Rencana Aneh.

1001 Words
Sebuah butik? Aku menatap tak percaya pada butik yang terletak di jalanan Avenue street. Dia menarikku masuk dan menyuruh beberapa pelayan menunjukkan beberapa busana cantik elegan untuk aku kenakan. Lalu semua di percantik dengan anting lingkaran bersar dihiasi berlian kecil karya Tiffany & co. Jimmy co senada juga sudah menungguku. "Apa ini Willy? Kau ingin membayar sewa apartemen dengan memberikan satu set pakaian mahal beserta perhiasan ini? " tanyaku. Matanya yang dingin menatapku. Itu menimbulkan reaksi tidak nyaman karena ada sesuatu di bawah sana yang basah. Ini berlebihan tapi aku tidak bisa mengendalikan reaksi tubuhku saat mata gelap cantik dan tajam itu melihatku. Apalagi aku memiliki predikat perawan mengenaskan. Willy terdiam. Matanya menatapku dengan emosi yang asing." Aku ingin kau membantuku. " Nah kan. Mana mungkin dia tiba-tiba mengajakku ke sini jika tidak memiliki tujuan. Sudah jarang manusia memiliki sifat baik hati tanpa pamrih di jaman ini. "Caranya? " Mata gelapnya kembali menatap mataku. "Menemui keluargaku dan mengaku sebagai kekasihku. " Ya ampun. Aku ingin tertawa, ternyata dia tidak tahan dibuang dari keluarganya. Tentu saja, Willy pasti selama ini dibesarkan dalam kemewahan. Dia tidak akan sanggup hidup miskin. "Kau yakin mereka tidak curiga? Keluargamu memiliki kekayaan mengerikan yang bisa memengaruhi roda perekonomian, jadi apa kau yakin jika bisa mengelabui mereka? " tanyaku sinis. "Kau memiliki nama Helle. Itu cukup membuat mereka senang karena aku berhubungan dengan wanita yang berkelas. Mereka pasti mengira jika aku tidak akan main-main dengan keluarga Helle. " Cukup masuk akal, ibuku adalah singa betina jika marah. Sosialita sekaligus pembisnis yang ulung. Jelas Willy akan kesulitan jika dia bermain-main denganku. "Baiklah, lalu apa keuntunganku?" "Kau boleh memegang kartu kredit ini," ucap Willy. Aku melotot. Wow, Blackcard super platinum. Aku hampir klimaks. "Baiklah. " Jelas tidak ada bantahan demi kartu kredit ini. Willy tersenyum tipis. Aku ulangi, amat sangat tipis sekali. Aku hanya melihat lekungan bibirnya naik sedikit. Dia mengajakku menaiki Aston Martin, dan ini membuatku bertanya apakah pria ini benar-benar tidak bisa menyewa apartemen. Semua menjadi tanda tanyaku. "Biar kuperjelas, " ucapku dalam mobil untuk menarik perhatiannya. "Jadi aku bisa melakukan apapun agar kita terlihat seperti pasangan, benar? " "Ya. " "Baiklah, kuharap kau tidak menyesali ucapanmu. " "..." Kami masuk di kawasan Meadow line.Sudah kuduga kami bertetangga. Beberapa ratus meter dari kediaman keluarga Burgen adalah villa ibuku. Disana dia tinggal bersama suami hyper-nya. Mereka pasangan cocok. Sama-sama gila penampilan dan seks. Gerbang ganda berukir singa terbuka. Pelayan segera menyambut kami dan mengantarkan ke gazebo yang bergaya jaman pertengahan. Ada banyak bunga, kolam air terjun, rumput hijau dan pohon palem yang ditata apik. Persiapan mereka seperti menyambut tamu terhormat meski terlihat santai. Aku tidak bisa meremehkan protokol keluarga atas seperti mereka. Sebab aku meyakini jika sikap mereka seperti ibuku ketika tamunya melakukan sesuatu yang tidak pada tempatnya. "Kau beruntung memilihku untuk menjadi kekasih palsumu. Akan banyak gadis yang pingsan hanya karena berkenalan secara resmi dengan orang tuamu, " bisikku pada Willy. Meski demikian aku menyunggingkan senyum sopan dengan kepala tegak dan punggung lurus. Sesuatu yang kami pelajari tentang etika sejak dini sebelum debut. "Aku, makanya pilihanmu jatuh padamu. " Marry Burgen menyambut kami dengan hangat. Sikapnya jauh berbeda dengan tuan Burgen yang tenang dan dingin. Kini aku tau dari mana sifat dingin Willy berasal. Dengan pakaian santai yang terbuat dari katun berbunga, nyonya Burgen meraih bahuku. Dia memperhatikanku dari bawah ke atas. Mengamatinya dengan matanya yang indah. "Oh sayang, aku hampir merasa tidak percaya jika kau memperkenalkan nona Helle sebagai kekasihmu, " "Aku mencari waktu terbaik, Bu. " Ada nada sayang pada ucapan Willy. Meski wajahnya masih datar dan menjawab sesuai kebutuhan. Mungkin karena yang berbicara adalah ibunya jadi ia memperlakukan ibunya sebaik mungkin. "Senang bertemu denganmu, Nyonya, " sapaku sopan. Aku tidak boleh gagal demi kartu kredit hitam yang menanti. Embargo dari ibuku membuatku terpaksa melakukan hal ini. "Oh sayang, aku merasa ini keajaiban. Ayo, ikut aku menemui Sam," ajak Ibu Marry. Matanya berkilau seolah sangat bahagia dengan begini aku yakin jika kami berhasil meyakinkan ibu Marry. Aku mengikuti ibu Willy ke arah gazebo. Kami kemudian beramah tamah, mengobrol dengan santai. Ayah Willy bukan orang yang humoris. Dan Willy sama kakunya. Untungnya aku bisa mengatasi dengan baik. Dan masalah ternyata tidak berhenti di situ. Nyonya Marry menyuruh kami menginap dan aku tahu alasan Nyonya Marry meminta hal itu. Kurasa mereka ingin menyelidiki apakah kami hanya pura - pura atau tidak. Mereka pun meninggalkan kami sendirian di Gazebo taman. Aku jelas mengira jika mereka masih curiga dengan statusku dan orientasi seksual Willy. Tentu saja, di saat mereka tau jika anak mereka gay tapi tiba- tiba membawa seorang gadis, siapapun akan curiga. Memang wajar meragukan hal tersebut sebab tidak akan ada orang yang dengan mudah percaya jika anaknya normal setelah pergi dari rumah demi pasangan gaynya. "Willy... Kau bisa menebak apa yang aku pikirkan? " tanyaku. Aku diam - diam melirik ke arah mereka berdua yang nampak mengawasi kami. "Ya. Mereka masih mencurigaiku, " jawab Willy sebal. Dia mendadak mody, padahal ini bukan waktu yang tepat untuk bad mood. Kami harus melakukan sesuatu agar mereka percaya dan diperlukan bokis seksi Willy untuk bereaksi agar mereka percaya. "Bagus jika kau tahu. " Willy terdiam. Dia terlihat frustrasi dengan masalah yang aku anggap sepele ini. Akupun berbaik hati memberinya ide. Demi kartu kredit hitamnya aku rela mengorbankan bibirku yang cantik. "Kenapa kau bingung. Masalah ini tidak rumit sama sekali. Kau hanya harus bersikap seperti seorang kekasih, Willy. Anggap aku kekasihmu," ucapku. Willy meliriku dengan antusias. "Bagaimana caranya? " tanya Willy. Aku menyeringai. 'Selamat, Willy. Kau sukses menjadi jalangku, hihihi. " "Jangan menolak dan ikuti alur yang aku buat. Kau harus tersenyum dan bersikap nakal agar keluargamu percaya." Aku mulai mendekatkan tubuhku pada Willy. Lalu aku mendekatkan wajahku dan kami berciuman. Awalnya aku hanya menempelkan bibir saja, tidak lebih karena aku tidak mau Willy kabur. Hebatnya dia membalas ciumanku dengan baik. Dia memperlihatkan teknik yang bahkan tidak aku kuasai. Di saat aku mengira ini hanya ciuman biasa aja, justru berubah menjadi sangat manis. Aku bahkan mulai ragu jika pria ini gay. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD