Bab 4

1062 Words
Gayatri tidak pernah menduga hari itu akan menjadi hari terakhirnya berbicara dengan sang Ayah. Setelah dinyatakan kondisinya makin kritis, Sapta menghembuskan napas terakhir di rumah sakit. Gayatri sempat tidak sadarkan diri setelah mendengar kabar mengejutkan itu. Ia begitu terpukul sebab kepergian sang Ayah terkesan mendadak. Beruntung Mahesa selalu setia berada di sisinya. Memberi semangat juga kata-kata penenang agar ia bisa menerima kenyataan yang sudah digariskan Tuhan. Yasmin yang berada di sana ikut menghadiri pemakaman, tidak bisa melakukan apa pun. Hanya menyaksikan dalam diam ketika suaminya memeluk Gayatri dan nampak khawatir sebab wanita yang dicintainya itu beberapa kali tidak sadarkan diri. Ia cemburu. Yasmin jelas cemburu, tetapi sekuat tenaga menahan. Ia sadar tidak bisa bertingkah di saat mantan sahabatnya sedang berduka. Walau bagaimanapun, Yasmin ikut merasa bersedih atas kepergian Sapta, pria paruh baya yang juga sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Kala Yasmin dan Gayatri masih menjalin persahabatan, tidak jarang Yasmin berkunjung dan menginap di rumah Gayatri. Kesederhanaan dan kehangatan di sana membuatnya nyaman, berbeda dengan orang tuanya yang lebih sering mengutamakan pekerjaan hingga Yasmin sering merasa kesepian. Yasmin mengusap sudut mata yang mulai mengembun. Ia sangat menyayangi Sapta, meski kini ia dan Gayatri bukan lagi sahabat. ****** "Aku akan menikahi Gayatri secepatnya." Perkataan Mahesa menyentak lamunan Yasmin yang sedang duduk di taman belakang rumah. Pria itu akhirnya pulang setelah beberapa hari entah ke mana. Ah ... Yasmin sudah bisa menebak. Mahesa pasti disibukkan oleh Gayatri yang masih sedang berduka. "Aku sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Kamu tinggal --" "Sudah berapa kali aku bilang, kita tidak akan pernah bercerai!" Yasmin menyela ucapan suaminya. "Sampai kapanpun, kamu akan tetap menjadi suamiku!" Mahesa menghela napas kasar. Keegoisan Yasmin membuatnya makin muak. "Tolong mengerti, Yas. Tidak ada yang bisa kita pertahankan dari pernikahan ini. Aku sama sekali tidak mencintaimu. Kita hanya akan saling menyakiti jika terus memaksa bersama." Yasmin tergugu. Sakit sekali ketika Mahesa tidak memikirkan perasaannya. Pria itu tidak bisa melihat seberapa besar cinta yang ia miliki hingga nekat berbuat curang. Mahesa hanya melihat dirinya yang jahat, egois serta sisi buruknya yang lain, tanpa berusaha untuk mengerti alasannya melakukan semua itu. "Lebih baik aku mati daripada kita bercerai, Mas." Mahesa terperangah. Yasmin benar-benar sudah gila! Obsesi wanita itu membuatnya tidak bisa berpikir waras. "Jangan mengancamku, Yasmin. Aku tidak akan terpengaruh sedikitpun, apalagi sampai membatalkan niatku," desis Mahesa menahan geram. "Aku tidak sedang mengancam." Yasmin menyeringai. "Mas Hesa ingin melihatku membuktikannya?" Mahesa dibuat terkejut ketika Yasmin tiba-tiba saja berlari ke dalam rumah. Pria itu bergegas mengikuti, sebab takut Yasmin benar-benar nekat membuktikan ancaman. Benar saja. Yasmin berdiri di dekat kompor dengan mengacungkan pisau ke arah Mahesa sembari menyeringai lebar. "Kamu akan melihat aku mati saat ini juga jika bersikeras menceraikanku," desisnya. "Jangan gila, Yas! Buang pisau itu!" Mahesa panik. "Tidak akan sebelum kamu membatalkan gugatan itu!" "Jangan keras kepala. Aku tidak mungkin membatalkannya!" "Kalau begitu lihatlah ini!" Mahesa tercengang melihat Yasmin menggoreskan pisau di pergelangan tangan wanita itu. Ia refleks mendekat untuk merebut pisau tersebut. Mahesa makin panik ketika Yasmin terduduk lemas setelah pisau berhasil ia rebut. "Jangan begini, Yas." Mahesa memeluk Yasmin yang terisak. Melihat istrinya seperti ini, Mahesa tidak bisa menampik rasa iba. "Jangan ceraikan aku, Mas. Aku mohon." Yasmin meremas kemeja yang dikenakan Mahesa. Tangisnya pecah. Rasa sakit di pergelangan tangan tidak seberapa jika dibandingkan sakit di hatinya. "Jangan menyakiti dirimu sendiri hanya karena aku. Kamu bisa menemukan pria yang lebih baik dariku, aku yakin itu." "Tidak akan pernah ada pria lain selain Mas Hesa." Mahesa memejamkan mata. Merasa dilema dengan sikap keras kepala wanita dalam pelukannya. Andai ia memaksa tetap melanjutkan niatnya untuk bercerai, Mahesa yakin Yasmin akan mengulangi perbuatan yang sama. Namun, jika harus bertahan pun, Mahesa tidak sanggup. "Gayatri saat ini sudah sebatang kara, Yas. Tidak ada siapapun yang bisa melindunginya. Aku ingin menikahinya untuk memberinya perlindungan. Jadi aku mohon, biarkan kami bersatu. Aku janji akan memaafkan perbuatanmu di masa lalu," tutur Mahesa, berharap Yasmin sedikit melunak dan bisa memahami dirinya. "Kenapa hanya Gayatri yang Mas pikirkan? Tidak pernahkah sekali saja Mas memikirkan perasaanku juga?" Suara Yasmin melemah. Dipeluknya tubuh Mahesa makin erat, sebelum mengambil keputusan yang menurutnya sangat berat. "Yas ...." Mahesa mendesah lelah. "Tolong jangan ceraikan aku. Silahkan menikahi Gayatri, tapi tetaplah menjadi suamiku." Mahesa tercengang. Dilerainya pelukan mereka untuk melihat kesungguhan di wajah sang istri. "Apa kamu bilang?" tanyanya masih tak percaya dengan apa yang ia dengar. "Ya. Aku mengizinkan Mas menikah dengan Gayatri, tapi jangan ceraikan aku. Anggap saja apa yang lakukan sekarang sebagai penebus kesalahanku di masa lalu," jawabnya tanpa keraguan. "Tapi aku tidak bisa. Aku bukan pria sehebat mereka yang bisa adil pada kedua istrinya. Kamu tahu aku mencintai Gayatri, sedangkan padamu--" "Tidak apa." Yasmin memotong ucapan suaminya. "Tidak apa Mas Hesa tidak mencintaiku. Aku hanya ingin tetap menjadi istri Mas Hesa, itu saja." "Gayatri tidak akan mau menjadi istri kedua." "Aku yang akan membujuknya. Kalau perlu, aku akan bersimpuh di kakinya agar mau mengabulkan permintaanku." Mahesa menatap gamang. Keinginan Yasmin sangat sulit untuk ia kabulkan. Bagi Mahesa, memiliki dua istri tidak pernah terbersit sekalipun dalam benaknya. Hanya Gayatri. Cukup Gayatri yang ia inginkan menjadi pendamping hidupnya. Akan tetapi, melihat Yasmin yang mengiba, ia pun tak tega. Ia takut Yasmin akan terpuruk dan kembali nekat menyakiti diri sendiri. "Kita bicarakan lagi nanti. Tunggu di sini, aku akan mengobati lukamu." Yasmin menatap sendu pria yang sedang mengambil kotak P3K. Tersenyum tipis saat pria itu dengan telaten membersihkan dan mengobati lukanya. Dalam jarak sangat dekat, Yasmin bisa melihat wajah suaminya yang terpahat sempurna. Sungguh, Yasmin sangat mencintai pria di depannya. "Sekarang Gayatri tinggal sendirian?" Yasmin kembali membuka pembicaraan setelah mereka terjebak dalam kecanggungan untuk beberapa saat. "Ya. Dia tinggal di apartemenku." "Kok bisa?" Mahesa menghela napas panjang. "Rumahnya yang dulu disita oleh rentenir. Gayatri tidak punya tempat tinggal lain, jadi aku menawarkan tinggal di apartemen untuk sementara," terangnya. "Kalian--" "Jangan berpikir aneh-aneh, Yas. Aku dan Gayatri tidak tinggal di atap yang sama. Aku masih waras untuk tidak berbuat di luar norma," sela Mahesa yang sudah bisa menebak ke mana arah pertanyaan istrinya. "Maaf." Yasmin meringis. Ia lupa kalau Mahesa bukan seperti pria kebanyakan yang akan mengambil kesempatan. Mahesa sangat mencintai Gayatri. Sudah tentu pria itu tidak akan berani merusak mantan sahabatnya tersebut. Ah ... lagi-lagi Yasmin merasa iri. Kapan dirinya bisa dicintai seperti itu oleh Mahesa? "Aku mencintaimu, Mas," lirihnya berharap mendapatkan jawaban yang sama. Namun, Yasmin kembali menelan kekecewaan saat Mahesa memilih mengabaikan ucapannya. 🍁🍁🍁🍁🍁🍁
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD