Bukan Sofia

1446 Words
Laura terbangun di atas kasur king size yang terlihat asing baginya. Matanya mengerjap beberapa kali untuk melihat ke sekeliling. Kamar tersebut, benar-benar asing bagi Laura. Tapi dilihat dari barang-barang yang ada di sana, nampak sangat berharga. Seingat Laura, semalam dia dan John kembali dalam keadaan basah kuyup. Tentu Laura cukup terkejut saat pakaiannya sudah diganti. Dia bahkan tidak ingat jika sudah menggantinya. Karena itulah, Laura berpikir jika mungkin semalam dia ketiduran. Namun, masih menjadi tanda tanya besar bagi Laura, siapa yang mengganti pakaiannya? Wanita itu langsung turun dari ranjang. Tungkainya mulai berjalan pada lantai yang terasa begitu dingin. Keluar dari kamar yang begitu mewah dan luas tersebut, pupil matanya melebar sempurna dengan mulut yang sedikit terbuka membentuk angka nol. Menyaksikan rumah yang nyatanya itu adalah mansion megah milik John. Tentu Laura tidak terkejut akan fakta jika saat ini dia sedang berada di kediaman seorang Nicholas Leister. Dari tampangnya, mobil yang dikendarainya, sekaligus pakaian dari brand-brand terkenal selalu melekat pada tubuh pria itu. Laura terus berjalan menyusuri lorong panjang yang tidak dia ketahui di mana ujungnya. Kakinya terus melangkah semakin jauh, lalu setiap langkahnya semakin lebar. Hingga dia sampai ke sebuah ruangan yang begitu luas. Jika dilihat dari barang-barang yang ada di sana, itu sepertinya ruang tengah. Laura mendekat ke arah lukisan yang tergantung di dinding samping dengan patung singa yang berukuran besar. Laura berniat untuk menyentuh lukisan tersebut, namun suara seseorang membuatnya harus menoleh ke belakang secepat mungkin. "SOFIAA—" Laura terkejut bukan main. Jantungnya berdebar tidak karuan. Matanya melotot karena dia mendengar nama seseorang dipanggil. Begitu jelas yang mana membuat Laura harus menoleh secepat mungkin. Namun, Laura tidak menemukan siapa pun. Padahal dia yakin sekali dengan apa yang baru saja dia dengar. Telinganya sama sekali tidak bermasalah. Dia dengan jelas seseorang meneriakkan nama itu. Nama seseorang. Air muka Laura tentu saja berubah. Entah mengapa tubuhnya merinding secara mendadak. Menelan saliva susah payah dan menahan tangannya agar tak terlalu bergetar. Hingga dia mendengar langkah kaki yang terdengar begitu samar sedang menuruni tangga. Wanita itu terburu menaikkan pandangannya ke atas. Dan tatapannya kini bertemu dengan manik mata gelap yang John tunjukkan. Laura mendadak kembali menelan ludahnya susah payah, saat merasakan atmosfer yang jauh berbeda dari semalam. Jika begini, Laura benar-benar tidak akan memilih untuk ketiduran. Semuanya kacau hanya karena ketiduran semalam dan itu pun bersama pria yang tidak begitu dia kenal. Meski awalnya Laura takut, tapi kini dia benar-benar berani berhadapan langsung dengan John. Dagunya mendongak angkuh, mengimbangi tatapan John yang tajam. Laura yakin, jika John memiliki kepribadian ganda. Aneh, tapi justru membuat Laura terus bertanya-tanya. "Kau sudah bangun?" Laura mendengus begitu mendapatkan pertanyaan konyol dari seorang Nicholas Leister. Tampangnya saja yang sok tegas, tapi pertanyaannya sama sekali tidak bermutu bagi Laura. "Haruskah aku menjawab pertanyaanmu, Tuan Leister yang terhormat? Aku pikir kau cukup pintar, tapi nyatanya tidak sama sekali." John menaikkan sebelah alisnya. Memang sudah terbiasa dengan balasan Laura yang seperti itu. Hanya saja John merasa jika Laura terlalu berapi-api saat mengatakannya. John sampai sedikit keheranan. Hanya sedikit. Laura berdecak saat John kembali pada mode diam dan tatapan yang begitu dalam seperti itu. "Aku sudah berdiri di hadapanmu. Kedua mataku terbuka lebar, dan kau masih saja bertanya aku sudah bangun? Oh ayolah Tuan Leister, pertanyaanmu sangat konyol." "Orang mati bahkan ada yang kedua matanya melotot." sahut John santai sambil berlalu dari hadapan Laura. Wanita itu sontak menganga begitu mendengar balasan dari John. Dia tentu tidak terima saat John secara tidak langsung menyinggungnya. "Hei! Kau pikir orang mati masih bisa berdiri?!" "Buktinya kau." jawab John yang lagi-lagi membuat Laura menganga tidak percaya. Dia berdecak tepat di belakang tubuh John, mengikuti ke mana pria itu melangkah saat ini. Laura ingin sekali menendang p****t John karena hanya butuh sedetik saja pria itu merubah ekspresi. Yang awalnya dingin, tajam dan menyeramkan, kini berubah kembali John yang tengil seperti biasanya. Karena dari awal Laura mengenal Nicholas Leister adalah pria yang banyak bicara, namun tidak bisa dibilang banyak bicara juga. Entah, Laura sulit juga untuk menjelaskannya. Wanita itu menggerutu, sesekali tangannya mengepal ke atas, bergerak memukul ke udara karena kesal pada John. Tingkahnya tersebut diam-diam diperhatikan oleh beberapa pelayan yang ada di sana. Bahkan rela menghentikan aktivitasnya hanya untuk melihat Laura. "Aduh!" pekik Laura saat dahinya terbentur punggung John yang mendadak berhenti tanpa aba-aba. Padahal juga salah Laura yang beberapa detik matanya melirik salah seorang pelayan. "Bisakah kau laporan dulu padaku sebelum berhenti, hah?!" Suara Laura yang meninggi membuat orang-orang yang mendengarnya sampai menutup mulut. Karena terkejut, sebab Laura berani dan bisa bicara begitu di depan John. Padahal semua orang begitu menghormati John. Tidak pernah sekali pun suaranya lebih keras dan nadanya lebih tinggi dari John. Laura yang masih mengomel mendadak diam saat John mengusap dahinya dengan lembut. Sejenak maniknya menatap mata John. Lalu Laura menepis tangan pria itu pelan karena risih dilihat oleh beberapa pelayan yang berjalan terburu-buru untuk pergi ke belakang karena mungkin takut menganggu tuannya. "Apa aku tidak salah lihat?" Laura mengerutkan keningnya saat John memiringkan kepalanya untuk melihatnya jauh lebih dekat. "Maksudmu?" John tak menyahut, pria itu memilih untuk menjauhkan diri. Menjaga jarak kembali dari Laura, karena tidak ingin terlalu terbawa suasana. Apalagi masih berada di lingkup mansion miliknya. Banyak pasang mata yang terus menyorotnya dengan Laura. Padahal, semalam John sudah memperingatkan semuanya untuk berakting biasa saja. Selayaknya orang asing yang baru saja ditemui. Karena memang, yang ada di hadapannya hanyalah Laura, hanya Laura. Bukan Sofia. "Ayo sarapan sebelum kau jatuh pingsan. Aku tidak mau menggendongmu lagi. Kau ini... sangat berat." Laura mendecih sambil tangannya di lipat ke depan, "lebih baik kau irit bicara saja. Sekalinya bicara panjang lebar, kau benar-benar membuatku emosi." "Ck! Kekanakan." Kedua mata Laura memicing begitu mendengar John mengatainya kekanakan. Gila, baru kali ini ada orang yang mengatainya begitu. Padahal biasanya, Laura lebih sering dipuji dan dikagumi. Pada akhirnya, Laura benar-benar sarapan sesuai dengan perintah John. Sarapan di meja yang sama, dan saling duduk bersebelahan. Laura bahkan terus mengoceh dan selalu ditanggapi oleh John tanpa lelah. Interaksi keduanya tentu saja semakin menarik perhatian. Bagaimana cara John menanggapinya, bagaimana cara John membalasnya dan bagaimana cara John saat memandangnya. Benar-benar menarik perhatian, salah satunya pada sosok pelayan muda yang sebenarnya di awal sempat memanggil Laura dengan sebutan Sofia. "Sudah cukup, Madeleine." seru seseorang. Sang pemilik nama langsung menoleh ke belakang. Sebelum menyahut, lengannya sudah kembali ditarik menuju ke dapur belakang. Madeleine sempat memberontak, tapi tubuhnya didorong agar berhenti. "Sudah aku peringatkan, jangan melewati batas, Leine. Dia bukan Nona Sofia, itu orang lain. Kau harus ingat apa yang sudah Tuan John katakan semalam." "Dan kau percaya bahwa dia orang lain? Tolong, buka matamu lebar-lebar. Dia jelas-jelas Nona Sofia, ya, Sofia temanku. Kau tidak lihat tadi saat aku memanggilnya? Dia menoleh dengan cepat. Bahkan tidak sampai sedetik saat aku memanggil namanya. Dia benar-benar Sofia!" "Jangan gila, Leine. Jangan tutup mata juga. Kita bahkan tau saat Nona Sofia disemayamkan. Dia bukan Nona Sofia. Jangan buang-buang waktu untuk berhalusinasi. Berhenti, sebelum Tuan John memberimu pelajaran." "Kau pernah dengar mengenai seseorang yang bangkit dari kematiannya? Aku rasa, itu terjadi pada Sofia. Jika bukan, mana mungkin mereka semirip itu? Aku benar-benar tidak percaya dengan ucapan Tuan John. Kau juga tau seperti apa Tuan John jika pada wanita lain kan? Buktinya, dia memperlakukan wanita itu seperti Sofia. Mustahil jika wanita itu bukan Sofia." "Leine, cukup—" "Tidak!" sela wanita itu. "Tuan John hanya bersikap manis pada Sofia. Jadi, sudah jelas kan? Bahwa wanita itu sudah dipastikan Sofia." "Kau benar-benar keras kepala sekali. Jika Tuan John mendengarnya, sudah pasti kau akan mendapatkan masalah." "Kenapa kau tidak percaya padaku, Belina? Apa aku harus membuktikannya dengan memanggilnya lagi? Aku yakin Sofia akan langsung menoleh dan sadar siapa aku." "Kau mau mati di tempat? Jangan konyol!" sahut Belina sambil mencengkeram lengan Madeleine. Belina tidak percaya jika wanita yang sedang makan bersama tuannya adalah Sofia. Seperti yang dikatakan oleh John semalam, bahwa wanita itu bukanlah Sofia, maka Belina percaya. Hanya saja dia kesulitan dengan sikap Madeleine dan juga tingkahnya. Sebab rekannya itu menganggap bahwa wanita yang sedang bersama sang tuan adalah Sofia yang hidup kembali. Belina masih ingat betul jika dia melihat jasad Sofia yang berlumuran dengan darah. Lalu jasad Sofia yang di makamkan. Mustahil jika Sofia kembali hidup. "Coba kau pikir baik-baik Bel, Tuan masih menyimpan semua barang-barang dan pakaian milik Sofia. Bahkan tidak ada seorang pun yang diperbolehkan menyentuhnya. Tuan menjaganya dengan begitu baik. Bukankah itu sebuah pertanda jika memang tuan melakukan itu demi Sofia? Karena tuan pasti tau jika Sofia akan kembali." "Sudah cukup! Kau semakin parah berhalusinasi." "Terserah apa katamu, aku harus keluar, setidaknya Sofia harus melihatku." ujarnya lalu menepis tangan Belina. Madeleine berusaha keluar dari dapur, namun mendadak langkahnya terhenti saat Griffin menghadangnya. "Diam di sini, atau kau akan menerima konsekuensinya."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD