"Apa maksud kamu, Gayatri? Apanya yang harus dibagi?" Yasmin tidak bisa menyembunyikan kepanikan. Ia yakin Gayatri telah mengetahui perbuatan buruknya di masa lalu dari Mahesa.
"Apa kamu sedang berpura-pura lupa, Yas? Kita ini sahabat baik. Bukankah kita sudah terbiasa saling berbagi? Kamu telah mengambil apa yang sudah seharusnya menjadi milikku, dan itu berarti kamu harus membaginya denganku!"
Yasmin menggeleng panik. Jelas ia paham maksud perkataan mantan sahabatnya tersebut.
"Kali ini aku tidak ingin lagi berbagi denganmu! Apa yang sudah menjadi milikku, hanya akan menjadi milikku!"
"Meski kamu mendapatkannya dengan cara yang curang?"
Yasmin terperangah. Ia kehabisan kata-kata untuk melawan ucapan Gayatri. Saat mantan sahabatnya tersebut bergerak mendekat, Yasmin hanya bisa mematung.
"Kamu licik, Yas," desis Gayatri dengan tersenyum sinis. "Kamu tega memfitnahku dengan keji hanya karena ingin mendapatkan Mas Hesa. Aku tidak pernah menyangka kamu tega melakukan itu padaku. Apa kurangnya aku sebagai sahabatmu?" Nada suara Gayatri bergetar menahan tangis. "Aku sangat menyayangimu, Yasmin. Kamu sudah seperti saudara bagiku." Namun, air mata yang ia tahan akhirnya tumpah.
"Andai saja kamu jujur tentang perasaanmu, aku sudah pasti bersedia mengalah untukmu."
"Aku tidak percaya," sanggah Yasmin. "Aku tahu seberapa besar kamu mencintai Mas Hesa. Mustahil kamu rela melepasnya untukku."
"Itu karena kamu yang selalu meragukan ketulusanku!" Gayatri memekik. Rasa sakit di hatinya bertambah berkali lipat saat kasih sayangnya masih diragukan oleh Yasmin.
"Tapi sekarang semuanya sudah tidak penting. Aku datang ke sini hanya ingin memberimu hadiah atas apa yang telah kamu lakukan padaku."
Belum sempat Yasmin membuka mulut, tamparan keras tiba-tiba saja mendarat di pipinya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan mantan sahabat yang telah ia fitnah dengan keji.
"Itu belum seberapa dengan rasa sakit yang aku rasakan selama ini. Kamu ... akan mendapat balasan yang lebih dari ini!"
Gayatri mengusap kasar air mata yang mengalir di kedua pipi. Gadis berjilbab mocca itu berbalik dan bergegas pergi dari hadapan Yasmin yang masih mematung karena terkejut atas tindakannya barusan.
Sedangkan Mahesa yang menyaksikan semuanya, perlahan bergerak mendekat ke arah istrinya. Ditatapnya sang istri dengan penuh kebencian.
"Apa yang kamu dapat dari kelakuan licikmu itu?" desisnya menatap tajam. "Cinta?" Mahesa menggeleng dan tersenyum sinis. "Tidak. Sampai saat ini, cintaku masih utuh milik Gayatri. Kamu memang sempat berhasil menghasutku hingga aku membencinya. Tapi, kamu tidak bisa menghilangkan rasa ini untuknya."
"Mas ...."
Mahesa bergerak mundur ketika Yasmin berusaha menyentuhnya.
"Dengar baik-baik, Yasmin. Aku tidak bisa melanjutkan pernikahan ini lagi."
"Tidak, Mas. Jangan katakan itu." Yasmin masih berusaha menyentuh suaminya, tetapi sayang selalu berakhir gagal sebab Mahesa menghindar.
"Aku tidak sudi hidup bersama wanita licik sepertimu. Mari kita akhiri semuanya, maka aku berjanji tidak akan melaporkan perbuatanmu pada pihak yang berwajib."
Mahesa berbalik dan bergegas keluar dari rumah yang selama satu tahun ini ia tempati bersama Yasmin. Ia mengabaikan teriakkan histeris sang istri yang memanggil namanya.
"Jangan pergi, Mas Hesa! Aku mohon! Aku tidak ingin berpisah!"
Utami yang ikut menyaksikan kejadian itu, bergegas menghampiri sang putri. Sebagai seorang ibu, tentu ia merasa sedih melihat putrinya diabaikan Mahesa.
"Tenang, Sayang. Mama mohon jangan seperti ini." Utami memeluk sang putri yang terduduk lemas di lantai. Tangisnya ikut pecah kala Yasmin kembali berteriak menyebut nama Mahesa, hingga akhirnya sang putri tidak sadarkan diri.
*****
"Apa sikapku tadi sangat keterlaluan?"
Mahesa menggeleng. Digenggamnya jemari Gayatri dan meremasnya lembut. "Wajar kamu bersikap seperti itu. Justru perbuatan Yasmin yang sudah sangat keterlaluan. Karena dia, kita harus berpisah.
Helaan napas berat keluar dari mulut Gayatri. Dadanya terasa sesak kala mengingat masa-masa kebersamaan dengan Yasmin. Tidak ada yang menduga mereka akan saling membenci bak seorang musuh hanya karena seorang pria.
Akan tetapi, tidak. Bukan dia yang memulai. Justru Yasmin yang tega menusuknya dari belakang.
"Gayatri ...."
Wanita yang duduk di bangku taman itu menoleh ke arah pria yang sedang bersimpuh di depannya.
"Mas tidak main-main dengan ucapan Mas kemarin. Mas masih sangat mencintaimu. Mari kita rajut kembali kisah kita yang pernah terputus dan memulainya lagi dari awal."
Gayatri bisa melihat kesungguhan di mata Mahesa saat mengatakannya. Namun bukan berarti ia akan mudah menerima tawaran pria itu, meski ia akui masih sangat mencintainya.
"Aku tidak ingin menjadi orang ketiga di pernikahan Mas Hesa dan Yasmin. Semuanya sudah terlanjur terjadi dan anggap saja memang kita tidak berjodoh. Aku sudah ikhlas, Mas. Silakan lanjutkan pernikahan kalian."
"Tidak, Tri." Mahesa menggeleng keras. "Mas akan menceraikan Yasmin karena Mas tidak pernah mencintainya. Hanya kamu satu-satunya wanita yang Mas cintai," ujarnya meyakinkan.
"Tapi sudah terlambat, Mas."
"Tidak ada kata terlambat. Mas akan memperjuangkan kembali cinta kita." Mahesa bersikeras, Gayatri dibuat bimbang karenanya.
Di satu sisi, ia tidak ingin menjadi orang ketiga di pernikahan mantan sahabatnya, tetapi di sisi lain, ia pun ingin bersama Mahesa mewujudkan impian mereka yang sempat tertunda.
Pada akhirnya, Gayatri belum bisa memberikan jawaban. Ia memilih kembali ke rumah dengan Mahesa yang bersikeras ingin mengantarnya. Gayatri tidak kuasa menolak. Mahesa masih sama seperti dulu, bisa dengan mudah meluluhkan hatinya.
******
"Saya tidak bisa memberi keringanan waktu lagi, Pak. Hutang Bapak sudah jatuh tempo sejak sebulan yang lalu. Bapak harus bisa melunasinya besok, atau kalau tidak, Bapak harus mengizinkan saya untuk menikah dengan Gayatri."
Sapta tersentak. Peringatan dari Galih, pria yang meminjamkannya uang, sangat sulit untuk ia kabulkan. Bukan hanya karena Gayatri yang tidak mungkin bersedia menikah dengan Galih, tetapi karena Sapta sudah sangat tahu bagaimana sikap Galih yang sebenarnya.
Pria itu terkenal kejam dan ringan tangan. Tentu saja Sapta tidak akan mempertaruhkan nasib putrinya untuk pria seperti Galih.
"Bagaimana, Pak Sapta? Anda memilih opsi yang mana? Tapi kalau menurut saya, opsi kedua adalah jalan keluar yang terbaik. Selain hutang Bapak lunas, juga hidup Bapak dan Gayatri akan terjamin," ujar Galih berusaha mempengaruhi pria paruh baya di depannya.
Sudah sangat lama ia menyukai Gayatri. Namun, gadis itu sangat mudah ditaklukkan, bahkan dengan terang-terangan menolak. Galih makin penasaran dibuatnya. Ia ingin menjadikan Gayatri sebagai miliknya.
"Maaf, Den Galih. Saya belum bisa memberikan jawaban, sebab harus berunding dulu dengan Gayatri. Saya minta waktunya sampai besok sore."
Galih berpikir sejenak, kemudian mengangguk yakin. "Baiklah. Saya akan beri waktu sampai besok sore. Saya harap, Bapak dan Gayatri tidak mencoba mengulur waktu untuk kabur. Kalau sampai kalian melakukan itu, saya pastikan, kalian tidak akan pernah bisa hidup dengan tenang karena saya pasti akan menemukan kalian."
"Jangan mengancam Ayah saya, Mas Galih! Sampai kapanpun saya tidak akan pernah sudi menikah dengan Anda!"
Galih menoleh ke asal suara. Gayatri berdiri tepat di depan pintu rumah.
Galih menyeringai. Pria itu menghampiri Gayatri yang bersikap waspada.
"Oh ya? Kalau begitu, lunasi hutang ayahmu sekarang juga atau saya akan menyita rumah ini beserta isinya!"
🍁🍁🍁🍁🍁🍁