Chapt. 11

1126 Words
"Saya ingin tanya, apakah tuan masih di luar kota?" tanya Ana dalam panggilan teleponnya. Jane menjawab, "Tuan sudah kembali kemarin malam. Bahkan menghadiri pertemuan pagi tadi di perusahaan. Ada yang ingin di sampaikan?" Ana menghela nafasnya, "Tapi semalam, dan sekarang pun belum pulang? Apa masih ada kesibukan?" "Tidak ada urusan yang terlalu penting lagi, nyonya. Tuan sudah bekerja seperti biasa" "Kamu yakin?" "Ya, nyonya" "Apa tuan ada apartemen atau rumah lainnya?" tanya Ana. "Mmm.. anda bisa bisa mengunjungi apartemen tuan. Akan saya berikan alamat dan kunci nya" "Baiklah" Meskipun sudah pukul 23.12 malam. Ana tetap keluar untuk bertemu Braven. Mungkin ia sedang sibuk. Dan Ana bisa memasak atau jika Braven butuh bantuan lainnya. Sebab sudah satu minggu sejak Braven keluar kota untuk perjalanan bisnis. Mereka belum berkomunikasi lagi. Dengan dress berbahan rajut panjang dan outer nya, Ana memilih untuk menyetir sendiri menuju apartemen Braven. Disana pasti ada pakaian kotor. Ia mungkin juga akan membereskan kulkas dan lainnya. Hampir satu jam perjalanan. Ana akhirnya memarkirkan mobil di basement, lalu keluar untuk menaiki lift menuju lantai 19. Ia juga sudah mendapatkan kartu akses yang di titipkan di meja resepsionis. Namun saat berjalan mendekati pintu kamar, seorang wanita keluar sambil membetulkan kemeja nya. Seperti nya sudah ingin pergi. Ana memastikan kembali nomor kamar nya. Dan benar, ini nomor kamar Braven. Saat membuka pintu, terlihat Braven hanya menggunakan baju handuk ikat berwarna putih dan duduk di sofa dengan berbagai minuman alkohol di meja. Bahkan tempat tidur terlihat berantakan tidak karuan. Mereka saling menatap hingga Ana membuang pandangan nya dan masih terdiam.  "Masuklah. Bagaimana kamu tau, aku disini?" tanya Braven biasa, seperti tidak bersalah sama sekali. Perlahan Ana masuk dan menutup pintu. Perasaan nya sudah tidak karuan. Pikiran nya pun kalut karena mengerti melihat suasana kamar tersebut. Meskipun kaki nya tidak sanggup melangkah maju, namun Ana tetap berjalan. Dan berhenti tepat didepan meja. "Kalau sudah menyelesaikan perjalanan bisnis sejak kemarin, kenapa tidak pulang? Kenapa kamu disini dengan wanita?" tanya Ana. Braven membuka bungkus rokok nya dan hendak menyalakan api. Namun Ana berjalan mengambil rokok yang sudah berada di mulut Braven. "Kamu tidak dengar aku bertanya?" Braven melemparkan korek gas ke meja. Ia kesal rokok nya di ambil begitu saja. "Apa kamu datang untuk memarahi ku seperti ini?" tanya nya. "Jawab Braven…" pinta Ana. "Kamu lihat wanita tadi? Kamu pasti memikirkan banyak hal. Yasudah itu jawabannya" Ana mengusap rambutnya kebelakang, "Kamu gila. Bisa-bisa nya melakukan itu padahal aku menunggu mu di Villa?" Braven tersenyum berbalik menuju kamar mandi. "Aku hanya tidur dengan nya, Ana. Tetapi hanya kamu yang aku nikahi. Jangan khawatir.. Ana mengikuti dari belakang, "Tapi itu tidak benar! Kamu sudah menikah mana bisa seenaknya tidur dengan wanita lain??" "Kenapa tidak?? Aku melakukan nya hanya untuk bersenang-senang setelah menghadapi banyak pekerjaan berat!!" bentak Braven melawan Ana. "Bukan begitu caranya, kamu butuh apa? Aku bisa menjadi pendengar yang baik. Aku bisa membantu mu memijt jika kamu lelah, katakan saja.. bukankah itu guna nya aku ada di rumah mu?" ucap Ana melemah.  Meskipun tidak tau apakah ada cinta yang tumbuh, tetapi Ana benar-benar merasa di khianati. Mereka sudah tidur bersama beberapa kali. Dan sekarang Braven tidur dengan wanita lain. Ia merasa tidak terima. "Jangan banyak bicara, Ana!! Kamu tidak tau isi pikiran dan beban ku. Semua pria melakukan hal ini, jadi kamu jangan terlalu memaksakan kemauan. Lagi pula jangan terlalu ikut campur… lebih baik kamu pulang sekarang!! Aku lelah.." ucap nya dengan nada tinggi dan kejam. Mata Ana memerah melihat amarah Braven. "Benar, kamu bisa melakukan apapun yang kamu mau. Panggil saja lagi wanita-wanita diluar sana!" kesal Ana dengan suara bergetar. Ia menyampar botol wine dengan tas nya hingga pecah di lantai dan menimbulkan suara keras. Hal itu membuat Braven mengusap wajah nya frustasi. Andai Ana mengerti, tidur bersama wanita panggilan bukanlah apa-apa bagi nya. Bukan kah yang terpenting mereka sudah menikah? Dan semua Kebutuhan Ana terjamin? Braven hanya diam melihat Ana berjalan keluar sambil menangis. Suara heels nya bahkan masih terdengar saat pintu sudah kembali tertutup. "Keterlaluan kamu Braven.. tidak punya hati.." kesal Ana menangisi apa yang ia lihat.  Tengah malam ia menyetir kembali pulang. Namun di perjalanan ia berbelok ke parkiran taman dekat danau. Ada beberapa mobil lainnya disana. Ia berhenti tetapi tetap di dalam mobil. Memukul setir bahkan meluapkan sesaknya. Ia terlalu berharap tinggi dan berekspresi bahwa pernikahan ini bisa seperti pada umum nya. Tetapi ia harus sadar, bahwa Braven bukan lah orang biasa. Harusnya ia juga sadar bahwa Braven memiliki hak untuk melakukan apapun sesuka nya. Tetapi dengan alasan pernikahan ia menjadi begitu tidak terima. Itu membuat hati dan pikirannya berbenturan keras. ……….. Dengan wajah masih sembab dan polos tanpa make up. Ana kembali di pagi hari, berjalan masuk dengan ekspresi datar nya. Harusnya ia melepaskan heels nya di bawah tangga dan menaruhnya di rak. Tapi ia berjalan begitu saja menaiki anak tangga hingga masuk ke kamar dengan heels mengetuk lantai. Saat pintu terbuka, Braven sudah dengan pakaian rapih sedang menelepon didekat jendela. Namun mata nya terus melihatnya Ana masuk. Ana melihat Braven. Tapi tidak memperdulikan nya. Ia duduk di sofa dan melepaskan heels perlahan. Kemudian mencharger ponsel lalu masuk ke kamar mandi. Tidak lama kemudian Ana keluar dengan handuk piyama. Dan rambut yang masih basah menetes. Braven memakai dasi nya, "Apa yang kamu khawatirkan?"  Ana sedang dalam mood yang hancur, ia memakai body lotion nya tanpa menjawab pertanyaan Braven. "Ku bilang kamu adalah istriku satu-satunya. Dan mereka tidak akan menganggumu.." "Mereka~~ " gumam Ana dengan sedikit tersenyum saat menunduk. Beraninya dia mengatakan 'mereka'. Suara tersebut dapat Braven dengar, "Kamu ini terlalu naif. Aku tidak bisa menyamai mu, Ana. Hey.. lihat mata ku disini" perintah nya. Ana menoleh dengan tatapan sedih, "Yasudah …" ucap nya putus asa. "Jangan begitu lagi" singkat Braven lalu keluar dari kamar. Air matanya nya kembali mentes sambil melihat cermin. Kenapa ia menangis untuk pria seperti Braven! ……….. Braven kembali tepat saat jam makan malam. Di meja sudah siap beberapa makanan. Dan pintu samping terbuka. Sepertinya Ana sedang mengantar kan makanan ke kamar pekerja di belakang. Namun ditunggu 15 menit, Ana tidak kunjung kembali. Braven memanggil Ana berteriak dari pintu. "Ana!!!...Cepat kembali!" panggil nya beberapa kali. Tukang kebun mendatangi nya, "Maaf tuan, tadi nyonya mengantar kan makanan kepada kami lalu seperti nya langsung kembali ke kamar" "Kamu melihat nya?" "Ya tuan. Tadi saya habis membuat kopi di dapur" Braven langsung naik dan mencari Ana di kamar. Dan benar saja, Ana sudah dengan piyama tidur. Sedang membereskan pakaian di ruang gantinya. "Hey.. ini waktunya makan malam" "Kalau begitu makan malam saja.." jawab Ana tanpa menengok. Sibuk melipat baju. "Bagaimana denganmu? Apa kamu marah sampai tidak ingin makan??" tanya nya dingin. Terdengar suara lemari menutup, "Aku sudah" Mendengar jawaba itu, Braven mendekat. "Berhenti bersikap seperti ini, Ana!! Kamu hanya membuat ku semakin lelah" bentak Braven. "Yausudah, panggil saja wanita lagi. Kenapa kamu memusingkan sikapku?" keluh Ana. Braven semakin frustasi melihat sikap Ana. Ia memukul lemari dengan keras lalu keluar menuju ruang kerjanya. Ia hanya masih belum terbiasa ada yang membatasi. Sebelumnya ia bebas melakukan apapun dan tidak ada yang menegur ataupun marah. Villa ini dulu juga sangat tenang. Braven belum bisa menerima perubahan tersebut. Entah bagaimana meredakan amarahnya, ia memilih untuk mengerjakan sesuatu di laptopnya tanpa makan malam. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD