Semalam Braven dan Ana tidur bersama lagi setelah pulang makan malam. Mereka menikmati wine bersama di balkon hingga mabuk dan terbawa suasana.
Dan malam berikutnya adalah hari dimana Ana akan kerumah keluarga Braven. Untuk bertemu oma dan anak tertua nya yaitu Om Broto. Ia menjalankan perusahaan penyiaran terbesar di Indonesia. Dan hubungan nya dengan Braven cukup baik.
Mobil mereka telah memasuki halaman rumah mewah tersebut. Saat masuk ke dalam, Braven sudah tau dengan sorot mata nya yang dingin. Vas-vas di meja pasti dihias dengan bunga lily. Ana cukup khawatir melihatnya. Namun Braven tampak acuh menahan diri. Jelas, semuanya adalah perbuatan bibi Pramit.
Braven mengetuk pintu kamar oma yang luas dengan interior bergaya tahun 80an. Seorang nenek berambut putih dengan kacamata kecil nya duduk di kursi roda, tersenyum melihat kedatangan Braven. Cucu kesayangan nya.
"Oma.. saya datang. Bagaimana keadaan anda?" tanya Braven sambil berlutut didepannya.
"Baik. Selalu baik. Apa kamu membawakan teh melati dari perkebunan?" tanya oma bernada pelan.
"Tentu saja. Sudah ada di tangan pelayan.." jawab Braven. Ia pun duduk disofa.
Pandangan oma beralih kepada Ana. Dan terus melihatnya.
"Kenalkan oma.. ini Ana istri saya. Kami sudah bersama sejak beberapa lalu" ucap Braven mempersilakan Ana maju.
"Saya Riana.. maaf baru sempat berkunjung, oma" ucap Ana ramah.
Oma mengangguk, "Oma tau.. kamu pasti akan menikah seperti ini. Tanpa memberitahu dan tanpa acara. Itulah kamu. Tetapi tidak masalah, oma senang kamu akhirnya menikah dan tinggal dengan seseorang. Tidak merasakan sulit seorang diri"
Ana sangat gugup. Oma terlihat sangat bersahaja dan cerdas.
"Yaa.. apa oma merestui kami?" tanya Braven.
"Kemari lah…" pinta oma kepada Ana. Hingga Ana mendekat.
"Ya oma??"
"Temani dia dengan ketulusan mu. Hadapai apa yang sedang dia hadapi. Artinya bersama lah dengan nya apapun yang terjadi. Bagaimana pun keadaan nya. Hanya kamu yang ia percaya" ucap nya mengelus tangan Ana.
Jawaban itu sudah cukup memberi mereka jawaban. Braven akhirnya merasa tenang. Oma memang selalu mengerti dirinya.
Setelah mengobrol beberapa saat. Braven dan Ana keluar kamar. Bibi duduk di ruang tengah melihat mereka dan berjalan mendekat.
"Wanita mana yang kamu sewa untuk jadi pacar bohongan? Berani sekali melakukan itu pada oma?" ucap bibi Pramit dengan ketus.
Braven menatap nya seperti ingin membunuhnya, "Jangan salah menyimpulkan.. Ana adalah istri saya. Jangan menyentuh nya bahkan berpikir apapun tentang nya"
Melihat sikap Braven, membuat Ana mengerti suasana nya. Ia pun juga memberikan tatapan tajam itu kepada bibi Pramit. Ia tidak ingin di lihat rendah ataupun membuat Braven menjadi tidak berwibawa.
Bibi Pramit melihat cincin mereka dan sempat terdiam. "Orang seperti mu menikah?? Wanita ini akan kamu buang nanti. /Kamu harus berhati-hati, Ana" ucap nya menakuti Ana.
"Benarkah? Seperti nya anda yang harus berhati-hati" ucap Ana.
Braven mengelus pundak Ana.
"Aku akan ke ruang atas bertemu Om Broto. Bicara lah dengan bibi ini .. " ucap Braven berlalu pergi.
Ana sempat panik melihat Braven pergi dan meninggalkan nya dengan bibi Pramit. Tetapi wajahnya tetap berusaha tenang, ia tidak akan kalah begitu saja. Ini pasti juga bagian dari tugas nya.
Ana berjalan ke sofa dan diikuti oleh bibi Pramit.
"Katakan.. dia pasti menyewa mu?"
Ana menoleh dengan senyuman dingin, "Jangan mengharapkan apapun dari kami. Anda terlalu percaya diri"
"Kamu sungguh tidak mengenal dia, Ana. Menurut mu mengapa kedua orang tua nya meninggal? Adik nya dipenjara? Itu karna keserakahan nya terhadap aset dan warisan. Kamu mungkin akan di singkirkan juga jika dia sudah muak.. bersiaplah"
"Saya tau semuanya. Pikirkan saja semau anda. Itu tidak akan mempengaruhi saya. Lagi pula Braven bekerja keras untuk apa yang dia punya. Jadi, itu adalah milik nya. Tidak seorang pun berhak meminta ataupun mencurinya" ucap Ana.
Bibi Pramit hampir marah mendengar nya. "Apa katamu? Wanita ini sungguh keras kepala. Lihat saja nanti saat kamu memohon di bawah kaki nya seperti seorang b***k!"
"Baiklah…" jawab nya dengan senyuman miring. Kemudian keluar rumah menuju taman samping.
Ana duduk berusaha mengatur nafas nya, mengatur kembali jantung nya yang hampir loncat entah kemana. Tangan sudah dingin, entah keberanian apa yang ia miliki hingga bisa berkata begitu. Huff…
………..
Disisi lain. Braven diruang kerja Om Broto.
"Anda tidak ingin menyapa nya?" tanya Braven.
"Om sudah lihat dari jendela saat kalian datang. Seperti nya bukan wanita biasa?" tanya nya.
Braven duduk dengan mengangkat satu kaki nya, bersandar dengan lelah. Namun wajahnya tersenyum.
"Dia wanita biasa. Tetapi dia lah yang saya cari.."
Tatapan om Broto menyorot lebih dalam.
"Kamu mencintai dia? Sungguh? Bagaimana jika sama seperti yang lain. Mengincar lebih banyak dari yang kamu kira…" ucap nya realistis. Mereka sudah paham dengan banyak wanita seperti itu yang datang dengan penampilan saja.
"Saya tidak mencintai siapapun. Ana hanya membuat saya nyaman dan percaya. Selebihnya dia juga memuaskan saya. Yang penting hidup nya terjamin. Itu yang dia minta. Tidak lebih" jawab Braven enteng.
Yang ia katakan tidaklah bohong. Itu adalah kejujuran nya.
"Menarik juga. Asal jangan lengah. /Ingin mempunyai keturunan atau mengusirnya nanti?"
"Entahlah. Saya berencana mengganti sertifikat Villa dan beberapa mobil bahkan perkebunan atas nama nya. Tetapi masih dalam pertimbangan. Lagi pula dia wanita cerdas, saya bahkan mudah percaya dengan nya"
Om Broto tertawa, "Lihatlah sikapmu. Pria beristri. Sial.. om tidak percaya kamu menikah… tetapi lebih baik lahirkan saja beberapa anak. Dengan begitu aset mu akan turun kepada darah daging mu sendiri. Bukan ke orang lain"
Braven mengangguk memikirkan nya, "Ya.. itu benar. Datanglah ke villa saat senggang. Suasana nya sudah berbeda. Saya sudah mempunyai nyonya sekarang, dia mengatur banyak hal disana"
"Baiklah.. mungkin awal bulan ini om senggang"
---------
Perjalanan pulang, hari sudah larut. Sopir menyetir dengan tenang. Sementara Braven dan Ana duduk dibelakang tanpa percakapan sedikit pun.
Untunglah Ana meletakkan syal di mobil saat berangkat. Sekarang ia cukup kedinginan dan menggunakan syal lalu berusaha tenang. Sebab seperti nya Braven sedang mengerjakan sesuatu di tablet nya.
Hingga akhirnya, Ana tertidur. Namun sopir sempat menginjak rem dengan tidak hati-hati dan membuat Ana terkejut.
"Lebih hati-hati pak" tegur Braven.
"Maafkan saya tuan, nyonya"
"Uhh, tidak masalah pak" ucap Ana sambil membetulkan syal nya. Ia melihat Braven sudah tidak mengerjakan sesuatu.
Ana menyandarkan kepala nya pada lengan Braven. "Aku sedikit mengantuk"
"Lanjutkan tidurmu"
"Apa tidak masalah seperti ini?"
"Lakukan saja.. kemarilah" Braven merengkuh tubuh Ana yang dingin. Mereka seperti itu hingga sampai di Villa.
Bersambung...