John berdiri di depan cermin dalam keadaan bertelanjang dadaa. Dia begitu mengagumi bentuk tubuhnya yang atletis saat ini. Tubuh yang mampu menarik perhatian banyak wanita.
Tidak perlu bersusah payah untuk menggoda, sebab sudah banyak wanita-wanita yang mengincarnya. Berlomba-lomba untuk mendapatkannya atau sekedar mendesah di bawah kunkungannya.
John menyentuh bagian belakang telinganya. Dia memiringkan kepalanya dan mencoba untuk mengamatinya lebih jelas.
"Apa semalam aku benar-benar kecolongan?" seru pria itu sambil tersenyum miring, mendapati sebuah hickey di belakang telinganya.
John benar-benar tidak sadar jika semalam Laura bisa melakukan ini tanpa sepengetahuannya. Atau karena dia sendiri yang terlalu fokus pada hal lain?
Ah, John memperhatikan jemarinya yang panjang, lalu tersenyum penuh arti saat mengingat kejadian semalam. Dua jarinya bermain-main di sekitaran liang milik Laura. Meskipun tak diperbolehkan masuk dan mengorek-ngorek di dalamnya, tetap saja John mampu membuat Laura kalang kabut.
Bisa dibilang, semalam adalah kegiatan yang John ingin ulang kembali. Bahkan jika bisa, dia ingin lebih dari yang semalam. Namun, John tidak bisa bertindak lebih karena dia ingin mengikuti tarik ulur yang Laura lakukan. Ya, John bisa membaca itu dari sikap Laura padanya.
Lenguhan dari seorang Laura benar-benar tersangkut di dalam pikiran John. Bahkan sekarang saja, John seolah masih bisa mendengarnya.
Namun, ekspresi wajahnya mendadak berubah saat bayangan Sofia muncul secara tiba-tiba. Membuat John mengetatkan rahang dengan kedua tangan yang mengepal kuat.
Di saat dia sedang membayangkan Laura, selalu saja Sofia muncul dan selalu saja berhasil mengambil alih pikirannya. Kejadian malam itu terus saja terpatri di dalam benaknya. Membuat rasa bersalah yang John kubur kembali menjalar hingga ke relung hati.
Mendengar suara pintu kamarnya diketuk tak sabaran, John langsung menoleh dengan cepat. Tatapannya yang begitu tajam terus tertuju pada sosok yang segera muncul saat ini. Ketika pintu terbuka, dia mendapati Griffin berdiri di sana. Griffin tampak menundukkan sedikit kepalanya guna memberikan hormat sekaligus meminta maaf atas kelancangan yang sudah dia lakukan.
"Maaf, Tuan. Tapi kali ini sangat mendesak. Ada penyusup yang baru saja tertangkap pagi ini."
Tanpa mengatakan apa pun, John dengan cepat berjalan menuju tempat persenjataan yang sebagian dia simpan di dalam kamar. John mengambil pistol laras panjang dan terburu keluar masih dengan bertelanjang d**a.
Maka dari itulah, Griffin mengambil bathrobe milik John dan segera menyusul tuannya menuruni tangga untuk menuju ke lantai bawah.
Griffin tau betul seperti apa tuannya jika sedang marah seperti ini. Pasti akan sangat murka dan orang-orang yang membuat masalah padanya sudah dipastikan tidak akan pernah selamat.
Sesampainya di lantai bawah. John langsung berdiri tepat di hadapan pria yang sedang berlutut. Ada banyak luka di sekitaran wajahnya dan matanya sekarang terlihat membengkak akibat pukulan. John yakin jika para anak buahnya sudah menghajar pria penyusup itu habis-habisan.
John menyentuh dahi pria itu menggunakan pistolnya yang laras panjang tersebut. Menekannya sampai membekas pada dahi pria tersebut. John tersenyum menyeringai saat mendapatkan tatapan penuh kebencian dari orang tersebut.
Dari tatapannya saja, John sudah dapat memastikan jika pria itu adalah orang yang setia. Akan sulit bagi John untuk membuat penawaran balik dengan menyuruh orang tersebut menjadi mata-mata urusannya.
"Aku benci melihat kedua matamu yang melotot itu." ujar John dengan jujur. "Apa jadinya jika aku menembakmu tepat pada pupil matamu itu? Duarr! Pecah."
Suara tawa John menggelegar begitu saja. Menggema di dalam ruangan tersebut dan yang lainnya hanya bisa menegang di tempat. Sementara pria yang sedang berlutut itu semakin menatap John benci dan penuh dengan amarah.
"Ah sial! Aku bilang aku benci melihat matamu yang melotot itu!" bentak John sembari memukul kepala pria. Tentu saja menggunakan pistolnya.
Kemarahan John semakin meninggi karena pria tersebut sama sekali tidak mengeluarkan sepatah kata pun.
"Tuan, kami mendapatkan ini, ponselnya dan beberapa kamera tersembunyi yang dia bawa." seru salah seorang anak buah John.
John menerimanya dan mulai membuka ponsel tersebut. Memeriksa bagian pesan yang sudah bersih alias kosong. Bahkan di bagian kontak dan riwayat panggilannya juga sudah bersih.
"Wow, kau masih sempat menghapus semuanya? Ingin meninggalkan jejak? Percuma saja. Kau melupakan satu hal, kawan. Nomormu masih aktif." ujar John sambil mengedipkan sebelah matanya main-main.
Tawanya kembali terdengar menertawakan kebodohan orang yang terlihat ingin pintar dengan menghilangkan jejak dan bukti.
"Kembalikan ponselku!" teriak orang tersebut yang mana langsung mendapatkan pukulan dari anak buah John. Hingga pria tersebut tersungkur ke lantai.
Ketika kerah baju pria itu ditarik dan hendak kembali mendapatkan pukulan, John dengan cepat mengangkat tangannya. Meminta anak buahnya untuk berhenti memukuli pria tersebut.
"Jangan terlalu kasar padanya." ujar John yang nampak tersenyum meremehkan saat ini. Benar-benar senang melihat pria tersebut tak berdaya.
"Diamlah kau bajingann! Kembalikan ponselku!"
John berdehem dan menyahut, "ambil saja jika kau bisa. Rebut dariku, orang bodoh! Kau hanya besar di mulut, tidak tau kondisimu sendiri bahkan tidak memungkinkan untuk merebut ponsel ini dariku."
Tangan pria itu memang terikat ke belakang. Tentu saja, John menganggapnya sebagai orang bodoh yang hanya besar di mulut saja. Bisa menggertak, tapi tak bisa melakukan sesuatu.
Detik berikutnya, ponsel tersebut mendadak berdering.
"Lihat?" seru John sembari menunjukkan ponsel tersebut pada pria itu. Ponselnya menyala saat ada panggilan masuk dengan nomor tak disimpan.
"Mari kita lihat, siapa yang mengutusmu kemari." lanjut John sembari menekan tombol hijau.
Saat itu juga, pria penyusup itu memberontak hendak merebut ponselnya yang ada di tangan John. Meskipun sebenarnya tidak mungkin juga, karena tangan pria tersebut terikat di belakang.
Usahanya tentu saja sia-sia, sebab dia kembali ditarik oleh anak buah John. Sementara John sendiri justru balik badan sembari menempelkan ponsel tersebut pada telinganya.
John mendengarkan apa yang seseorang katakan di seberang panggilan tersebut. Lalu John tertawa keras yang tentu saja membuat sang penelepon terkejut.
"Oh, halo. Apa aku membuatmu terkejut? Maaf, perkataanmu sangat menggelikan. Sama halnya dengan mata-mata yang kau kirim ke rumahku. Lalu apa yang akan kau dapat?" John menjeda ucapannya sembari mempersiapkan diri untuk berbalik. "Bangkai mata-matamu..."
John menyerahkan ponsel tersebut pada Griffin, lalu berbalik dan bersiap untuk menembak tepat di jantung pria penyusup itu. Si mata-mata paling bodoh yang pernah dia temui.
John benar-benar menargetkannya tepat di jantung. Tapi melihat pria tersebut tampak tidak takut padanya. John berakhir menurunkan senjatanya.
Tangan kirinya terulur meminta ponsel itu yang mana masih terhubung dengan sang penelepon.
"Sepertinya kau harus bersabar dahulu. Paket berisi bangkai mata-matamu akan sampai cukup lama. Karena apa? Aku masih ingin bermain dengannya."
Setelah mengatakan itu, John memutus panggilan tersebut secara sepihak. Lalu melempar ponsel tersebut tepat mengenai kepala pria itu.
John benar-benar pria dengan sejuta ekspresi. Dia bisa berubah berulang kali sesuai dengan keinginannya. Dan itu sebenarnya sangat mengerikan.
John mengkode Griffin dan pria itu tau apa maksudnya. Griffin dengan cepat memakaikan bathrobe pada John. Lalu mengambil alih senjata laras panjang tersebut untuk disingkirkan.
"Bukankah kau akan mengakhiri hidupku? Tembak aku sekarang, bajingann!"
"Wah, menarik. Aku jadi ingin merobek mulutmu sekarang juga. Tapi sayangnya, aku sangat mencintai waktuku yang sangat berharga. Jadi, tunggulah kabar baik untuk kematianmu." sahut John dengan begitu santai.
John menunjuk dua anak buahnya dan berkata, "kalian berdua, bawa dia ke tempat biasa. Lakukan apa pun untuk menyiksanya. Tapi jangan biarkan dia mati. Kematiannya, hanya berada di tanganku."
"Siap Tuan!"
John balik badan dan kembali berjalan menaiki tangga. Mengabaikan teriakan dan umpatan pria penyusup itu padanya. Lalu terdengar suara gaduh yang mana itu adalah pukulan-pukulan yang di dapat pria itu dari para anak buah John.
Sementara itu, Griffin menyusul John ke kamarnya sekaligus mengembalikan senjata laras panjang itu ke tempat semula.
Griffin langsung melangkah masuk karena pintu kamar tersebut masih terbuka. Dia meletakkan senjata John di tempat yang seharusnya.
Lalu dia berdiri tepat di belakang John dan berkata, "apa Anda akan pergi setelah ini, Tuan?"
"Ya, siapkan mobil."
Griffin sontak mengangguk meskipun percuma, karena John bahkan membelakanginya. "Baik, akan saya siapkan sekarang, Tuan. Permisi."
Mendengar suara pintu kamarnya yang tertutup, John lantas berjalan menuju meja nakas dan membuka laci. Mengambil satu buah foto wanita cantik yang tak lain adalah Sofia.
"Lihatlah Sofia, kau masih tetap menjadi alasan utamaku untuk meredakan emosi dan amarah."
John mendudukkan diri di tepi ranjang sembari mengusap foto tersebut. Setiap kali sedang marah begini, obat yang bisa membuatnya tenang adalah memandangi wajah Sofia.
Tatapan matanya yang begitu tenang membuat John ikutan tenang juga. Jika dia api, maka Sofia adalah airnya.
"Rasanya aku ingin memelukmu. Jadi, bolehkan aku menemui wanita itu? Laura, aku ingin memeluknya. Dia, benar-benar mirip denganmu."
Bagaimana pun juga, hati dan pikiran John tetap tertuju pada Sofia. Dia tidak peduli ini benar atau salah, tapi menurutnya sama saja, karena keduanya bak pinang dibelah menjadi dua.
John tersenyum samar menatap senyuman di bibir Sofia. Begitu manis, cantik dan sangat menenangkan. Tapi tetap rasa bersalahnya tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Dan itu yang terkadang membuat John tiba-tiba merasakan sesak dan kesal. Sekaligus marah. Ya, pada dirinya sendiri.
"Izinkan aku juga untuk menebus dosaku padamu melalui Laura, sayang. Percayalah padaku jika kau tak akan pernah tergantikan."
Gila, ya. John Nicholas Leister memang sudah gila.