TIGA BELAS

1783 Words
Kei memasuki ruang kelas bersama Endrew. Kebetulan Andy sedang mengikuti kelas lain. Mereka duduk pada bangku paling belakang. Kei tidak ingin menjadi pusat perhatian karena duduk di tengah-tengah. Sebenarnya bukan Kei yang menjadi pusat perhatian tersebut. Melainkan Endrew lah sang tokoh utama. Tetap saja Kei merasa risih dengan tatapan para wanita di dalam kelas tersebut. Ketika mata kuliah kuliah hampir selesai, Para mahasiswa dihebohkan dengan pengumuman akan diadakannya study tour ke luar Kota. “Baiklah, Anak-anak yang mau mengikuti kegiatan tersebut silakan mendaftarkan diri pada ketua panitia. Tentu saja kegiatan kita kali ini akan sangat mempengaruhi nilai kalian. Jadi bapak harap kalian semua bisa ikut serta dalam kegiatan tersebut. Kelas saya akhir, Selamat Siang.” Dosen pergi meninggalkan ruang kelas. “Kei, lo ikut gak study tour minggu depan?” tanya Endrew. “Entahlah, kalau minggu ini gue udah gajian, gue ikut. Kalau gak... Ya gak ikut,” Kei mengira kira. “Palingan juga udah gajian, lo gajian di awal bulan, kan?” Endrew menegaskan. Kei mengangguk membenarkan kalimat Endrew. “Udah, lo gak usah mikir soal biaya study tour, gue bayarin. Uang gaji lo bisa lo kirimkan ke ibu. Gue tahu kalo lo memikirkan ibu iya, kan?” tebak ya. Tak dipungkiri kalau Kei sangat mengkhawatirkan sang ibu. Walau ibu selalu berkata bahwa beliau baik-baik saja tidak serta merta membuat Kei tenang. Satu bulan setelah berita menghilangnya bapak, membuat Kei semakin protektif akan keadaan sang ibu. Anak mana yang tega membiarkan ibunya tinggal sendirian. Kei lebih sering pulang ke kampung di akhir pekan. “Makasih, Kek. Lo udah banyak sekali membantu gue.” “Tidak masalah, bukankah kita sudah seperti saudara? Ini sudah menjadi kewajiban sebagai seorang saudara.” Endrew mengediplan sebelah matanya kepada Kei. “Kek, gue pinjem motor lo. Nanti malam gue mau pulang jenguk ibu.” “OK, hati-hati di jalan. Salam buat ibu, gue kangen sama masakan beliau. Balik ya bawa makanan yang banyak, ya.” Sambil mengedipkan sebelah mata. Sore ini Keiyan pergi ke kampung untuk menjenguk keadaan sang ibu. Kei melesat di tenaga-tengah jalanan Kota yang padat kendaraan. Endrew merasa ini adalah kesempatan emas untuknya berbicara dengan Andy. Pasalnya Endrew curiga akan sesuatu, ia sangat yakin bahwa ada sesuatu yang telah Andy sembunyikan darinya. Endrew memencet bel pintu apartemen Andy, Andy tersentak ketika bel berbunyi. Ia lihat siapa yang telah bertamu malam-malam seperti ini. Andy melihat melalui monitor mini, ternyata Endrew yang datang. Andy melihat kain kecil yang berada di pinggir tempat sampah, dengan segera ia ambil dan memasukkanya pada kantong plastic yang ditutup rapat. Kemudian ia masukkan kembali pada tempat sampah. Andy bernapas lega ketika kain tersebut sudah tak terlihat, dan segera menuju pintu untuk mempersilakan Endrew masuk. “Tumben, Lo ke sini? Mau ngapain? Mana Kei, kenapa gak ikut?” Endrew langsung masuk apartemen tanpa dipersilakan. “Gue tidur di sini ya? Bosan gue sendirian. Si Kei ke kampung jenguk ibu,” gerutunya sembari merebahkan tubuh di atas sofa. “Bagaimana kabar ibu? Aku dengar beliau sudah bisa menerima tiadanya bapak,” tanya Andy basa basi. “Lo, benar. Tidak kah, Lo ingin mengunjungi beliau? Bukankah beliau sudah seperti bunda lo sendiri?” pancing Endrew. Andy hanya mengangkat sebelah alis menanggapi pertanyaan Endrew. Ia sama sekali tidak berniat untuk menjawab. “Gue perhatikan, Lo berubah, Ndy. Sebenarnya apa yang, Lo sembunyikan dari kita. Gue tahu, Lo sedang menyembunyikan sesutau, apakah itu berhubungan dengan Kei?” ungkapnya. Sontak Andy menatap tajam Endrew, “Sok tahu, Lo. Emang masalah gue hanya tentang Kei?” ucapnya tanpa sadar. “Bingo! Ternyata benar semua ini berhubungan dengan Kei. Jangan-jangan apa yang terjadi kepada bapak ada hubungannya dengan, lo?” “Enggak!” sergahnya. “Lo sendiri tahu gue berada di kastil waktu itu. Gue merindukan bunda,” memberi alasan. “Lo, mau minum apa? Ambil sendiri di lemari es,” ucap Andy untuk mengalihkan perhatian. “Ndy, gue lapar. Kita makan di luar yuk! Gue yang traktir,” ajaknya. “Tumben, Lo traktir? Biasanya cari yang gratisan, Lo.” “Sekali-kali enggak apa dong, asal gak keterusan.” Jadilah mereka keluar untuk makan malam. Di lain tempat … Keiyan baru saja memarkirkan motor di halaman rumahnya. Ia melihat rumah tampak sepi, seperti rumah tak berpenghuni. Keiyan melangkahkan kaki menuju depan pintu dan membukanya. Dengan mudah, Kei bisa membuka pintu yang memang tidak terkunci dengan sempurna. “Ibu, Kei pulang, Bu,” teriaknya saat sudah di ruang tamu. Tidak ada sahutan dari dalam. Kei tidak mendengar suara ibu menyahut. Ia menyusuri dapur untuk mencari keberadaan sang ibu. Dapur kosong, tidak ada apa pun di sana. "Ke mana ibu? Ah, mungkin ibu istirahat di kamar," batinnya. Keiyan kembali melangkahkan kaki menuju kamar ibu. Perlahan Kei membuka pintu kamar, betapa terkejutnya Kei saat melihat seseorang yang sangat dikenalnya tengah terbaring di atas ranjang. “Bapak,” panggilnya. Kei segera mendekat ke arah bapak. Keiyan melihat bapak yang masih menutup mata. Kantong infus mengantung di atas, serta jarum yang menancap pada punggung tangan bapak. Banyak balutan perban pada tubuh bapak, hampir menutupi seluruh tubuh. Terdapat monitor holter yang mendeteksi detak jantung di samping ranjang. Ada juga tabung oksigen untuk membantu bapak bernapas. Keiyan bisa merasakan betapa sakitnya yang dirasakan bapak saat ini. Keiyan sangat bersyukur, bapak sudah kembali di tengah-tengah keluarganya. Akan tetapi, ia juga merasa sedih akan keadaan bapak yang memprihatinkan. Kei hanya bisa berharap semoga bapak lekas sembuh seperti sedia kala. “Bapak, kenapa bisa seperti ini?” ucap Kei meski tahu bapak tidak akan menjawab pertanyaannya. "Kenapa bapak tidak dirawat di rumah sakit? Akan aku tanyakan kepada ibu jika beliau pulang nanti." “Pak, maafkan Kei. Kei selalu saja membuat masalah untuk bapak dan ibu. Kei juga tidak bisa melindungi bapak di saat kejadian itu terjadi. Harusnya Kei patuh kepada bapak untuk tidak ke Kota. Andai saja Kei ada di rumah waktu itu--” “Kamu tidak perlu menyesali apa yang sudah terjadi, Nak." potong Mbok Lastri. "Ini memang sudah takdir. Meski pun waktu itu kamu berada di sini, kalau takdir sudah menggariskan seperti ini, maka akan terjadi.” Suara Mbok Lastri yang menasehati. Tubuh yang sudah renta tersebut mendekat dan berkata, “Tidak ada gunanya menyesali apa yang sudah terjadi. Nasi yang sudah menjadi bubur tidak akan bisa berubah seperti semula. Tapi bubur sangat bermanfaat bagi mereka yang sedang sakit. Begitu juga dengan semua yang sudah kamu alami, biarlah semua terjadi. Kita bisa mengambil hikmahnya dan menjadikannya sebuah pelajaran hidup. Agar di masa depan nanti kita tidak mengulangi kesalahan yang sama.” “Iya, Mbok. Kei juga tahu itu. Hanya saja rasa bersalah Kei jauh lebih besar. Kei hanya takut tidak bisa melihat bapak lagi,” “Apa yang kamu bicarakan itu, Kei. Ndak baik berpikiran seperti itu. Selama ini ibu yakin kalau bapak akan kembali. Nyatanya Sang Pencipta mengirim bapak kembali to?” sela ibu. “Di dunia ini tidak ada yang tidak mungkin, asalkan kita percaya dan yakin kepada Sang Pencipta, pasti akan ada jalan.”Ibu kembali melanjutkan kalimat yang terjeda. “Sudah, ayo kita bergegas. Kita tidak punya banyak waktu,” ucap Mbok Lastri. Kening Kei mengkerut tidak mengerti dengan ucapan mbok Lastri. “Bergegas ke mana, Mbok? Kenapa kita tidak punya banyak waktu?” Kei bertanya, ia masih bingung dan tidak mengerti dengan semua. Tiba-tiba banyak orang dari pihak medis yang masuk ke dalam kamar. Mereka melepas satu persatu alat yang menempel pada tubuh bapak. “Lho, ini kenapa dilepas semua? Bagaimana dengan bapak?” Kei sungguh tidak mengerti, kenapa mereka semua datang pada malam hari. Bukankah bisa dilakukan besok pagi. Tidak ada satu pun yang menjawab pertanyaan Kei. “Kei, nanti akan ibu jelaskan. Sekarang yang terpenting adalah memindahkan tubuh bapak terlebih dulu. Yang jelas bukan di rumah ini,” jelas ibu. Para medis telah selesai melakukan tugasnya. Mereka juga sudah memindahkan bapak ke dalam mobil. Keiyan melihat mobil ambulance yang ada di depan rumah, kei berpikir kalau bapak akan di pindahkan ke rumah sakit. Akan tetapi dugaan Kei salah, mobil ambulance yang dikira akan membawa bapak ke rumah sakit ternyata hanya pengecoh. Nyatanya bapak di bawa ke rumah Mbok Lastri. Keiyan semakin tidak mengerti kenapa dan mengapa ibu melakukan ini. Sesampai di rumah Mbok Lastri, Keiyan melihat semua alat yang sempat terpasang sudah berada di sana. “Bu, Mbok, ada apa ini, kenapa bapak tidak di bawa ke rumah sakit?” tanya Kei yang sudah tidak tahan dengan semua rasa penasarannya. “Kei, ibu sangat tahu dan mengerti. Kamu pasti sangat bingung dan bertanya tanya bagaimana bisa bapak seperti ini? Dan kenapa bapak di bawa kemari dan tidak ke rumah sakit?” Keiyan mengangguk, karena memang benar. “Begini, Kei. Di hari menghilangnya bapak kamu waktu itu, Tanpa sengaja Mbok Lastri berada di hutan untuk mencari kayu bakar. Mbok melihat dua orang yang berjalan menuju hutan, salah satunya bapak kamu. Mbok sangat yakin karena sudah hapal dengan suara bapak kamu. Mbok sangat terkejut saat tiba-tiba petir menyambar pohon yang ada di dekat Nawi. Nawi mengajak orang itu untuk segera pulang, tapi dia menolak. Kamu tahu, pria yang bersama Nawi itu bukan manusia. Hiiii … Mbok merinding kalau mengingat hari itu.” Mbok bergidik takut. Beliau menutup semua pintu serta jendela dengan rapat. Dengan suara yang pelan, Mbok berbisik tidak ingin ada orang lain yang mendengar. “Pria itu mempunyai kekuatan yang bisa mengangkat dan menghempaskan Nawi dalam jarak yang cukup jauh. Mbok bersembunyi di balik pohon karena takut. Cuaca pun sangat mendung. Terakhir kali mbok melihat, Nawi berlari dari pria itu entah ke mana. Mbok ingin sekali mengikuti mereka, tapi Mbok sangat takut. Terlebih, Mbok mendengar suara lolongan serigala. Mbok memilih untuk segera pulang. Selama sehari penuh Mbok tidak berani keluar rumah karena takut. Mbok sangat terkejut saat orang kampung membicarakan perihal Nawi yang hilang di hutan.” “Mbok, bagaiamana Mbok bisa yakin kalau pria itu bukan manusia?” Keiyan tidak percaya dengan apa yang di ceritakan Mbok Lastri. “Pria itu memiliki tongkat sihir, Kei. Di dunia ini tidak ada manusia yang mempunyai kekuatan seperti itu. Kalau pun itu ada, pastilah bukan manusia.” Yang Keiyan lihat hanya ada kejujuran di setiap kata yang di ucap Mbok Lastri. Tapi hati dan pikiran Kei menolak untuk percaya pada hal tersebut. Sungguh tidak masuk akal. “Ibu juga beberapa kali melihat orang asing yang sedang memperhatikan rumah kita. Di setiap malam, pria itu akan datang. Ibu takut, ibu merasa di untit.” Ibu menghela napas sejenak. “Kei, apa kamu pernah dengar bapak telah melakukan sebuah kesalahan?” Keiyan menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Bu, ibu tidak perlu khawatir. Kei yakin bapak sama sekali tidak melakukan kesalahan. Mungkin di sini Kei lah yang salah. Ibu jangan berpikir yang macam-macam.” Keiyan mencoba untuk menenangkan ibu, meski dalam hati terasa sangat was-was.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD