Tuan Chef atau Daddy?

1415 Words
Sesi panas yang Laura lewatkan bersama John masih melekat di dalam benaknya. Bagaimana dengan liarnya dia menunggangi pria itu dan betapa brutalnya John saat mengoyak miliknya. Memenuhinya sampai yang terdalam. Lenguhan, geraman dan desahan kenikmatan itu seolah terus terdengar di rungunya meski semuanya sudah berakhir. Wajah John yang sangat seksi, berpeluh dan saat memanggil namanya membuat Laura hampir kehilangan kewarasan. Bohong jika Laura tidak menikmati itu. Laura akui, John sangat hebat dalam memberikan kenyamanan dan juga kenikmatan pada partner seks-nya. Pantas saja jika ada banyak wanita yang suka menawarkan diri untuk dijadikan pelampiasan nafsu oleh seorang John Nicholas Leister. Tidak ada senyuman yang tercipta di wajah Laura saat ini. Tatapannya sangat datar dan cenderung dingin. Laura berjalan menuju kamar mandi setelah memastikan John terlelap. Tentu saja, karena pria itu baru saja mendapatkan kepuasan. Laura mengunci pintu kamar mandi, lalu kemudian melepaskan bathrobe miliknya begitu saja dan dibiarkan tergeletak di lantai. Langkahnya terhenti tepat di depan cermin wastafel. Tangannya menyibak rambut panjangnya ke belakang. Laura memandangi bagian leher dan juga sekitaran dadanya yang terdapat banyak bekas gigitan dan juga tanda kemerahan di sana. John meninggalkan banyak tanda dan Laura reflek menggosoknya dengan ibu jari. Tatapannya yang datar berubah menjadi amarah yang begitu mendalam sejalan dengan gosokan ibu jarinya pada tanda tersebut semakin cepat. Rasanya perih dan panas karena apa yang Laura lakukan sekarang bisa membuat kulitnya terluka karena digosok secara paksa. Kulitnya bahkan semakin memerah dan hampir saja lecet. "Arghh!" Laura memukul keras meja wastafel dengan kepala yang menunduk. Napasnya memburu, lalu dengan berat, dia mengangkat kepalanya untuk menatap dirinya sendiri pada cermin tersebut. Laura menyaksikan bagaimana tatapannya yang sekarang berubah menjadi tajam. Matanya memerah dengan kedua tangan yang mengepal sempurna. "John Nicholas Leister..." gumam Laura dengan suaranya yang parau. Laura mencoba untuk mengatur napasnya yang putus-putus, lalu menutup mata sejenak dan kembali membuka matanya. "Untuk menghancurkanmu, aku bahkan rela hancur sekalian bersamamu." Tekad Laura benar-benar sudah bulat sejak awal. Dia memang rela menghancurkan dirinya sendiri demi bisa masuk ke dalam hidup seorang John Nicholas Leister. Seorang pria yang sangat susah untuk ditembus. Sampai kapan pun, Laura tidak akan pernah melepaskan John begitu saja. Sangat sulit baginya untuk menemukan pria itu selama ini. Tapi semesta benar-benar sangat baik padanya kali ini, karena pria itu sendiri yang mendatanginya. Pria itu sendiri yang muncul di hadapannya. Tentu saja Laura tidak akan menyia-nyiakan kesempatan yang sudah ada sekarang ini. "Tunggu saja tanggal mainnya, John." Setelah mengatakannya, Laura langsung menyalakan shower dan berdiri di bawahnya. Terus berdiri tanpa adanya pergerakan apa pun, karena saat ini dia sedang membiarkan seluruh tubuhnya diguyur oleh air shower yang mengalir dengan deras. Membiarkan air itu menghapus segala jejak John pada kulit tubuhnya. Laura, benar-benar seperti patung yang berdiri tegak. Dia berharap derasnya air yang menghujaninya mampu membersihkan jejak-jejak belaian John pada tubuhnya. Meskipun jika di ingat kembali rasanya dia geram sendiri. Laura juga tidak tau kenapa dia bisa segeram ini saat kembali mengingat bagaimana setiap inchi tubuhnya dinikmati oleh John. Bibir basah pria itu dan juga tangannya bergerilya di seluruh tubuhnya benar-benar membuat kepala Laura pening. Tapi wanita itu segera menyadarkan dirinya bahwa hal itu sudah biasa. Wajar jika melakukan hal itu pasti akan dinikmati. "Segalanya aku pertaruhkan. Aku harap, semesta kali ini benar-benar mendukungku." monolognya seraya menutup kedua matanya. +++ Laura melahap Parfait buatan John sedikit rakus. Sungguh, Laura suka sekali dengan Parfait yang dibuat oleh pria itu. Pada awalnya, dia tidak menaruh ekspektasi yang tinggi untuk Parfait buatan John. Tapi setelah mencobanya, Laura langsung jatuh hati. Satu suap, dua suap, tiga suap dan seterusnya, Laura benar-benar menggilainya. Parfait yang dibuat John sangat lezat. Pria itu mengganti custard dengan yoghurt. Sebab yoghurt bisa melancarkan pencernaan yang cenderung terganggu akibat banyak makan daging. Itu juga karena sebelumnya mereka makan daging juga. Jadi John berinisiatif menggantinya. Selain ada yoghurt-nya, ada pula lapisan granola yang kaya akan serat dan ditambah pula buah blackberry yang menyegarkan. "Wah, ini benar-benar enak! Manisnya pas, dan segar." John hanya tersenyum tipis sebagai tanggapan. Lalu dengan cepat merubahnya kembali menjadi datar karena tidak mau jika sampai Laura berpikir bahwa dirinya mudah sekali salah tingkah hanya karena dipuji. "Aku pikir, Parfait buatan mu biasa saja. Tapi sekarang aku akui jika Parfait buatan mu sangat lezat, Tuan Leister. Maaf ya, sempat berpikir jika kau tidak pandai membuatnya. Tapi ternyata di luar dugaan, ini sangat lezat. Komposisinya sangat pas, dan manisnya juga." "Dengan Parfait langgananmu di resto yang kamu bicarakan itu, lebih enak yang mana?" "Enak parfait buatan Anda, Tuan Leister. Karena ini gratis. Kau bahkan yang belanja keperluan bahan-bahannya. Padahal bisa saja delivery makanan. Hanya saja kau memilih untuk merepotkan diri sendiri. Tapi terimakasih ya, sudah memanjakan lidah dan membuat perutku kenyang, Chef Nicholas Leister." "Tuan atau chef?" "Daddy saja bagaimana?" goda Laura sembari mengedipkan sebelah matanya dan John menatapnya sambil memainkan lidahnya di dalam. Wanita itu memang sangat pandai menarik ulur John. Terkadang selalu centil, dan suka menggoda. Tapi terkadang juga bisa bersikap jual mahal seolah tidak tertarik sama sekali padanya. Benar-benar wanita langka bagi John. "Kenapa kau menatapku begitu? Apa ada yang bangun setelah aku memanggilmu Daddy, Tuan?" "Memangnya kenapa jika ada yang bangun?" "Jangan tanya kenapa. Kalau aku menjawabnya kau pasti akan kelimpungan sendiri." jawab Laura dengan senyuman jahilnya. Sial! Diberikan senyuman seperti itu saja reaksi John langsung berubah. Tapi pria itu menahan diri karena bagaimana pun juga, John paling tidak suka disetir. John hanya ingin menjadi sang dominan. Meskipun dia tidak tau apakah bisa menaklukkan Laura atau tidak. Sebab baru kali ini, dia membiarkan partner seks-nya untuk memimpin permainan. Dan wanita pertama yang bisa memimpinnya di atas ranjang adalah Laura. Karena itulah, John bertekad untuk tetap pada pendiriannya. Meski dia menyukai wanita itu, John tidak mau tunduk pada wanita. Cukup sekali dia tunduk, tapi berakhir dengan malapetaka. "Mulutmu kecil, tapi muat juga untuk menampung milikku meski tidak bisa seluruhnya." ujar John yang mana membuat Laura memicingkan matanya. John tersenyum menyeringai, lalu kembali melanjutkan, "ah, aku jadi mengingat bagaimana wajahmu memerah saat aku menghentaknya sampai kau tersedak. Wajahmu yang berantakan benar-benar seksi. Ya, apalagi saat wajahmu dipenuhi dengan cairanku." "s**t! Bisa diam tidak?!" seru Laura yang tidak tahan dengan ucapan John. Dia hampir melupakan kejadian semalam, tapi John justru kembali mengingatkannya. Benar-benar sialan, bukan? "Apa yang akan aku dapatkan jika benar-benar menurutimu untuk diam?" "Tidak akan dapat apa-apa. Sekarang pergilah, kau sudah kenyang kan? Aku juga harus pergi bekerja siang ini." "Di mana?" "Kau ini pura-pura lupa atau bagaimana? Ya kerja di minimarket lah. Kau pikir ada klub yang buka siang bolong di sini? Heran." "Baguslah, akan aku antar." "Tidak perlu," tolak Laura tapi tentu saja John tidak akan mungkin mau menurutinya. "Laura, aku sedang tidak mau mengancam. Tapi boleh kan sekali saja aku memaksamu? Aku ingin mengantarmu." "Kau ini bisa suka sungguhan padaku jika terus bersikap baik dan manis begini, Tuan Leister." "Bukankah bagus? Kau harusnya bangga jika aku benar-benar menyukaimu." Laura tertawa begitu mendengarnya. Mendorong tubuhnya ke belakang dan menyandarkan punggungnya. Menatap John dengan teliti, lalu tersenyum kecil. "Kau ini benar-benar percaya diri sekali ya Tuan? Tapi bagus juga sih. Hanya saja aku mungkin bisa gila jika kau sungguhan menyukaiku." "Bagaimana mungkin bisa gila? Apa maksudnya?" "Ck! Aku biasanya suka memanfaatkan para pria yang menyukaiku. Ini aku terang-terangan mengatakannya padamu agar berpikir lagi puluhan kali untuk menyukaiku. Kau ini tidak mengenal aku seperti apa, Tuan. Memangnya kau tidak takut?" "Untuk apa takut denganmu? Bahkan di dalam kamus ku sama sekali tidak ada rasa takut. Hanya orang lemah yang merasa ketakutan." Laura mendecih pelan mendengar jawaban yang John sampaikan. Memang selalu angkuh dan sok sekali. "Jangan terlalu sombong, Tuan. Tidak ada yang tau jalannya semesta. Kau tau harimau? Dia mengaku rajanya hutan, sampai akhirnya sadar bahwa masih ada singa yang berkuasa. Dan kau tau apa? Ya, harimau tunduk pada singa." "Dan akulah singanya." sahut John penuh dengan percaya diri. "Boleh juga. Tapi hewan dan manusia sangat berbeda. Kau yakin tidak takut padaku?" tanya Laura sekali lagi. "Dan kau yakin bertanya hal ini kembali, Laura?" tanya balik John yang mendekatkan wajahnya. Tatapan Laura benar-benar tidak gentar sama sekali saat tatapan John semakin menguat. Wanita itu benar-benar berbeda, sebab sama sekali tidak merasa takut dengan tatapan yang John tunjukkan barusan. Sesekali John sempat bertanya-tanya sendiri tentang apa yang dia rasakan dan lihat. Dia menyadari betul jika Laura sejak awal memang sangat berbeda. Tapi hal itulah yang membuat John tertarik selain wajahnya yang sangat mirip dengan mendiang kekasihnya. "Memangnya kenapa? Hanya bertanya hal yang sama apakah sebuah kesalahan? Apa kau akan menghabisiku karena terus bertanya hal yang sama lebih dari tiga kali?"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD