Laura meluangkan waktunya malam ini untuk bertemu dengan temannya, yaitu Asher. Si pria yang selalu berambisi untuk memberantas kejahatan. Mencari keadilan dan kesejahteraan masyarakat.
Laura akui jika Asher memang memiliki semangat yang begitu tinggi. Hanya saja selalu ceroboh dan bertindak sesuka hati tanpa dipikirkan terlebih dahulu. Tapi Laura tak menutup mata bahwa Asher sangatlah mencintai pekerjaannya. Tidak ada yang salah dengan itu.
Sebenarnya, Laura belum tau apa tujuan Asher ingin menemuinya. Sebab dia dan pria itu sudah beberapa hari ini tidak pernah saling bertukar kabar. Pertemuan terakhirnya pun saat di kantor polisi ketika Laura mendapatkan kabar bahwa Asher berhasil meringkus ketua mafia yang sudah di incar sejak lama.
Sekarang, dia duduk manis ditemani dengan beberapa botol whiskey di hadapannya. Menunggu Asher yang sedang memesan camilan. Padahal, Laura jarang sekali minum sambil makan camilan. Aneh rasanya.
"Laura, mau tambah sesuatu lagi?" tawar Asher. Namun Laura menggelengkan kepalanya menolak. Dagunya mengarah pada kursi di seberangnya, bermaksud agar Asher duduk saja dan berhenti mondar-mandir yang mana membuang waktu.
"Minum saja, sudah cukup."
"Kau benar-benar free malam ini? Tidak ada kerjaan lagi kan?"
Laura mengangguk. "Aku hampir saja dipecat dari minimarket. Kau tau? Itu pun hanya karena masalah sepele."
"Apa?"
"Kesiangan."
Asher terkekeh begitu mendengarnya. "Seorang Laura Rodriguez kesiangan? Sepertinya, ini pertama kali aku mendengarnya. Kau tidak pernah kesiangan seperti itu. Aku tau sekali kau selalu tepat waktu jika itu urusan pekerjaan. Jadi, apa alasannya sampai kau kesiangan seperti itu?"
"Minum?" jawabnya ragu-ragu. "Ya, sepertinya karena terlalu banyak minum." lanjutnya lebih memastikan diri sendiri jika itu adalah benar alasannya.
"Kau tidak pernah minum banyak dalam waktu yang cukup lama. Ada masalah yang menganggumu? Terakhir kali kau minum banyak dan kehilangan kesadaran karena mendapatkan kabar kema—"
"Jangan bahas lagi." sela Laura dengan ekspresi wajah yang datar. "Aku tidak suka kau mengingatkan aku dengan hal itu. Kau tau? Rasanya aku membenci hari itu. Jadi cukup."
Laura meneguk kembali minumannya. Bahkan dalam sekali teguk langsung habis tak tersisa. Laura begitu sensitif jika Asher sudah mulai menyinggung perihal di masa lalu. Hal itu membuat Laura mengulang kembali hari-hari di mana hatinya terluka.
Sampai kapan pun rasanya akan tetap sama. Sama-sama kehilangan dan rasa sakitnya terus terasa. Tapi jika di ingatkan kembali, Laura mendadak menjadi kacau. Dia benar-benar menahan diri sekuat mungkin. Mencengkeram lututnya sendiri di bawah meja.
"Kenapa kau tak kembali saja?"
Laura kembali menatap Asher yang duduk di hadapannya. Butuh beberapa detik untuk memahami maksud dari pertanyaan Asher padanya barusan.
Asher yang paham mengapa Laura menatapnya tanpa menjawab membuatnya mengulang pertanyaan, dengan memperjelasnya agar mudah dipahami.
"Maksudku, kenapa kau tidak kembali bekerja saja seperti dahulu? Bergabung lagi bersama kami."
Laura sontak mengalihkan wajah dan menghela napas. Kepalanya menunduk sebentar, lalu kembali mengangkat dagunya dan tersenyum di hadapan Asher.
"Tidak, aku tidak mungkin kembali. Kau tau, keputusanku sudah bulat sejak saat itu. Laura yang kau kenal saat ini hanyalah Laura Rodriguez, seorang pekerja paruh waktu di minimarket dan juga penari di klub." ujarnya dengan penuh kemantapan hati. Lalu Laura kembali melanjutkan, "Asher, aku sudah meninggalkan segalanya. Inilah Laura yang baru. Apa yang kau harapkan dari orang seperti aku?"
"Kau sangat berbakat, kau pandai melakukan segala hal. Tentu saja kau sangat kami harapkan untuk kembali. Bahkan kau meninggalkan misi penting begitu saja. Padahal kami tau dan yakin pada kemampuanmu, bahwa kau bisa melakukannya. Kau pasti bisa menyelesaikan misi itu."
"Kenapa kau sangat yakin aku bisa menyelesaikan misi itu? Bahkan buktinya kau bisa menyelesaikan misinya bukan? Misi yang seharusnya ditangani oleh Mr Sammy, tapi kau lanjutkan dan selesaikan dengan baik. Kita bicara soal yang sekarang, bukan yang lalu."
"Kau terlalu keras pada dirimu sendiri, Laura." ujar Asher dengan tatapan yang tak pernah lepas dari wanita itu.
Sedangkan Laura, wanita itu lagi-lagi tersenyum tipis. Tangannya mengibas pelan dan menyahut, "kau salah, tidak ada Laura yang seperti itu. Sekarang, aku jauh lebih menikmati hidup. Tidak ada yang aku pikirkan lagi sekarang. Hidupku hanya untuk bekerja dan bersenang-senang."
Jauh sebelum ini, Laura memang orang yang sangat keras. Pekerjaannya yang dahulu membuatnya sekeras itu. Laura bahkan hampir tidak memiliki waktu untuk pergi menikmati hidup.
Jangankan pergi, bahkan waktu untuk beristirahat saja kadang tidak ada. Memang itulah Laura. Tapi nyatanya, Laura yang sekarang juga tak kalah kerasnya. Meskipun sudah mampu menikmati hidup sesekali, tetap saja ada target lain yang sedang Laura tuju.
"Laura, kau benar-benar merasa kesepian? Maksudku, teman. Kau serius tidak butuh teman? Kau selalu melakukan apa pun sendirian. Laura, masih ada aku di sini. Kau bisa menceritakan apa pun padaku. Aku berjanji akan selalu menjadi pendengar yang baik untukmu. Jangan kau pendam semuanya sendirian. Aku tau, sesakit apa rasanya kehilangan."
"Kau bicara apa? Aku memang tidak butuh teman. Bersenang-senang sendirian lebih menyenangkan. Lebih baik menghabiskan uang sendiri dari pada menghabiskan denganmu kan? Maaf ya Asher, aku ini pelit sebenarnya. Jadi maaf ya."
"Laura, serius."
"Oh, oke. Maaf kalau begitu. Tapi aku juga serius, Asher. Aku benci kau terus-terusan bicara seperti itu. Seolah-olah aku masih terjebak oleh kejadian itu. Tenang saja, aku baik-baik saja dan kau tidak perlu khawatir padaku. Aku tau caranya menikmati hidup dan bersenang-senang. Jika kau terus-terusan begini, lebih baik jangan pernah temui aku lagi."
"Laura, maaf. Oke, aku bersalah di sini. Aku terlalu khawatir padamu. Lebih tepatnya, aku juga khawatir dengan kesehatanmu. Kau bekerja di dua tempat sekarang dan keduanya sama-sama berat. Bahkan gajinya juga tak seberapa. Kau juga sering pindah tempat tinggal karena harus menyesuaikan dengan uang yang kau dapatkan. Aku benar-benar khawatir, Laura. Lebih baik kembali saja dengan kami. Gaji jelas dan juga terjamin. Kau—"
"Asher, aku benar-benar pusing. Bisa stop sampai di sini? Aku sudah memberikan alasannya tadi, dan kau terus menerus mengulang pertanyaan yang sama. Lama-lama aku bisa muak jika mendengarmu bicara."
"Laura, maaf."
Laura mendengus dan mengalihkan pandangannya. Selalu saja berakhir begini jika bertemu dengan Asher. Sumpah demi apa pun, Laura ingin pulang saja sekarang.
+++
Laura mengira, kembali ke apartemen adalah pilihan yang tepat untuk menghindari Asher. Namun nyatanya, dia salah besar.
"Kau lagi?!" pekik Laura saat mendapati John menunggu tepat di depan pintu unitnya. Padahal setau Laura, John tidak memiliki kartu akses untuk masuk dan naik ke lantai 7, tempatnya berada.
"Astaga, aku sampai bosan melihatmu terus. Bahkan terakhir melihatmu siang tadi."
Laura benar-benar tidak habis pikir dengan Nicholas Leister yang kembali muncul di hadapannya. Bahkan dengan penuh percaya diri menunggu di depan pintu.
"Kau dari mana? Mabuk lagi?"
Laura mendecakkan lidah sambil menyandarkan punggungnya pada pintu. Menatap John dengan tatapan kesal karena Laura sedang tidak dapat mengontrol diri.
"Kau bisa diam tidak? Aku mau masuk ke dalam."
"Laura,"
Wanita itu mendongak. Bertemu tatap dengan mata gelap John yang menatapnya serius. Laura tau dia tidak bisa mengontrol dirinya. Tapi dia sadar saat ini. Bukan yang benar-benar mabuk sampai tidak ingat apa pun. Bahkan dia masih kesal juga pada John karena sejak kemarin dia terus bertemu dengan pria itu.
Tapi, saat ini Laura benar-benar tidak bisa mengontrol matanya yang kini melihat ke arah bibir John. Lalu kewarasannya hampir saja hilang saat John membasahi bibir bawahnya.
Laura mengerjapkan kedua matanya dan segera mendorong tubuh John yang hampir saja mengukungnya.
Tidak, Laura tidak boleh lengah. Dia, benar-benar tidak boleh terjebak oleh pesona John. Karena dia tau, pria itu bukan pria biasa. Laura tau power apa yang John miliki. Dia tau sekuat apa pria itu. Dan Laura masih ingat betul apa tujuannya.
Tidak boleh menggunakan perasaan untuk hal-hal yang sedang dia jalani. Laura tidak ingin kalah atau pun mengalah.
"Maaf, kepalaku mendadak pusing." ujar Laura sembari memutar tubuhnya. Membuka pintu unitnya dengan kartu akses miliknya.
Laura menghela napas sejenak, lalu menoleh ke arah John yang masih berdiri di tempatnya tanpa mengatakan apa pun.
"Kenapa kau kemari lagi, Tuan Leister?" tanyanya.
Pria itu mengedikkan bahunya seolah tidak tau. "Entah, tiba-tiba ingin kemari. Atau mungkin, aku mulai menyukaimu, Nona?"
Laura sontak mendecih pelan saat mendengarnya. Lalu dia menyahut, "jangan terburu-buru menyimpulkan sesuatu, Tuan Leister. Memangnya kau tidak takut?"
"Takut? Nicholas Leister tidak pernah takut apa pun, Nona Laura." jawab John dengan penuh percaya diri. Bahkan tatapannya terlihat begitu angkuh yang mana membuat Laura membatin dalam.
"Oh ya? Tapi kau begitu mudahnya mengatakan mungkin menyukaiku? Oh ayolah, Tuan Leister, kita baru saja kenal. Bagaimana bisa kau menyukai wanita seperti aku? Kau memangnya tidak takut jika ternyata aku ini bukan wanita baik-baik?"
"Mana ada wanita baik-baik yang bekerja sebagai penari? Memamerkan kemolekan tubuhnya pada banyak pria?"
Sial! Laura merasa tertohok dengan ucapan John barusan. Tapi memang ada benarnya yang dikatakan oleh pria itu. Hanya saja bukan itu yang Laura maksud.
"Aku hanya mengatakan soal fakta, Laura."
"Oke, tapi seandainya aku benar-benar bukan wanita baik, bagaimana? Bukan dalam konteks pekerjaan."
"Maksudnya?"
"Ya, misal mungkin aku ini orang yang dikirim oleh musuhmu dan bertugas untuk membunuhmu?" ujar Laura dengan tatapan mata yang mematikan.
Namun, beberapa detik kemudian, Laura tertawa dan itu membuat John menaikkan sebelah alisnya setelah sebelumnya hampir saja dia terpancing.
"Bercanda, Tuan. Ah, jika pusing begini aku suka sekali melantur. Jadi, bagaimana jika kau temani aku saja malam ini? Sepertinya aku lupa kalau sudah tidak punya guling lagi. Aku butuh guling,"
John Nicholas Leister tentu saja tidak akan menolak ajakan Laura. Dia mengangguk mengiyakan dan masuk ke dalam setelah lengannya ditarik oleh Laura. Bahkan setelah pintu tertutup, keduanya berciuman cukup brutal. Dan kisah rumit keduanya akan dimulai dari sini. Kebencian, dendam, dan cinta akan menjadi satu.