Laura berjalan tidak jauh di belakang John. Masih menjadi tanda tanya besar bagi Laura, sebab John mengajaknya pergi ke sebuah danau yang lokasinya berada jauh dari pusat kota.
Karena perjalanannya sangat memakan waktu, membuat keduanya sampai di sana pada malam hari. Tidak banyak lampu-lampu yang ada di sekitaran danau tersebut. Hanya ada beberapa lampu yang temaram.
Laura berhenti, tepat di saat John juga menghentikan langkahnya. Menghadap ke arah danau yang luas. Tidak ada yang menarik sama sekali, sebab kelihatannya hanya gelap gulita. Lampu pun tidak begitu mendukung.
"Kau tidak tanya mengapa aku mengajakmu kemari?"
Sudut bibir Laura tertarik ke atas. Decihan kecil terdengar di rungu John, namun dia dan Laura sama-sama tidak saling menoleh. "Tidak ada untungnya juga aku bertanya. Tapi, ku rasa kau tidak sedang menculikku."
John terkekeh pelan, dan dia menoleh bertepatan dengan Laura yang juga menoleh untuk menatapnya.
Jarak keduanya tak terlalu jauh. Mungkin hanya berjarak tiga langkah, dari tempat mereka berdiri masing-masing.
"Jika aku berniat untuk menculikmu, sudah sejak tadi aku membawamu ke sebuah tempat yang jauh. Lalu mengurungmu di dalam kamarku."
"Oh, aku suka dikurung." sahut Laura asal, dan John menggeleng pelan.
Pria itu kembali melempar pandangan ke arah danau yang luas. Tatapan matanya mulai berubah sendu. Tidak seperti beberapa detik lalu yang masih memancarkan cahaya.
Ada kesedihan yang mendalam dari tatapan matanya yang sama sekali tidak Laura pahami. Helaan napas yang cukup berat hendak menggoyahkan kaki Laura. Wanita itu hampir saja mendekat untuk menyentuh pundak John. Namun dia menahan diri sekuat tenaga. Karena dia tau, John Nicholas Leister bisa saja sedang berupaya memanipulasi dirinya.
Laura mengalihkan wajah. Enggan terlalu larut menatap John yang berubah menjadi aneh. Bahkan mengajaknya ke tempat sepi seperti ini juga sudah aneh sejak awal. Banyak danau di wilayah perkotaan. Namun pria itu justru mengajaknya ke tempat yang sangat jauh.
"Danau, adalah tempat yang sering dikunjungi oleh seseorang yang begitu berharga dalam hidupku."
Laura menoleh. Dia yakin jika John sedang mengajaknya bicara. Tentu saja. Dengan siapa lagi pria itu bicara jika bukan dengannya? Hanya ada dia yang ada di sana. Di samping pria itu meskipun terhalang beberapa langkah.
Tatapan John masih lurus ke depan. Dan Laura terus memperhatikan dengan begitu lamat dalam keadaan diam tanpa suara.
"Pagi, sore, atau pun malam. Dia, selalu ke danau setiap kali merasa sedih dan bahagia. Dua hal yang pasti selalu dia rasakan. Tapi apa kau tau, perasaan mana yang menyebabkannya sering datang ke danau sendirian?"
"Bahagia?" tebak Laura sedikit tidak yakin.
John menoleh, tersenyum miris. Lalu kepalanya menunduk dengan sudut mata yang berair. John menyekanya secepat mungkin, dan Laura meremat ujung pakaiannya ketika melihat hal itu.
"Aku berharapnya begitu. Tapi sayangnya, tidak. Dia sering pergi ke danau untuk mengadukan perasaan sedihnya. Dan aku penyebabnya."
Laura menelan salivanya sedikit kepayahan. Dia mengalihkan wajahnya kembali dan rematannya semakin menguat. Hingga buku-buku putihnya terlihat.
Wanita itu memejamkan matanya sekilas, dan segera merubah ekspresi wajahnya. Dia kembali menoleh ke samping, menatap John dengan berani tanpa melebih-lebihkan tatapan.
"Bagaimana bisa kau penyebabnya? Kau sering menyakitinya?"
John menoleh, menatap kedua mata Laura dengan dalam. "Mungkin?" jawabnya ragu.
Mata Laura memicing begitu mendengar jawaban John yang terkesan tidak yakin. Dan hal itu membuat John menatapnya dengan alis yang tertaut curiga.
"Kenapa?"
"Kau yang kenapa. Bukankah kau sendiri yang mengatakan jika kau adalah penyebabnya? Kenapa sekarang jawabanmu justru 'mungkin' ? Kenapa?"
"Apa yang salah dengan jawabanku? Aku bahkan tidak tau sudah sejauh mana aku menyakitinya." sahut John. Dia memutar tubuhnya dan menghadap Laura dengan benar. Melipat kedua tangannya di depan d**a dengan tatapan sedikit mengintimidasi.
"Kenapa aku merasa kau tampak sedang menahan emosi, Laura? Kau benar-benar seperti ingin memukul wajahku."
Laura tertawa kecil untuk menghilangkan kecurigaan John atas sikapnya barusan. Laura juga dengan cepat merubah pandangannya pada John seperti sebelumnya, gadis biasa.
"Ya, aku ingin memukul wajahmu karena bercerita setengah-setengah. Padahal aku sudah rela mendengarkan ocehan mu."
John menaikkan sebelah alisnya. Melangkah maju untuk menghapus jarak di antara keduanya. Dan Laura sama sekali tidak mundur atau menjauhkan diri dari John saat ini.
"Kau benar-benar tidak mau lagi berbagi cerita padaku, Tuan Leister?" tanyanya, namun John tidak menjawab. Pria itu sibuk menyelami kedua mata Laura yang membuat jantungnya bergetar. Aneh, tapi saat ini, John membayangkan Sofia yang ada di hadapannya.
John tau dirinya b******n. Benar-benar pria b******k yang tidak tau malu, karena membayangkan wanita lain yang memiliki wujud sama dengan mendiang kekasihnya. Sofia, entah berapa kali nama itu berputar di dalam kepalanya. Sofia, wanita yang entah sudah berapa kali dia sakiti namun dia cintai begitu dalam. Sofia, Sofia, dan lagi-lagi Sofia memenuhi pikirannya.
"Aku penasaran, siapa yang sedang kau bicarakan tadi? Seseorang yang sering pergi ke danau? Seseorang yang kau bilang sering bersedih dan penyebabnya adalah dirimu. Siapa? Apa dia kekasihmu?"
Laura bertanya dengan wajahnya yang begitu polos. Wanita itu juga pandai merekayasa ekspresi sampai lawannya kesulitan untuk mencerna.
Senyumannya yang manis lembut membuat John mengalihkan wajahnya dengan cepat. Ingin memberi jarak lagi, namun Laura menahan lengannya.
"Ada apa?"
Kedua mata John memerah, menahan sesuatu. Dia menepis tangan Laura saat wanita itu hendak menyentuh wajahnya.
Tepisan yang refleks itu cukup membuat Laura tercengang. Tidak bertanya dan dia juga tidak butuh jawaban atas perlakuan John barusan. Sebab pria itu terlihat kacau secara mendadak.
Laura kembali mencoba untuk menyentuh pundak John, namun terhenti sebab merasakan beberapa tetesan air yang berjatuhan —gerimis.
Telapak tangan Laura menengadah untuk benar-benar memastikan jika memang hujan yang lebih deras akan segera muncul.
"Ayo, masuk ke mobil!" seru John berlari saat hujan benar-benar semakin deras.
John berbalik dengan kedua tangan yang menutupi kepalanya, meskipun percuma saja. Sebab hujan benar-benar lebih deras.
"Laura, ayo!" teriaknya.
Laura tak mendengarkan. Wanita itu justru mendongakkan kepalanya ke atas sembari merentangkan kedua tangannya. Merasakan ribuan air berjatuhan menimpanya.
Kedua matanya tertutup dengan senyuman yang merekah. Entah sudah berapa lama dia tak merasakan hal ini. Laura benar-benar merindukan hujan-hujanan sampai basah seperti ini sejak lama.
Sementara itu, John sudah mendekat dan berdiri di samping Laura. Memperhatikan wajah cantik itu yang saat ini sedang menikmati air hujan. Sudut bibirnya tertarik ke atas tanpa sadar. John, tersenyum begitu tulus. Benar-benar dari hati yang terdalam.
Dia segera merubah ekspresinya menjadi dingin saat Laura membuka kedua matanya menatapnya dengan obsidian yang begitu indah.
"Kau bukan anak kecil, Laura. Ayo, jangan bermain-main."
John hendak meraih lengan Laura, namun wanita itu justru menjauh. Merentangkan kedua tangannya kembali dengan menengadahkan kepalanya ke atas. Berputar dengan tawa yang renyah. Wanita itu benar-benar menikmati hujan yang turun.
Basah, seluruh tubuh Laura benar-benar sudah basah. Lekuk tubuhnya terlihat begitu jelas. Harusnya John tertarik, sebagaimana perangainya yang mudah sekali turn on. Apalagi disuguhkan dengan keadaan Laura yang sangat seksi. Tapi, pria itu justru lebih tertarik pada hal lain. Yaitu, senyuman dan tawa yang muncul di wajah Laura.
John merasa jika itu adalah senyuman dan tawa Laura yang sebenar-benarnya. Tidak ada rekayasa sama sekali. Laura cantik, sangat cantik. Sampai membuat John pusing dan sulit berkata-kata.
"Kau bisa sakit, Laura." Lagi, John mencoba untuk membujuk Laura berhenti untuk bermain-main hujan.
Laura berhenti berputar. Dia menatap John, lalu mendekat. John kira, wanita itu setuju untuk berhenti, namun ternyata dia salah. Laura justru menariknya ke tengah. Menggenggam kedua tangannya dan mengajaknya berputar seperti anak kecil yang senang hujan-hujanan.
"Laura, tidak. Aku bukan anak kecil."
"Memangnya hanya anak kecil saja yang bisa melakukan hal ini? Ayolah Nicholas, sesekali kita harus bersikap seperti anak kecil. Singkirkan semua beban yang ada di kepala dan pundakmu."
John sedikit termangu, sebab Laura mendadak bicara santai dengannya. Bahkan memanggilnya dengan panggilan Nicholas, bukan Tuan Leister seperti biasanya.
Tanpa menunggu jawaban, Laura dengan segera mengeratkan genggaman tangannya pada John. Lalu berputar dan tertawa. Menikmati air hujan yang terus mengguyur tanpa henti.
John perlahan ikut tersenyum melihat Laura yang tertawa lepas. Untuk pertama kalinya, dia rela melepas topengnya. Dia rela menjadi orang biasa yang hidupnya tanpa beban dan masalah. Saling melempar tawa dan terus menikmati hal gila ini.
Keduanya berhenti berputar, dengan tangan John yang melingkar di pinggang ramping Laura.
"Wow, untuk pertama kalinya, aku melihatmu tertawa dengan begitu lepas." ujar Laura dan John menatapnya dengan lamat. "Mau berdansa?"
John tak langsung menjawab ajakan wanita itu. Sebab keduanya benar-benar sudah basah. Namun, Laura justru mengambil posisi di hadapan John. Kemudian membenarkan tangan John untuk menyentuh pinggangnya. Tangan kirinya berada di pundak John, lalu tangan kanannya meraih tangan kiri John. Menautkan kelima jemari keduanya, dan merentangkan ke samping.
"Berdansa di bawah derasnya hujan, huh?" tanya pria itu. Dan Laura mengangguk.
Semua berjalan begitu mulus. Laura pikir, John menolak karena tidak bisa berdansa. Tapi nyatanya pria itu bisa.
Laura berputar beberapa kali mengikuti tangan lihai John. Lalu kedua tangan Laura melingkar pada leher John, dan tangan John sendiri berada pada pinggang Laura.
Mereka masih berdansa, namun kali ini jauh lebih intim. Setiap pergerakan kaki dan tubuhnya seolah sedang mengikuti irama. Irama yang dihasilkan dari air hujan yang berjatuhan.
Laura mendongak dan John sedikit menunduk untuk menyatukan tatapan keduanya. Mereka benar-benar hanyut dalam dansa penuh dengan keintiman. Ada detak jantung yang berdetak lebih cepat dari biasanya. Entah siapa yang lebih dulu jatuh hati. Tapi keduanya saling menatap penuh dalam.
Laura merasakan pinggangnya diremas oleh John. Lalu entah bagaimana, bibir keduanya sudah saling menaut. Mengulum, menyesapnya bagaikan nikotin. Berciuman dengan penuh kelembutan dan keintiman yang mendalam. Tidak ada rasa menggebu dan nafsu. Mereka menyatukan dahi saat ciuman itu terlepas.
"Laura—"
"Peluk aku." potong Laura dengan tatapan yang sulit diartikan.
Maka tidak membutuhkan waktu yang lama, John membawa tubuh wanita itu ke dalam dekapannya. Menyatu dengannya dalam keadaan basah. Memeluknya dengan erat, lalu mengecupi leher Laura berulang kali.
John tidak peduli. Persetan dengan bayang-bayang Sofia. Dia, hanya ingin menghabiskan waktu dengan Laura.
Sementara Laura, tidak ada yang tau apa yang sedang wanita itu pikirkan. Laura, benar-benar definisi orang yang sulit digali mengenai perasaannya. Yang jelas, hanya Laura sendiri yang tau apa isi hati dan pikirannya saat ini.