Laura baru saja keluar dari gedung apartemennya setelah mendapatkan panggilan telepon dari John. Sebenarnya dia malas untuk menemui siapa pun hari ini, tapi John sialan itu mengancam akan mendatanginya ke dalam jika tidak segera turun menemuinya.
Laura berjalan tergesa. Menengok ke kanan dan kiri, kemudian melihat ke sisi jalan dan mendapati mobil John yang sudah terparkir di pinggiran. Laura segera mendekat, mengetuk kaca jendela mobil tersebut dua kali, dan John dengan cepat menurunkannya.
"Masuk,"
Laura memutar bola matanya malas, mendengar ucapan pria itu yang terdengar memerintah. Laura sontak mendengus, tapi akhirnya memilih untuk segera masuk juga ke dalam. Duduk di samping John yang berada di balik kemudi.
Laura sebenarnya tak suka diperintah, kecuali oleh bosnya sendiri. Diperintah oleh seseorang yang menghasilkan uang untuknya. Tapi untuk kali ini saja, dia menurut pada ucapan John, karena mungkin tatapan mata pria itu yang cukup mengintimidasi.
"Cepat katakan, kau ingin apa?" tanyanya begitu ketus. Membuat John mengernyitkan dahinya bingung. Padahal semalam mereka berdua baik-baik saja.
John melempar punggungnya ke belakang, menoleh ke samping guna mengamati setiap bentuk pahatan sempurna yang Tuhan ciptakan. Segera menggeleng pelan, pria itu kembali fokus pada tujuannya.
"Kau sedang ada masalah?"
"Kenapa balik bertanya padaku? Kau ingin—"
"Nada bicaramu terlalu ketus." sela John dengan cepat. Lalu kemudian kembali melanjutkan, "kau tau apa yang akan aku lakukan jika kekasihku ketus begitu?"
"Kau pikir aku peramal bisa tau kau melakukan apa?"
"Aku akan memberinya pelajaran di atas ranjang, dengan kedua tangan yang di ikat dengan tali. Atau terkadang aku juga memborgolnya."
Jawaban John membuat Laura bungkam secara mendadak. Wanita itu bahkan sampai menatap netra John tanpa berkedip. Seperti terkejut dengan ucapan pria itu. Laura sama sekali tidak bodoh. Tentu saja dia mengetahui ke arah mana pembicaraan tersebut. Dan Laura menganggap bahwa pria itu benar-benar sinting.
Dia tidak tau sedang berhadapan dengan siapa saat ini. Tapi Laura yakin jika pria itu memiliki maksud tertentu padanya. Laura memang sedikit takut dan suka sekali kepikiran. Maka dari itu, dia segera merubah mimik wajahnya.
Laura lantas tertawa sarkas dan menyahut, "kau bicara seolah-olah memang memiliki pasangan. Padahal apa? Tidak ada kan? Lalu siapa yang sedang kau bicarakan? Mau menggertakku lagi, Tuan Leister?"
John sekuat tenaga menahan diri agar tak terpancing sama sekali. Dia tau, Laura sedang mencoba untuk membuatnya marah.
"Katakan, apa salahku? Semalam kau tidak begini."
"Kau tanya salahmu apa? Pertama, kau tiba-tiba pergi tanpa berpamitan padaku. Kau pikir aku ini wanita bayaranmu? Dan yang kedua, gara-gara kau, aku bangun terlambat dan benar-benar telat bekerja. Kau tau sekarang aku mendapatkan apa? Aku dapat peringatan atas keterlambatan ku!"
"Hanya terlambat sekali, apa masalahnya?" sahut John dengan santainya menanggapi.
"Masalahnya jika ini terulang, aku bisa dipecat!"
"Cari pekerjaan lain."
"Kau pikir segampang itu? Mentang-mentang kau orang kaya dan punya segalanya, bisa bicara dengan mudah begini? Kau pikir cari pekerjaan baru semudah saat mengangkang kaki?!"
Laura melihat sudut bibir John terangkat. Kedua matanya menyipit curiga sebab John saat ini tengah tersenyum smirk menatapnya.
Sialan! Laura ingin sekali menendang wajahnya. Tapi dia masih sayang uang dan dirinya sendiri. Jika dia melakukan kekerasan pada John, maka tidak mungkin jika pria itu tak melaporkannya. Dan hal itu justru akan membuatnya semakin tersudut dan mendapat banyak masalah.
"Ide bagus. Kenapa kau tidak mengangkang saja untukku? Aku bisa membayarmu lebih mahal. Tentu saja, jauh dari gajimu di minimarket itu. Bahkan lebih mahal dari pekerjaan malammu."
Laura belum juga menjawab. Dia balik menatap kedua mata John yang sama sekali tidak mengalihkan pandangannya dari apa pun. Terus saja tertuju padanya.
Tawaran gila yang membuat pikiran Laura menjadi penuh dan berisik. Bukan pertama kali untuknya mendapatkan tawaran gila semacam ini. Tapi entah mengapa, dia ingin menanggapi pria itu meskipun ada rasa malasnya juga. Sayangnya, dia terlalu penasaran.
"Bagaimana, Laura? Bukankah ini pekerjaan yang bagus? Selain mengangkang untukku, tentu kau akan mendapatkan bonus."
"Apa bonusnya?" tanya Laura mencoba untuk menanggapi. Meskipun sebenarnya dia malas untuk membahas hal ini.
"Di sayang-sayang."
Laura sontak memutar bola matanya malas. Dia lantas mendecih kesal, saat mendengar kekehan dari pria itu. Laura tau, jika orang kaya macam John ini sangat berbeda.
"Ck! Apa kau menawarkan pekerjaan ini pada semua wanita yang kau temui, Tuan? Kau ini ternyata tidak berbeda jauh dari para pria haus belaian."
"Aku tidak haus belaian. Hanya butuh tempat untuk mencharger diri, having seks."
Laura menggeleng tidak percaya. Pria itu terlalu blak-blakan sekali. Tapi memang sudah seharusnya Laura tidak seperti ini. Dia tentu tau pria macam apa yang ada di depannya sekarang.
"Dan aku rasa, kau cocok untukku."
"Tawaran yang sangat gila, Tuan. Tapi terimakasih untuk itu. Sayangnya, aku tidak berminat. Lagi pula, apa yang kau harapkan dari wanita yang tak pandai di atas ranjang? Kau gila?"
Sudut bibir John tertarik ke atas. Tangannya terulur menyentuh sisi wajah Laura. Begitu pelan, lalu mengusap bibir bawah Laura dengan begitu sensual. John bahkan mendekatkan wajahnya hingga mereka berdua bertatapan dalam jarak yang sangat dekat.
"Tidak pandai? Bagaimana aku bisa menilaimu tidak pandai di atas ranjang, jika kita belum melakukannya, Laura?"
John memasukkan ibu jarinya pada mulut Laura. Menekan lidah Laura tanpa memutuskan pandangan.
Panas, John merasakan tubuhnya panas hanya dengan menekan lidah hangat Laura saat ini. John pikir dia akan baik-baik saja, tapi kenyataannya salah. Dia menginginkan Laura.
John mengeluarkan jarinya, lalu tangannya menurun untuk menyentuh dagu Laura. Turun lagi menyentuh lehernya, dan berakhir mengusap pundak wanita itu.
"Bagaimana?"
"Bagaimana apanya?"
"Tawaranku, Laura. Kau mau mengambilnya atau tidak? Aku tidak pernah memberikan tawaran sebanyak dua kali."
John masih berusaha untuk menarik Laura ke dalam permainannya. Dia menginginkan Laura, menginginkan segalanya yang ada pada pada diri Laura.
Pikirannya kotor, sangat kotor sampai membayangkan Laura yang begitu menurut saat di atas ranjang. John sebenarnya tidak suka wanita yang berisik saat dia setubuhi. Tapi pengecualian untuk Laura jika wanita itu nantinya berisik.
Sial! Pikiran John semakin kotor sebab dia membayangkan tubuhnya dengan Laura menyatu. Saling mendesah dan terus bergoyang di dalam mobil sampai menarik perhatian banyak orang.
"Wajahmu memerah, menahan sesuatu?" tanya Laura dengan begitu tenang.
Tatapan John kini beralih pada bibir Laura yang kecil. Dia yakin, jika bibir Laura yang lainnya juga kecil, sempit dan pasti sangat nikmat.
"Jawab, Tuan Leister."
"Apa yang akan aku dapatkan jika menjawab dengan jujur?"
Laura mengedikkan bahunya tidak tau. "jawab saja dulu, Tuan Leister. Kau sedang menahan apa?"
Detik berikutnya, Laura menyesal sudah mendesak seorang John Nicholas Leister untuk menjawab pertanyaannya.
Meskipun Laura tidak begitu menunjukkan ekspresi aslinya, wanita itu jelas terlihat terkejut untuk beberapa saat. John memang bukan orang biasa. Pria itu benar-benar berani dan tidak tau malu.
Laura merasakan telapak tangannya sengaja di arahkan pada sesuatu yang tak seharusnya di sentuh. Sial! Keras! Mengeras! Benar-benar keras. Laura sampai pusing dengan John yang seperti ini.
"Kenapa diam? Bukankah ini yang kau harapkan, Nona Laura?"
John mengedipkan sebelah matanya dan Laura menaikkan sudut bibirnya. John lantas kembali mengusap pipi Laura dengan lembut, sementara Laura meremas milik John yang sudah menegang dibalik celana bahan tersebut.
Kini, Laura dengan berani menghapus jarak di antara keduanya. Mengecup bibir John lebih dulu yang mana beberapa detik sempat membuat John membeku.
"Dengar, Tuan Leister. Aku menolak tawaranmu itu. Aku lebih baik bekerja sebagai pelayan dari pada harus menjadi budakmu di atas ranjang. Mau kau membayarku dengan nyawa seseorang sekali pun, aku tidak akan pernah mau menerimanya. Jika kau tertarik padaku, maka bersikaplah gentleman. Dekati aku seperti orang-orang pada umumnya. Bukan memanfaatkan kelemahan finansialku."
Laura, wanita pertama yang terang-terangan menolaknya. Bahkan John sempat-sempatnya membandingkan Laura dengan Sofia. Meskipun Sofia lebih lemah lembut, wanita itu mudah sekali luluh dengan ucapannya. Beda dengan Laura yang susah untuk dirayu. Laura ini benar-benar sama sepertinya yang suka sekali bermain tarik ulur.
"Apa kau mengerti, Tuan Nicholas Leister?"
John tak menyahut. Fokusnya kini pada bibir merah alami milik Laura yang terus menerus memanggilnya, minta untuk dikecup.
Maka dari itu, John menaut bibir Laura. Mengulum, dan melumatnya sensual. Tangannya menekan tengkuk wanita itu, sembari menggigit kecil bibir bawahnya. Ketika mulut Laura sedikit terbuka, John dengan cepat menjulurkan lidahnya ke dalam. Sudut bibirnya terangkat, karena Laura membalas ciumannya. Ciuman menggebu, sampai keduanya harus sering-sering menggerakkan kepala ke kanan atau ke kiri untuk memperdalam ciuman.
Andai saja Laura tidak memukul dadaa John, maka dipastikan dia akan benar-benar kekurangan oksigen.
Keduanya terengah dan meraup oksigen sebanyak-banyaknya. John nampak tersenyum dan memiringkan kepalanya untuk memberikan kecupan pada leher Laura. Kecupan-kecupan ringan yang membuat ribuan kupu-kupu diperut Laura berterbangan. Tapi wanita itu benar-benar pandai dalam bermain ekspresi.
"Cukup," seru Laura sembari mendorong tubuh John yang semakin menghimpitnya. "Apa kau benar-benar sering seperti ini dengan wanita yang lainnya?"
John mengedikkan bahunya sembari menjauh dan membenarkan posisi duduknya seperti sedia kala.
Laura sontak mendecih dan memutar bola matanya malas. Dia lantas mengambil langkah bersiap untuk keluar dari mobil tersebut. Namun, John justru mengunci mobil tersebut, yang mana membuat Laura tidak bisa keluar dari sana.
"Tuan Leister, tolong kerjasamanya, oke?"
John menyeringai, dan belum sempat Laura melanjutkan ucapannya, pria itu menyalakan mobil dan bergegas melajukannya dengan kecepatan tinggi.
Laura mendengus pasrah. Tapi dia hampir saja keceplosan memaki pria itu. Tidak, Laura segera menggeleng samar. Menyakinkan dirinya sendiri untuk tetap bersabar. Perjalanannya masih sangat panjang.