Chapt. 9

886 Words
Ana menutup mulutnya karena terkejut melihat uang yang di transfer oleh Braven ternyata sejumlah 900 juta. Hanya untuk keperluan pribadi? Ana tidak mengiranya. Bagaimana ini. Ana justru terdiam berpikir apakah kehidupan nya sekarang nyata atau tidak. Makin-makin perasaan nya bercampur aduk memikirkan level keluarga, rekan bisnis dan kenalan Braven yang pastinya orang-orang kaya raya. Apakah ia bisa setidaknya terlihat sederajat? Apa ia pantas berada di sisi Braven, didepan mereka? "Kita makan malam diluar saja.." ucap Braven setelah keluarga dari kamar mandi sambil mengusap rambutnya yang basah. Saat ini mereka sudah satu kamar. Kadang masih membuat Ana terkejut ketika tiba-tiba Braven datang. "Sekarang?" tanya Ana. "Tentu saja. Sebentar lagi waktu makan malam tiba. Cepat bersiap" ucap nya datar. Ana hanya mengangguk. Kebetulan ia sudah mandi. Melihat Braven menggunakan kemeja dengan lengan yang di gulung sesiku. Ana pikir tempat nya tidak akan terlalu istimewa. Ia pun menggunakan dress polos selutut berwarna mocca yang ia sering pakai di kapal pesiar. Cukup anggun. "Apa kita akan bertemu orang lain?" tanya Ana ingin memastikan. Braven menoleh, ia berkutik dengan ponselnya. "Tidak. Kita banyak mengobrol saja nanti. Sebelum bertemu keluarga dan orang-orang untuk mengumumkan pernikahan kita. Ada baiknya kita mengetahui beberapa hal tentang masing-masing" "Kamu benar. /Tapi, kenapa kamu tidak mau menikah kontrak denganku? Aku ini bukan siapa-siapa dan tidak mempunyai apapun. Jika pada akhirnya kamu akan melepaskan ku, katakan dari sekarang agar aku bersiap" ucap nya dengan tatapan mata yang ringan. Pertanyaan tersebut Braven balas dengan senyuman, seperti nya ia juga belum mempunyai jawaban nya. Ana menghela nafasnya. Mengikuti langkah Braven ke mobil. Dan melakukan perjalanan dengan tenang. Sesekali melihat ke arah tangan Braven di atas setir. Di jari nya melingkar cincin yang sama dengan nya.  Jantung nya berdetak lebih kencang saat memikirkan nya. Sementara Braven tampak tenang seperti biasanya. Sikap nya tentu masih sulit Ana pahami. Terkadang takut jika ternyata Braven adalah orang yang berbahaya atau akan membuat nya hancur suatu saat nanti. ….. Ana merapihkan rambutnya. Makanan mereka telah datang. di tempat VIP dengan kaca besar pemandangan kota. Braven memulai makan malamnya. Begitupun Ana. "Ceritakan sedikit tentang mu" ucap Braven. Ana menatap, "Apa yang bisa ku ceritakan" "Kapal pesiar, mantan pacar?" Braven hanya berbicara asal. Ia hanya ingin menjadi pendengar saat ini. Permintaan itu mendapat helaan nafas berat dari Ana. Ia menyiapkan diri untuk bicara. "Umm.. bagaimana aku memulainya..  // ... aku kehilangan orang tuaku saat lulus sekolah. Bibi merawat ku, dan membiayai sekolah kesenian dengan biaya yang lumayan. Selama 3 tahun mempelajari lebih dalam permainan biola. Akhirnya mentor membawaku ke Paris dan memberikan pekerjaan impian itu. Semuanya baik-baik saja, sampai keadaan mulai tidak nyaman di tahun terakhir kemarin.. banyak pria ingin bermain denganku. Sampai ingin menikahiku jadi istri kedua juga. Akhirnya aku kembali ke Indonesia dan mendapati keadaan bibi yang memburuk. Sampailah aku di Villamu… kurang lebih begitu…" Braven mengangguki setiap cerita Ana. Lalu menuangkan wine ke gelas Ana. "Kamu berpacaran?" tanya nya santai. Ana mengangguk, "Ya. Dia temanku. Lalu kami berpacaran selama 2 tahun lebih. Pergi ke beberapa negara. Dan putus begitu saja" "Ada alasan pribadi mengapa menyetujui ajakan ku menikah?" Sempat memikirkan nya, Ana hanya ingin menjawab jujur saja sekarang. "Ku jawab apa adanya. Kehidupan ku yang lalu cukup melelahkan. Waktu berjalan cukup panjang dan kesepian. Dan tawaran mu cukup membuatku berpikir, tidak ada lagi yang ingin ku cari. Kamu sudah ada. Menikah adalah tujuan terakhir ku.." Braven kembali menatap Ana sambil memainkan gelas wine, "Apa kamu meliht hartaku juga? Apa yang kamu pikirkan tentang itu? Katakan saja.." ucap nya serius. Ana bersusah payah menemukan bahasa yang tidak menimbulkan kesalah pahaman. "Apa kamu mewajarkan, bahwa setiap wanita menyukai kehidupan yang terjamin? Maksudku.. kami lelah bekerja terlalu keras" "Tidak masalah.." jawab Braven enteng. Itu membuat Ana sedikit lega. "Lalu begitulah aku. Jangan salah paham. Aku tidak mempunyai rencana jahat, atau mengincar hartamu. Aku…. hanya ingin hidup nyaman. Menerima apapun yang kamu berikan dan tidak menuntut lebih. Lagi pula pertimbangan ku juga, kamu belum pernah menikah. Yah… ku lakukan saja" Braven tersenyum ringan, ucapan Ana terdengar polos dan putus asa.  "Maka hiduplah dengan nyaman mulai sekarang" ucap Braven. Ana tidak menyangka dengan jawaban itu. "Kamu tidak ingin menjawab pertanyaan ku tadi?" tanya Ana. Braven menjeda waktu menjawab nya. "Aku.. sudah tidak percaya dengan wanita manapun yang datang mendekat dengan tatapan itu" Ana tidak mengerti. "Maksud mu?" "Aku sudah meminta orang untuk menyelidiki latar belakang mu, riwayat perjalanan, riwayat telepon. Dan beberapa hal lainnya.." belum sempat Braven melanjutkan. Ana sudah menyela. "Apa???? kamu menyelidiki ku??" Braven menatap nya tanpa jeda. "Dan semua yang kamu ceritakan benar. Kamu juga tidak ada hubungan nya dengan bibi Pramit. Orang seperti mu lebih tepat menjadi istriku. Cukup itu saja" Braven kembali meneguk wine nya. Ana mengingat hal tentang bibi Pramit. Jane menceritakan lebih saat itu. Bahwa keluarga bibi Pramit berusaha untuk mendekati bahkan menyingkirkan Braven untuk mendapatkan aset dan warisan kebun teh. Ia tidak tau harus menjawab apa lagi. "Pindah lah kesini.." pinta Braven. Ia ingin Ana duduk disampingnya. "Kenapa? Aku disini saja.." "Cepat.." perintah nya lagi. Ana pun berdiri dan pindah. Tangan Braven merangkul punggung Ana dan merapatkan posisi duduknya.  "Bisa geser sedikit? Orang-orang akan memperhatikan.." keluh Ana. "Lihatlah disana.. mereka sedang berciuman" tunjuk nya ke pasangan di ujung. "Tapi kita tidak nyaman.." "Mendekat dan senyum lah. Kita ambil foto berdua pertama di pemandangan malam yang indah ini, Ana" ucap Braven mengeluarkan ponselnya. Ana menarik nafas. Ternyata hanya berfoto. Beberapa kali Braven benar-benar mendekatkan tubuhnya. Menciumnya. Mendekat kan wajah. Bahkan meminta Ana mengecup nya. Tetapi hasil nya tampak seperti pasangan romantis sungguhan. Saat Ana hendak berdiri. Braven menahan tubuhnya dan mencium bibir nya dalam-dalam. Ana bahkan sulit untuk menyingkap dress nya yang sudah seatas lutut. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD