Galih benar-benar membuktikan ucapannya. Penolakan Gayatri yang terang-terangan telah menginjak harga dirinya. Pria itu tidak ingin lagi memberikan kelonggaran. Hari itu juga, Galih memerintahkan anak buahnya untuk mengusir Sapta dan Gayatri dari rumah mereka yang dijadikan jaminan.
"Tolong jangan seperti ini, Mas Galih! Beri kami waktu untuk melunasi hutang kami." Gayatri memelas. Gadis itu tidak tega melihat sang Ayah yang diseret keluar dari rumah.
"Tidak bisa! Kalian sudah terlalu sering menunda dan mengulur waktu. Kesabaranku sudah habis!" Galih sama sekali tidak merasa kasihan melihat Gayatri yang bersimpuh di kakinya. Siapa suruh menolak permintaannya untuk menikah? Gayatri terlalu sombong di mata Galih hingga pria itu ingin memberi pelajaran pada sang gadis.
"Tolong, Den Galih. Rumah dan warung ini satu-satunya harta kami. Di mana kami harus tinggal setelah rumah ini disita?" Giliran Sapta yang memelas. Pria paruh baya yang sudah beberapa tahun mengidap penyakit jantung itu ikut bersimpuh di samping sang putri.
"Aku tidak peduli! Siapa suruh putrimu yang sombong itu menolak lamaranku? Sekarang pergi dari sini! Mulai sekarang rumah ini milikku!" Galih berteriak.
"Sudah, Yah. Kita pergi saja dari sini. Percuma memohon pada orang kejam seperti dia." Gayatri memegang bahu sang Ayah untuk diajaknya berdiri.
"Tapi Ayah tidak mau meninggalkan rumah penuh kenangan ini, Nak."
"Aku tahu, Yah. Tapi kita tidak mungkin melawan Mas Galih. Bisa-bisa kita babak belur dibuatnya. Sekarang kita pergi dulu, ya. Nanti kita pikirkan lagi bagaimana caranya mengambil lagi rumah ini," bujuk Gayatri menenangkan ayahnya, meski sebenarnya ia sendiri bingung harus pergi ke mana.
Di desa itu mereka tidak memiliki lagi sanak saudara. Baik dari pihak keluarga Ayah maupun ibunya Gayatri, saudara mereka bekerja di luar pulau dan tinggal di sana.
"Ayo, Pak. Kita pergi dari sini."
Gayatri mulai menuntun sang Ayah berjalan. Tangan yang satunya membawa tas berisi pakaian mereka.
"Sebentar, Nak." Sapta menahan tangan sang Putri. "d**a Ayah terasa nyeri," keluhnya seraya memegangi bagian tubuh yang dimaksud.
"Ayah kenapa? Kambuh lagi?" Gayatri mulai panik.
Sapta terduduk dengan tangan masih memegangi d**a. Pria itu menahan nyeri yang teramat hebat hingga ia tidak bisa menahannya lagi dan berakhir ambruk di pangkuan sang putri. Teriakan Gayatri menjadi suara terakhir yang ia dengar sebelum kesadarannya benar-benar menghilang.
*****
"Kita harus bicara, Mas."
Mahesa menghela napas kasar melihat kedatangan Yasmin ke kantornya. Memang, sejak kejadian kemarin, Mahesa lebih memilih tidur di apartemen. Ia ingin menjauh dari Yasmin yang pasti membujuknya untuk tidak berpisah.
"Bicara apa lagi? Semuanya sudah jelas, Yas. Kamu tinggal tunggu saja surat dari panggilan dari pengadilan." Mahesa menjawab tanpa menatap wajah istrinya. Pria itu berpura-pura sibuk dengan berkas di depannya.
"Pokoknya aku tidak mau bercerai! Aku akan tetap mempertahankan pernikahan kita!"
"Untuk apa?" Kali ini, tatapan tajam Mahesa menghunus ke arah Yasmin. "Tidak ada yang bisa dipertahankan dari pernikahan yang penuh dusta ini. Justru aku ingin membebaskanmu agar bisa menemukan pria yang mencintaimu."
"Dan kamu bisa bebas kembali pada Gayatri? Itu tujuanmu yang sebenarnya kan, Mas?" tukas Yasmin seraya tersenyum sinis.
"Kamu benar." Mahesa tidak ingin mengelak. "Aku memang akan kembali pada Gayatri, wanita yang sangat aku cintai," jawabnya enteng.
Yasmin mengepalkan tangan. "Kamu memang gak punya hati, Mas! Apa kurangnya aku sebagai istrimu? Aku melakukan kewajibanku dengan baik meski kamu tidak pernah menghargainya. Bahkan, aku tetap sabar saat kamu belum pernah memberikan hakku sebagai seorang istri satu kali pun. Apa kesabaran dan pengabdianku masih kurang? Tidak bisakah Mas belajar mencintaiku dan melupakan Gayatri?" ujarnya penuh harap. Yasmin ingin, sekali saja Mahesa melihatnya sebagai seorang istri.
"Maaf, aku tidak bisa, Yas." Mahesa menggeleng lemah. Nada suaranya mulai melemah ketika diingatkan tentang dirinya yang belum pernah satu kalipun menyentuh Yasmin. Bukan karena tidak bernafsu, hanya saja, Mahesa merasa dirinya sangat jahat jika menyentuh sang istri di saat hatinya masih terisi nama wanita lain.
"Jujur saja aku sempat merasa bersalah karena belum bisa menjadi suami yang baik untukmu. Tapi di saat aku tahu kamu telah memfitnah Gayatri agar hubungan kami berakhir, perasaan bersalah itu hilang seketika. Wanita licik sepertimu tidak pantas mendapatkan perhatian apalagi cinta dariku," ujarnya dengan nada suara penuh penekanan.
"Aku melakukan itu karena aku mencintaimu, Mas!"
"Tapi caramu itu salah, Yasmin!"
Keduanya saling bersitegang. Mahesa hampir saja menyeret istrinya keluar ruangan ketika ponsel yang disimpan di atas meja bergetar. Bergegas mengambil benda tersebut, Mahesa senyum Mahesa terbit seketika setelah melihat nama yang tertera di layar.
"Hallo, Gayatri."
Mendengar nama mantan sahabatnya disebut, Yasmin langsung membuang muka.
"Apa? Oke, aku ke sana sekarang!"
Mahesa menutup sambungan telepon setelah mendapat jawaban dari Gayatri. Mengabaikan keberadaan sang istri yang masih berdiri di ruangannya, pria itu mengambil jas dan kunci mobil untuk segera menuju tempat di mana mantan kekasihnya saat ini berada.
"Mau ke mana kamu, Mas? Kita belum selesai bicara!"
Yasmin mengejar Mahesa yang sama sekali tidak menggubris perkataannya. Mengabaikan tatapan keheranan dari beberapa karyawan yang berpapasan dengannya.
"Mas Hesa, tunggu!"
Yasmin menjerit ketika mobil Mahesa melesat meninggalkan area kantor. Tidak ingin ketinggalan jejak, ia bergegas memasuki mobil dan mengejar suaminya. Yasmin yakin Mahesa akan menemui Gayatri. Entah apa yang mereka bicarakan lewat telepon sebab Mahesa nampak panik.
Yasmin makin yakin Mahesa akan menemui Gayatri setelah hafal jalanan yang mereka lewati menuju ke kampung tempat mantan sahabatnya tinggal. Namun, rasa penasaran kembali muncul saat mobil Mahesa justru memasuki area rumah sakit.
"Ngapain Mas Hesa ke sini? Siapa yang berada di rumah sakit?" gumamnya sebelum turun untuk kembali mengikuti suaminya.
******
"Mas Hesa ...."
Gayatri berlari ke arah Mahesa yang sedang berjalan menghampirinya. Gadis itu tidak menolak ketika Mahesa memeluk erat dan mengusap punggungnya untuk menenangkan.
"Bagaimana kondisi ayahmu?" tanya Mahesa lembut setelah tangis Gayatri mereda.
"Ayah masih belum sadarkan diri, Mas. Dokter bilang, kondisi Ayah kritis, makanya harus dirawat di ruang ICU. Aku tidak tahu lagi harus menghubungi siapa. Maaf kalau aku menganggu waktumu." Isakan Gayatri kembali terdengar.
"Ssstt, jangan berkata seperti itu. Mas justru senang kamu menghubungi Mas. Kamu yang sabar. Mas akan selalu ada di samping kamu."
Gayatri mengangguk lemah. Gadis itu pasrah ketika Mahesa kembali memeluknya.
"Gayatri ...."
"Ya, Mas?"
Mahesa mengurai pelukan. Dibingkainya wajah sang gadis sebelum berkata.
"Setelah ayahmu sembuh dan perceraian Mas dengan Yasmin selesai, Mas akan segera menikahimu. Kita akan mewujudkan impian kita yang sempat tertunda. Bagaimana? Kamu mau, kan menikah dengan Mas?"
Gayatri tetap bungkam. Masih bimbang dengan keputusan yang harus ia ambil. Bukan karena cintanya pada Mahesa telah hilang, tetapi ia tidak ingin dianggap sebagai penyebab perceraian pria itu dengan mantan sahabatnya.
Setiap kata yang meluncur dari mulut Mahesa bisa didengar jelas oleh Yasmin yang berdiri tidak jauh dari tempat mereka. Yasmin merasa iri. Sikap lembut Mahesa pada Gayatri tidak pernah Yasmin dapatkan dari suaminya tersebut.
"Tidak semudah itu kamu bisa lepas dariku, Mas. Aku akan tetap mempertahankan pernikahan kita sampai kapanpun," desisnya dengan tangan yang mengepal, disertai air mata yang mengalir deras.
Gayatri tidak sengaja melihat keberadaan mantan sahabatnya di tempat itu. Genggaman tangan Mahesa dilepasnya sebelum bergumam.
"Yasmin ...."
Mahesa yang mendengar nama istrinya disebut, ikut menoleh mengikuti arah pandang Gayatri. Ketiganya sama-sama terpaku sebelum perawat meminta Gayatri untuk masuk karena ayahnya makin kritis.
🍁🍁🍁🍁🍁🍁