Tamu VIP

1866 Words
Laura benar-benar terkejut saat mengetahui tamu VVIP yang menyewanya malam ini adalah pria yang beberapa hari lalu memberikannya tumpangan. Ingatan Laura yang sangat tajam tentu saja masih mengingat siapa nama pria tampan yang sedang duduk di sofa panjang berwarna abu-abu di hadapannya saat ini. Siapa lagi jika bukan Nicholas Leister? Pria yang ingin dia habisi. Sungguh, Laura membanggakan dirinya dalam hati, sebab semua yang dia rancang secara rapi berjalan sesuai dengan keinginannya. "Tuan Nicholas Leister? Benar?" John mendorong punggungnya ke belakang sembari menatap lurus ke arah Laura yang sudah berdiri tepat di hadapannya. Mengenakan pakaian yang seksi sama seperti malam itu, saat dia menyewa Laura untuk yang pertama kalinya. "Aku tidak menyangka kau memiliki daya ingat yang begitu tinggi, Nona Laura." "Panggil nama saja, tidak perlu pakai embel-embel nona segala." sahut Laura menunjukkan rasa ketidaksukaan dengan panggilan tersebut. "Apa itu menganggumu?" Laura hanya membalas tatapan dari John dan enggan untuk menatapnya lebih lama. Dia memilih untuk menuju ke tiang yang ada di ruangan tersebut untuk mempersembahkan tarian erotis pada pria yang sudah menyewanya tersebut. "Tunggu!" cegah John pada saat Laura baru saja menyentuh tiang mengkilap itu. "Aku menyewamu malam ini bukan untuk melakukan tarian." Kening Laura berkerut dalam saat John berkata demikian. Orang-orang menyewanya untuk melihat tarian erotisnya. Lalu selain itu, untuk apa dia disewa? "Apa maksudmu? Bukankah kau menyewaku lagi karena ingin menikmati tarianku kan? Orang-orang seperti kalian memang suka sekali memanjakan mata dengan tarian erotis." John mengabaikan ucapan Laura dan justru menunjuk ke arah sofa lain yang berada di seberangnya. "Duduklah, aku hanya butuh teman mengobrol." Kini, giliran sebelah alis Laura naik saat mendengar ucapan pria itu. Laura masih berpikir jika dia salah mendengar saat ini. Karena itulah, dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dan berjalan mendekat ke arah John. "Apa yang kau bilang tadi? Teman mengobrol? Apa aku salah dengar?" "Tidak, aku memang menyewamu untuk menemaniku minum dan mengobrol." Laura tertawa malas dan menyahut, "Tuan, jangan bercanda. Aku tidak suka dengan orang yang bercanda dan berujung berbohong padaku. Mana mungkin kau membayar mahal hanya untuk ditemani minum dan mengobrol?" "Duduklah, Nona Laura." ujar John. Suara John yang terdengar cukup menekan setiap katanya, mampu membuat Laura langsung mengatupkan bibir dan diam. Bahkan Laura langsung menurut dengan duduk di sofa yang sebelumnya John tunjuk tanpa melayangkan protes sama sekali. Laura memperhatikan gerak tangan John yang sedang menuangkan red wine pada dua gelas kosong. Lalu satu gelas didorong pelan ke arahnya. Tentu saja Laura tau jika gelas tersebut untuknya. "Bersulang?" seru John sembari mengangkat gelas ke arahnya. Seperkian detik Laura mengamati John, lalu dengan cepat meraih gelas miliknya untuk bersulang dengan pria itu. "Bersulang!" sahut Laura dan dia yang lebih dulu meneguk minumannya. John tersenyum miring dibalik gelas kaca yang ada di depan bibirnya. Setelah Laura menjauhkan gelas dari bibir, John baru meneguk minumannya hingga tandas. Pria itu memiliki toleransi alkohol yang sangat tinggi. Jadi, mau minum sebanyak apa pun, sama sekali tidak mempengaruhi John. Jika sedikit pusing itu wajar, tapi John sama sekali tidak pernah sampai mabuk yang menyusahkan. "Kenapa menatapku seperti itu? Ada yang aneh?" John meletakkan gelasnya yang kosong di atas meja, lalu kembali mendorong punggungnya ke belakang. Melemparkan tatapan pada Laura dengan tenang dan cukup mematikan. Entah mengapa, Laura sendiri juga merasa aneh dengan tatapan yang John layangkan padanya sampai seterang begini. "Berapa kali dalam seminggu kau menerima job menari di sini?" tanya John mengalihkan topik pembicaraan. Karena memang dia merasa tidak perlu untuk menjawab pertanyaan dari gadis itu. "Apa kau seorang reporter? Kenapa repot-repot harus menanyaiku begini?" "Aku sudah membayarmu tiga kali lipat dari harga yang seharusnya. Karena aku hanya ingin ditemani mengobrol, maka kau diharuskan untuk menjawab semua yang aku tanyakan." "Gila, untuk apa kau sampai membayarku sebanyak itu? Tidak masuk akal jika kau sampai membayarku sebanyak tiga kali lipat hanya untuk ditemani mengobrol seperti ini. Dan lagi pula, aku punya hak untuk menjawab atau pun tidak dari setiap pertanyaan yang membuatku merasa tak nyaman." Ketegasan yang Laura tunjukkan membuat John menegakkan punggung dan kemudian mengangguk mengiyakan. "Secepat itu kau menyepakati apa yang aku katakan?" tanya gadis itu dan John lagi-lagi mengangguk. "Baiklah, aku mengerti. Kau benar-benar hanya ingin mengajakku mengobrol saja? Kau yakin?" "Ya, kenapa kau terus menanyakan pertanyaan yang terus berulang?" "Aku hanya ingin memastikannya saja. Karena seperti yang sudah-sudah, banyak pria yang menyewaku melebihi dari harga biasanya pasti ada maunya." John menaikkan sebelah alisnya, "apa yang mereka inginkan?" Laura tersenyum dan mendekatkan wajahnya. "Tarianku, dan juga tubuhku." "Dan kau melakukan apa yang mereka inginkan?" tanya John dan Laura menggelengkan kepala. "Kenapa kau menolaknya?" "Sebelum aku menjawabnya, kau harus menjawab pertanyaan dariku terlebih dahulu. Bagaimana, Tuan? Kau setuju?" Laura terpaksa mengajukan persyaratan sebelum dia menjawab semua pertanyaan pria itu. Karena lagi-lagi Laura masih keheranan dengan apa yang sedang terjadi. Tidak seperti biasanya dia mendapatkan seorang pelanggan. Nicholas Leister menyewanya hanya untuk menjadi teman mengobrol dengan membayar tiga kali lipat dari tarif yang sebenarnya. Tentu menjadi tanda tanya besar di kepala Laura. "Kau ingin bertanya mengenai apa?" "Yang barusan kita bicarakan." John menaikkan sebelah alisnya, sementara Laura mendorong punggungnya ke belakang sambil melipat kedua tangan di depan d**a. "Seperti yang aku katakan sebelumnya, orang-orang menyewaku karena ada maunya. Pertama, mereka menyewaku karena ingin melihat tarianku. Dan itu untuk memenuhi imajinasi liarnya. Lalu yang kedua, tubuhku. Mereka bahkan menawarkan sesuatu lagi agar bisa tidur denganku. Yang ingin aku tanyakan sekarang padamu adalah, apa cara pandang semua pria itu sama? Kau kan seorang pria, kau juga menyewaku dengan harga yang tidak seharusnya. Apa perempuan yang bekerja sepertiku memang sudah pasti dianggap hina? Apa pria berpikir jika semua perempuan sepertiku ini sama dengan seorang jalang? Aku memang menjual tubuhku untuk dipertontonkan dengan cara menari. Tapi aku bukan penjual tubuh yang bekerja dengan cara menunggangi seorang pria." John cukup terkejut dengan pertanyaan yang Laura ajukan. Apalagi ucapan Laura yang begitu panjang lebar benar-benar suatu bentuk sebagai pembelaannya, bahwa perempuan yang bekerja di dunia gelap tidak semuanya bisa disamakan. Sama-sama menjual tubuh untuk menghasilkan uang, tapi Laura menunjukkan bahwa dia menjual tubuh bukan dengan cara menunggangi seorang pria, tapi menjadi penari yang ditonton keseksiannya oleh para pria yang menyewanya. "Sama halnya denganmu, tidak semua pria itu sama. Caranya memandang seorang perempuan juga jelas berbeda. Tapi sungguh, orang-orang itu mungkin memang tergoda denganmu. Karena terobsesi ingin menikmati tubuhmu, mereka jadi berpikir jika kau juga sama seperti seorang, maaf, jalang. Tapi selagi kau berani menolak, aku yakin mereka tidak akan pernah berani menyentuhmu." John meraih botol dan menuangkan wine ke dalam gelasnya yang kosong, lalu berkata, "dengar, tidak semua pria berpikiran buruk seperti itu. Contohnya, aku." "Aku tidak yakin jika kau berbeda dari mereka. Atau ini hanyalah trikmu saja untuk menarik perhatianku?" "Untuk apa aku harus repot-repot menarik perhatianmu? Aku hanya butuh teman untuk mengobrol, itu saja. Dan sekarang aku tidak menyesal sama sekali dengan keputusan yang sudah ku ambil." Laura terdiam sejenak, lalu mengangkat kembali gelasnya dan meneguk minumannya hingga tandas. "Baru di menit-menit awal saja, pembahasan kita cukup menarik. Aku penasaran, topik apa yang akan kita bicarakan lagi setelah ini." "Kau tidak ingin mendengar jawaban atas pertanyaanmu yang di awal tadi?" tanya Laura untuk memastikan, apakah John masih mengharapkan jawaban darinya atau tidak. "Oh, alasan kau menolaknya?" tanya balik pria itu dan Laura mengangguk. "Tidak perlu. Aku rasa aku tau apa jawabannya." "Sok tau sekali," balas Laura disambung dengan decihan pelan setelahnya. John berdehem, dan seketika Laura menyatukan tatapannya pada pria itu. Entah apa yang ada di pikiran Laura saat ini, sebab John nampak terlihat santai dengan tatapannya yang sekarang. "Mau minum lagi? Aku akan menuangkannya untukmu." tawar Laura. "Silahkan saja," Laura meraih botol wine baru dan membukanya dengan sangat lihai. Dia menuangkan wine ke dalam gelas John dan menyerahkan minuman tersebut padanya. John menerimanya dan meminumnya, namun tak langsung sampai habis. "Aku tidak mengerti, mengapa kau kembali untuk yang kedua kalinya padaku." ucap Laura mengambil alih gelas yang ada di tangan John. "Maksudku, kau kembali menyewaku yang mana kali ini hanya untuk menemanimu mengobrol saja." "Apa aku harus memberikan alasan untuk hal ini?" "Tentu saja. Sangat aneh orang sekaya dirimu hanya mengajakku mengobrol. Bahkan saat pertama kali kau menyewaku, kita melakukan dry humping. Jujur saja, kau menikmatinya kan?" John tersenyum kecil. Dia benar-benar tidak menyangka jika Laura begitu berani menanyakan hal yang seperti itu. Laura sangat berbeda jauh dari Sofia dulu yang pasti akan sangat malu jika membahas hal yang berbau keintiman. "Kau nampak sedikit serampangan saat melakukannya. Tapi tidak apa, aku cukup menikmatinya. Hanya saja, aku lupa bagaimana rasanya." Ucapan John bagaikan magnet yang mampu menarik. Bahkan Laura langsung tertantang saat pria itu hanya mengatakan lupa bagaimana rasanya. Detik itu juga, Laura bangkit dari duduknya. Berjalan memutari meja yang berada di tengah mereka berdua. Hingga ketika gadis itu sudah berdiri di samping John, Laura dengan cepat duduk di pangkuannya. Dia sengaja duduk berhadapan dengan John. Maka dari itu, kedua kakinya menekuk di samping kanan dan kiri tubuh John. "Aku baru saja mendudukinya, dan milikmu langsung terasa mendesak milikku di bawah sini." ucap Laura dengan suara seduktif. Sengaja sekali menggoda. "Apa kau juga melakukan hal yang sama seperti ini pada orang-orang yang menyewamu juga?" "Menurutmu, bagaimana?" tanya balik Laura sembari membelai dadaa John. Lalu dengan berani mulai membuka kancing kemeja pria itu. "Sepertinya tidak." Laura menghentikan aktivitas jemarinya dan tersenyum tipis. "Ya, kau benar." Lalu kembali membuka kancing kemeja pria itu hingga ke bawah. "Lalu kenapa kau melakukan ini?" "Karena ingin. Apa itu jawaban yang cukup memuaskan bagimu, Tuan Leister?" Sudut bibir John terangkat sebelah, dan kemudian berkata, "sebenarnya, aku paling tidak suka jika ditinggalkan. Apalagi dalam masalah yang seperti ini. Yang kemarin, aku membiarkanmu pergi setelah menyiksaku. Tapi untuk yang kali ini, jika kau mempermainkan aku lagi, maka kau harus bersiap untuk bertanggungjawab atas perbuatanmu." "Oh, yang kemarin itu kau benar-benar tersiksa? Lalu apa yang terjadi selanjutnya? Kau menuntaskannya sendiri? Dengan bermain solo?" Tidak ada jawaban atas pertanyaan yang Laura ajukan. Hingga mata gadis itu menyipit curiga. Kemudian menunjuk John dan berkata, "kau pasti menyewa jalang untuk menuntaskan hasratmu, benar kan?" "Jika malam itu kau tidak pergi begitu saja, mungkin aku tidak akan menyewa jalangg hanya untuk menuntaskan hasratku yang sudah kau pancing." Laura tersenyum, lalu kedua matanya melihat ke arah bawah. Menyibak ke samping kemeja yang John kenakan hingga terlihat d**a dan otot perut pria itu yang sangat seksi. Laura menyentuh ABS John yang terasa begitu keras. Lalu tangannya turun menyentuh ikat pinggang yang John kenakan. Ketika hendak membuka ikat pinggangnya, John dengan cepat menahan tangan Laura. Membuat gadis itu langsung menaikkan pandangannya. "Aku tidak menyangka kau se-agresif ini." "Anggap saja ini sebagai permintaan maaf atas kemarin. Kau juga hari ini menyewaku dengan sangat mahal. Jadi, aku ingin memberikan sedikit servis untukmu." "Kalau begitu, gunakan mulutmu." sahut John. Sosoknya yang memang seorang pemimpin langsung muncul ke permukaan. John memegangi tangan Laura ketika gadis itu beranjak turun dari pangkuannya. John bahkan dengan cepat membuka lebar kedua kakinya, dan Laura berlutut di tengah-tengahnya. John merasakan sengatan aneh dari tangan Laura yang saat ini sedang membelai kedua pahanya. Tapi John terlalu pintar menyembunyikan ekspresi wajahnya yang sesungguhnya. Ketika jemari lentik gadis itu sedang berusaha untuk membuka ikat pinggang John, tiba-tiba saja pintu ruangan tersebut terbuka lebar. Yang mana membuat Laura terkejut dan hampir saja terjungkal ke belakang, jika saja John tak segera menahan lengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD