei tidak ingin mengganggu orang ada di dalam gua itu. Kei melihat seorang wanita tua yang sedang memasak menggunakan kuali yang terbuat dari tanah liat menggantung di atas api kayu. "Nek, sedang apa nenek disini? Ke apa nenek hanya seorang diri. Dimana keluarga nenek berada," Keiyan mencercanya dengan berbagai pertanyaan. Nenek menatap Keiyan tajam, tanpa menjawab semua pertanyaan yang dilontarkan Keiyan. Nenek merasa kesal karena ada yang berani mengganggunya. Selama ini tidak ada yang berani mengganggu ketenangannya kecuali sang suami. "Apa maumu hingga datang kemari? Apakah pak tua yang telah menyuruhmu kemari?" nenek menyelidiki. Ia mengira bahwa Kei orang suruhan sang suami yang menyuruhnya untuk pulang. "Pak Tua?" Keiyan membeo. "Pak tua siapa yang nenek maksud? Saya sama sekali tidak bertemu dengan siapapun selain teman saya yang sedang menunggu." nenek menatap tepat pada manik mata Kei. Nenek merasakan ada sesuatu dalam diri Kei. Akan tetapi tidak tahu apa itu. "Kamu bilang temanmu telah menunggumu, bukan?" Kei mengangguk dan menjawab, "Benar, Nek." "Hari sudah mulai gelap, cepat bawa temanmu kemari. Sebelum pasukan penyihir hitam tahu ada seseorang Di wilayah mereka." Endrew dan Chris masih setia menunggu kedatangan Keiyan. Mereka duduk bersandar pada batang pohon besar. Tiba-tiba ada pasukan yang mengenakan jubah berwarna merah mengepung Endrew dan Chris. "Siapa kalian? Kenapa kalian kemari?" tanya Endrew yang terkejut dengan kedatangan pasukan tersebut. "Cepat tangkap mereka. Jangan biarkan mereka lolos." Endrew pernah mendengar suara pimpinan pasukan itu. Tapi siapa? Kalau dilihat dari cara mereka berpakaian, Endrew tahu kalau mereka anggota kaum penyihir sama sepertinya. Akan tetapi, aura kaum penyihir itu sangat gelap. Tidak seperti kaum penyihir yang lain. Endrew berusaha melawan, tapi ia kalah jumlah. Pasukan itu terlalu banyak. Pun dengan Chris yang dengan mudah ditangkap oleh pasukan penyihir tersebut. Sebab selama beberapa hari Chris tidak minum darah. Baik itu darah manusia maupun binatang. Endrew mengarahkan tongkatnya untuk membantu Chris terlepas dari genggaman para penyihir itu. Kemudian ia memanggil pasukan ularnya untuk membantu melawan para penyihir. Pasukan ular Endrew telah tiba, beberapa penyihir hitam telah tumbang karena bisa ular itu. Akan tetapi, Endrew kalah saat melawan pimpinan penyihir hitam yang tidak lain adalah Luca. Endrew terkejut kala melihat wajah dari pimpinan penyihir yang telah menyerangnya. Pantas saja Endrew merasa tidak asing dengan suara tersebut. Karena suara itu adalah suara yang sering kali berbicara kepada Andy. Endrew juga tahu kalau Luca merupakan ayah dari salah satu sahabatnya Lucy.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD