EMPAT BELAS

1562 Words
Satu minggu berlalu, dan akhir pekan ini Kei tidak pulang ke kampung. Sebab hari ini adalah hari di mana para mahasiswa fakultas pertanian melakukan kegiatan study tour ke luar Kota. Kei sudah bersiap dengan tas ransel yang cukup besar. Sebab membawa perlengkapan untuk berkemah di hutan. Lokasi utama study tour ini adalah kebun teh. Akan tetapi untuk memupuk tali silaturahim, maka diselenggarakan kemah bersama di hutan yang tak jauh dari kebun teh. Setelah bis menempuh dua jam perjalanan, tibalah rombongan tersebut pada salah satu kawasan hutan lindung di Jawa Timur. Hutan tersebut disebut dengan Taman Nasional Meru Betiri. Yang terletak pada kawasan kabupaten Jember dan kabupaten Banyuwangi. Kei bersama rombongan telah sampai di basecamp tempat mendirikan tenda. Dalam kegiatan tersebut, mahasiswa dan mahasiswi di pisahkan oleh tempat api unggun. “Baiklah anak-anak, silakan kalian bentuk kelompok. Setiap kelompok beranggotakan 5 orang. Untuk putra satu kelompok dengan putra, pun dengan putri. Paham, ya?” ujar pak Seno menjelaskan. “Paham, Pak.” Serentak semua peserta menjawab. Pak Seno adalah dosen pembimbing sekaligus penanggung jawab atas kegiatan tersebut. “Bagus, silakan membentuk kelompok, dan bagi tugas. Sebagian ada yang mendirikan tenda dan sebagian pergi mencari kayu bakar dan air. Ingat! Jangan memotong ranting yang masih di atas pohon. Silakan kalian mengambil ranting kering yang sudah terjatuh di tanah. Paham, semua?” kembali pak Seno menegaskan. “Paham, Pak.” Semua peserta segera membentuk kelompok seperti yang di instruksikan dan membagi tugas. Kei dan Endrew satu kelompok bersama 3 teman lainnya. Yaitu Deni, Robi, dan Jaya. “Baiklah, kita bagi tugas. Aku dan Robi mendirikan tenda, Kei mencari kayu bersama Jaya, Endrew mencari air,” ujar Deni membagi tugas selaku ketua kelompok. Kei beserta yang lain setuju dengan usul Deni. Tapi tidak untuk Jaya. “Gak mau gue,” tolak Jaya. “Enak aja gue diberi tugas yang berat! Gue jaga tenda aja,” beralih melihat arah Keiyan. “Kei, lo bisa kan cari kayu sendiri? Lo kan tinggalnya di hutan pasti bisa cari kayu sendiri.” Jaya memandang Kei tidak suka. “Hei, lo pikir Kei apa? tinggal di hutan? Kalau ngomong yang jelas, lo.” Sergah Endrew tidak terima. “Nah, memang bener kan Kei tinggal di lereng gunung. Memangnya jauh dari hutan apa?” Jawabnya dengan sinis. “Jalannya aja yang lewat hutan, bukan rumahnya,” Endrew menjelaskan. “Sama aja. Sama-sama tinggal di tengah hutan,” kayak lutung, sambungnya dalam hati. “Sudah, ayo kek kita cari kayu dan air. Hari sudah semakin sore, kita harus bergegas.” Kei menarik tangan Endrew supaya tidak melanjutkan perdebatan. “Kenapa lo gak marah? Jelas-jelas dia mengejek lo. Lo jangan diam aja kalau ada yang menindas. Gemes gue,” ucapnya kesal. Sebab Kei hanya diam dan tidak membela dirinya sendiri. “Kenapa gue harus marah? Karena memang semua yang di katakan benar adanya.” “Tapi ya nggak diam juga keles. Masak lo di katain kayak lutung diam aja. Gak terima gue,” ucapnya keceplosan. “Dari mana lo tau Jaya ngatain gue kayak lutung? Kayaknya dia gak omongin lutung?” Kei mulai curiga kepada Endrew. Memang Kei mendengar kalau dirinya dihina dan disamakan dengan lutung. Kei marah? Iya. Jengkel? Iya. Namun Kei tetap berusaha untuk tidak menghiraukan perkataan Jaya. Kalau tidak, maka Keiyan akan di anggap sebagai monster seperti rumor yang pernah beredar sebelumnya. Keiyan tidak mau dirinya dianggap sebagai monster hanya karena dirinya memiliki kelebihan yang tidak dimiliki manusia lain. Sedari kecil, tidak pernah sedikit pun dalam benak Keiyan untuk menjadi seperti yang dipikirkan oleh orang-orang. Ibu dan bapak selalu mendidik Keiyan menjadi pribadi yang hangat serta baik pada semua orang. Itulah yang ditanamkan sejak dini. “Eng- enggak ada. Gue hanya nebak saja. Kei aku ambil air di sungai itu kamu cari kayu dulu.” Ujar Endrew untuk mengalihkan perhatian dari pertanyaan yang di layangkan Kei. Petang berlalu, gelap mulai datang, dingin mulai merayap menyapu seluruh kulit hingga ke tulang. Seluruh peserta terlarut bersama mimpi . Entah apa yang terjadi hingga tak ada satu pun yang mampu bertahan dengan rasa kantuk yang mendera. Udara dingin pun tak mampu mengusik mereka yang mengarungi alam mimpi. Namun beda halnya dengan Keiyan, pemuda itu amat gelisah dalam tidurnya. Seluruh tubuhnya terasa sangat panas, seperti di panggang di atas bara. Keringat dingin mengucur deras, wajahnya sangat pucat. Membuat diri Kei terjaga. “Kei... Keiyan,” terdengar seseorang yang memanggil namanya. Siapa yang memanggilnya di alam yang begitu larut? Kei menoleh pada setiap taman satu kelompoknya. Tidak ada yang memanggil, semua masih terbuai mimpi masing masing. “Kei, ini aku, Kei.” Suara itu datang lagi. Kei membuka tenda dan keluar. Ia pikir seseorang yang memanggilnya berada di luar tenda. Tidak ada siapa pun di luar tenda. Keiyan keliling untuk mencari asal suara tersebut. Tidak ada orang di luar tenda kecuali dirinya sendiri. “Kei, kamu mendengarku?” lagi suara itu terdengar sangat jelas di pendengaran. Sebenarnya siapa yang memanggil? Kenapa suaranya terdengar sangat dekat, seakan suara itu berada tepat di sampingnya. Akan tetapi, tidak ada seorang pun yang berada di sampingnya. “Siapa kamu?” tidak ada sahutan suara. Suara tersebut menghilang entah ke mana. Hanya terdengar suara binatang malam yang saling bersahutan. Kei merasakan sakit kepala yang teramat sangat, hingga ia tak mampu untuk menopang tubuhnya. Tubuhnya melemah seketika, pandangan Kei mulai buram dan perlahan semakin gelap. Pagi yang dingin tidak menyurutkan semangat para peserta untuk melakukan aktifitas pagi. Suara api yang membara pada kompor portable, serta suara gelembung air yang menyembul ke permukaan di dalam panci panas terdengar sangat jelas. Kei mulai terusik dengan berbagai suara yang terdengar dengan jelas, ia juga merasakan kalau dirinya kini tengah terbaring di dalam tenda. Meski kedua mata masih terpejam, ia merasakan alas yang tipis yang menopang tubuhnya saat ini. Sedang dirinya mengingat dengan jelas apa yang terjadi kepada dirinya semalam. Siapa yang telah memindahkan tubuhnya ke dalam tenda, sedang Kei mengingat bahwa dirinya pingsan di belakang basecamp yang cukup jauh dari tenda. Kei membuka kedua kelopak matanya, hal pertama yang ia lihat adalah seekor semut yang terperangkap pada jaring tenda. Kei tidak menyangka akan melihat hewan kecil tersebut dengan sangat jelas tanpa mengenakan kaca matanya. “Apa aku tidak salah lihat? Apa ini hanya mimpi?” ucapnya dalam hati seakan tidak percaya. Kei mengucek kedua matanya serta mengambil kaca mata yang selalu ada di sampingnya. Di pasang kaca mata yang selalu menghias paras pemuda tersebut. “Kenapa jadi begini? Apakah minus mataku semakin bertambah? Kenapa semakin buram menggunakan kaca mata?” gumamnya sendiri Kei kembali membandingkan penglihatannya yang menggunakan dan tidak menggunakan kaca mata. Ternyata lebih jelas kalau tidak menggunakan kaca mata. Apakah ini artinya kedua matanya sudah normal? Sehingga tidak perlu menggunakan kaca mata untuk melihat. Kei tersenyum senang mendapati dirinya tidak lagi mengenakan kaca mata tebalnya itu. “Ini keajaiban, sungguh menakjubkan,” senyum Kei selalu menghias bibirnya sepanjang hari. Hingga membuat Endrew takut akan perubahan yang di alami sahabatnya itu. “Lo kenapa, Kei? Kesambet, Lo? Dari pagi senyum mulu. Ngomong-ngomong, kemana mata ketiga dan keempat lo? Pecah,” Kei hanya menggeleng sebagai jawaban. “Lantas lo kenapa? Ngeri gue liat, Lo. Udah kayak orang gila tahu gak?” ujar Endrew yang mulai jengkel dengan kelakuan Kei yang tidak biasa. Karena terlalu senang, Kei melupakan sesuatu yang ingin ia tanyakan perihal semalam. Selama satu hari penuh para peserta melakukan observasi serta wawancara kepada setiap petani teh di sekitar. Mulai dari proses penanaman bibit, perawatan, memanen, dan yang terakhir adalah cara pengolahan daun teh menjadi teh seduh yang begitu nikmat. Kini tibalah waktunya untuk game yang telah di siapkan oleh panitia penyelenggara. Masing-masing peserta harus berpasangan antara pria dan wanita. “Baiklah, sekarang waktunya untuk kita bersenang senang setelah menyelesaikan tugas observasi tadi siang.” Suara Pak Seno yang terdengar sangat lantang. “Masing-masing peserta harus mengambil kocokan kertas yang ada. Dan kalian harus berpasangan dengan orang yang memiliki angka yang sama.” Pak Seno membawa kertas undian ke sekitar tenda putra. Dan dilanjutkan-nya menuju tenda putri dengan kotak yang berisi kertas seperti pada kotak pria. Semua peserta sudah mengambil masing-masing satu kertas. Suara riuh peserta yang mencari pasangan sudah seperti pasar tradisional. Para peserta berlalu lalang untuk mencari nomor yang sama dan sesuai dengan yang mereka miliki. Tak jarang ada yang hanya menunggu seseorang menanyakan nomor tanpa harus ikut berjalan. Suasana di sana sangat gaduh dan membuat telinga Kei berdengung karena menyesuaikan suara yang sangat kencang. Kei telah menemukan pasangannya, yaitu dengan Lisa gadis yang pernah melabarak Kei, serta mantan kekasih dari Bian. tetangga Kei di kampung. Sedang Endrew berpasangan dengan Anik, gadis yang pernah memberikan info lowongan pekerjaan sekaligus rekan kerja Keiyan. “Sudah memiliki pasangan semuanya?” suara lantang dari Pak Seno membuat para peserta bersorak, entah itu bersorak karena senang atau pun kecewa karena mendapatkan pasangan yang tidak sesuai dengan keinginan mereka. “Game kita kali ini sangat mudah. Kalian harus mengumpulkan bendera yang sudah tersebar di wilayah hutan. Yang bisa mengumpulkan bendera terbanyak, dialah pemenangnya. Bendera yang kalian cari harus sesuai dengan warna ikat kepala yang kalian kenakan. Tapi, ingat! Kalian tidak boleh melewati batas pagar kalau tidak ingin bertemu dengan binatang buas.” Pak Seno kembali mengingatkan. “Dan waktu pencarian bendera adalah dua puluh menit. Dimulai dari … … sekarang!” para peserta segera berpencar untuk mencari bendera yang di maksud. Mereka saling berlomba untuk mendapatkan hadiah yang di gadang gadang sebelum game ini di lakukan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD