Acting Natural

1550 Words
Aku terus menempelkan bibirku pada bibir Willy, mencoba menggoda Willy dengan tetap menempelkan bibirku tanpa menghisap bibir Willy yang lembut. Oh ternyata lebih lembut dari yang aku kira. Demi Tuhan aku ingin menggigitnya. Bisakan? Sedikit saja, cuma incip-incip doank. Kan sayang sekali pria se-hot ini memiliki orientasi seksual yang menyimpang dan dianggurin. Rasanya jadi ingin kumenangis. Sejujurnya aku sedikit penasaran, benarkah dia ini gay? Karena ternyata reaksi yang aku kira tidak akan terjadi malah terwujud. Willy justru melumat bibirku. Dengan serakah lagi. Ingat, Willy yang memulai, bukan aku. Dia dengan piawai memainkan lidahnya untuk menelusup masuk ke mulutku dan menggoda lidahku. Kami pun berperang untuk membuktikan lidah siapa yang k.o. Ha, ha, ha sungguh diluar dugaan. Aku bahkan bisa mencium aroma mint dari nafasnya. Mendengar erangannya. Merasakan, eh tunggu dulu kenapa ada sesuatu yang keras menekan perutku. 'Om my God. Oh my God. Tolong hambamu dari siksaan terindah ini. Dia mengeras. Apa kalian dengar? Dia mengeras. Bukankah dia gay? ' 'Hiks aku akan terharu jika pria gay kembali lurus karena aku.' 'Seluruh leluhurnya pasti juga akan bangkit dari kubur untuk berterima kasih padaku.' Oh lupakan khayalah tingkat dewaku. Baiklah, sebagai seseorang yang kelaparan akibat status jomblo kurang belaian yang selama ini aku sandang, jelas aku harus menghargai Willy yang membuang status gay-nya hanya untuk berakting denganku. Aku harus sangat-sangat menghargainya dengan berakting senatural mungkin. Dengan menyamankan posisiku. Kakiku berjinjit dan tanganku melingkar ke arah lehernya, lalu menekannya sedikit agar memperdalam ciuman kami. Nah kan, aku bertingkah natural kan. Willy harus berterima kasih padaku karena amat rela berakting seperti itu. Jangan bilang aku m***m. Yang aku lakukan ini adalah menyelam sambil minum air. Lagi pula sayang jika Willy diangurkan. Membiarkan pria tampan, hot menganggur adalah agenda terakhir dalam hidupku. Lama kelamaan aku tidak lagi perduli pada skenario ini. Ciuman kami menjadi begitu dalam nan penuh perasaan. Getaran yang manis menelusup ke seluruh tubuh hingga tercipta suasana merah muda. Aku merasakan nafas kami melebur bersama cecapan gairah. 'Tidak!' Sesaat kemudian aku tersentak. Meski amat sangat menginginkannya, semua ini tidak boleh berlanjut. Aku harus menghentikannya agar tidak terlalu terbawa suasana. Aku harus fokus pada tujuan awal kami. Lihat saja keluarga Burgen yang diam-diam mengintip kami. Mereka jelas memperhatikan interaksi putra mereka dengan kekasih normalnya, jadi disini aku memainkan kisah muda mudi yang terbakar gairah. Tapi tidak boleh benar-benar terbakar atau aku bisa mati konyol karena mengharapkan cinta pria gay. Nasibku akan mengenaskan jika itu terjadi. Cup. Cup. Oh si*l, dia good kisser. Maunya berhenti malah terus berlanjut. Aku pun menarik bibirku karena sudah terengah-engah. Tidak membiarkan Willy yang terus menyedot bibirku seperti lintah. Ya ampun sulit sekali menarik bibirku. Aku sampai harus menahan bibir Willy dengan tangan agar tidak nyosor terus. "Willy lihat di jam 5, kedua orang tuamu memperhatikan kita, " bisikku pada Willy di sela aku mengambil nafas. Willy melirik mengikuti arah lirikanku. Memang tuan Burgen dan istrinya mengintip kami dari balik balkon lantai dua mansionnya. Mungkin mereka mengira kami tidak akan menyadarinya karena ada air mancur yang berada di antara balkon tempat mereka mengintip dan tempat kami berciuman. Sejujurnya itu tidak sopan, tapi aku memakluminya karena tahu mereka mengkhawatirkan orientasi seksual putra mereka. "..." Seperti biasa dia hanya diam karena memang pendiam, memangnya apa yang aku harapkan dari pria irit bicara. Namun sesuatu menarik perhatianku, aku bisa merasakan sesuatu yang tadi mengeras di balik celananya, semakin mengeras. Mulutku menganga lebar, mataku menyiput, dan senyum licik tercipta di bibirku. Ini membuatku bersemangat. "Baiklah Will, kau siap aku perkosa. Oh maksudku siap bersandiwara lebih panas lagi?" Tanyaku tanpa tahu malu. Seharusnya aku jangan terlalu jujur. Tanpa menunggu jawaban Willy aku merebahkan tubuhnya di kursi panjang beralas kulit buaya. Lalu menaiki perut berotot rapi dan kembali menciumnya. Yang menyenangkan, Willy sama sekali tidak melawan, pasrah padaku yang menjadi predator m***m. Kau memang my bicth Willy hohoho. Terkutuklah aku. Eh...? Sesuatu bergerak-gerak dipantatku. Aku melepaskan ciuman untuk melihat apa yang bergerak di b****g indahku. Tak sesuai perkiraan, ternyata Willy tidak pasif. Benda yang bergerak-gerak di p****t indahku adalah tangan Willy. Tangannya turut beraksi, dan yang menjadi sasarannya adalah pantatku yang cantik. Oh tidak, tangannya yang besar membelai pantatku sementara jari telunjuk dan jempolnya membelai pinggiran celana dalamku. Ini gawat. Aku terbakar dengan api permainan yang aku lakukan. Tubuhku menegang dan berkeringat dingin. "Gadis pintar, " bisik Willy seksi di telingaku. Bulu kudukku merinding. Aku menarik wajahku darinya. Tapi ia menahan tubuhku dan membalik posisi tubuhnya. Kini aku yang berada di bawah. Hei apa yang terjadi pada alur cerita yang aku buat. Mengapa jalangku sekarang menjadi buas. Willy tersenyum berbahaya padaku. Jari-jarinya menelusuri pipiku. Menatap penuh kebutuhan pada setiap inci yang ia lihat dariku. Aku semakin gugup. Jantungku terus memukul dinding dadaku hingga serasa menyakitkan. Aku takut dia tidak ingat jika ini hanya akting semata. "Wi-Willy, ingat kita se-sedang berakting, " ucapku gagap. Sudut bibir Willy miring ke atas. Dengan mata penuh percaya diri dia menatapku. "Aku akan menunjukkan padamu akting yang sempurna. " Tubuhku kemudian melayang. Willy membawaku entah kemana dan aku terlalu shok untuk bertanya. Normal Pov. Kedua orang yang mengamati Willy memiliki reaksi yang berbeda. Marry yang merupakan ibu Willy tersenyum lebar. Sedangkan Sam, ayah dari William menatap mereka penuh rasa curiga. Dia bukan orang yang mudah percaya pada seseorang. Apalagi putranya yang gay. "Kau lihat itu Sam. Mereka menuju kamar Willy. Ternyata Anne benar-benar kekasih Willy! " pekik Marry. Dia hampir melompat kegirangan melihat putranya akan melakukan sesuatu pada Anne. Harapannya memiliki cucu untuk meneruskan darah keturunan keluarga bangsawan burgen nampak di depan mata. Sam tidak terlalu antusias akan hal itu. "Marry, kuharap kau tidak terlalu berharap. Saat kau memberitahuku jika William membawa pacarnya yang bernama Anne Helle, aku sudah menyelidiki jika itu bohong. Anne baru datang dari Seattle. Tidak mungkin gadis yang baru benerapa hari dari Seattle bisa menjalin hubungan seserius itu." Sam meninggalkan balkon untuk duduk di sofa bed yang berada di balik pintu kaca yang memisahkan balkon dengan bagian dalam ruangan. Tidak ingin berdebat dengan istrinya karena tidak ada yang diuntungkan dari perdebatan itu. Marry cemberut atas apa yang suaminya ucapkan, dia kemudian mengikuti suaminya dan duduk di paha Sam. "Hei, itu tidak bisa menjadi alasan jika Willy berbohong. Mereka mungkin melakukan hubungan long distance." Sejujurnya Marry tidak perduli apakah William berbohong atau tidak. Yang terpenting adalah pewaris. "Ya, kau menang." Sam meletakkan kecamatanya. Dia memang lemah pada istrinya yang manja dan cantik di usia yang sudah sangat matang. "Kuharap demikian sebab hingga saat ini dia masih tinggal bersama Wilson." Marry menarik nafas panjang. Orientasi seksual putranya seolah menjadi kutukan bagi keluarga Burgen yang terhormat. Dia bangkit dari paha suaminya, bertekad untuk membuktikan sendiri jika Willy sudah berubah. "Aku harus memeriksa mereka. " "Marry, itu tidak sopan." "Bearti aku tinggal minta maaf." Marry dengan langkah riang menuju ke kamar William. ... Sementara itu. Di kamar William Burgen, pria itu menaruh Anne di ranjang dengan sikap yang sedikit menggoda. Anne tidak memiliki kecurigaan sama sekali sampai William datang ke arahnya dengan sebuah borgol bulu. Tak lama kemudian Anne sudah terikat di ranjang. Sedangkan Willy membawa bulu burung di tangannya. Anne yang tadinya diam-diam mengagumi kamar William yang bersih, berbalik curiga dengan bulu burung yang Willy pegang. "Saatnya memulai skenario agar lebih meyakinkan. Ayo berteriak yang keras, " perintah William yang menyeringai sadis. "Apa maksudmu?" Pertanyaan Anne dijawab dengan perbuatan Willy yang menyapukan bulu itu pada kaki Anne. Membuat gadis itu menjerit, tertawa sambil minta ampun. Siksaan manis Willy membuat Anne menggeleng dan berteriak minta ampun. "Kyaa hahaha ampun, ampun Willy. Hahaaha... Ya ampun." Teriakan Anne itu justru membuat Marry bahagia. Dia membayangkan jika putranya begitu ganas hingga gadis keluarga Helle itu meminta ampun. 'Willy seharusnya kau pelan-pelan. Tapi bohong. Ayo nak. Gas terus,' batin Marry menberi semangat. Para pelayan yang bekerja di sana membeku dan merasa malu dengan suara Anne. Gadis itu tidak menahan jeritannya sama sekali. Namun mereka bersikap seolah tidak mendengar apapun. Terutama ada ada ratu Burgen yang melotot ke arah mereka. Yang mereka tidak tahu jika Anne hampir mati karena kelelahan. Tidak ada yang tau jika dalam hati, Marry memberi semangat pada William. Andai bisa, Marry pasti akan mengibarkan poster untuk memberi semangat putranya. 'Ayo Willy, buat cucu yang banyak ohohoho. ' Marry meninggalkan kamar William dengan tenang. Senyumnya melebar, matanya berbinar. Dia seolah tahu jika impiannya akan menjadi kenyataan. Sambil menyiapkan makan malam, Marry membayangkan cucu-cucunya bermain-main di mansion yang tampak tak bernyawa ini. Di usianya, dia seharusnya melihat cucu-cucunya yang berlarian. Dan putus asa ketika putranya menyatakan dirinya gay. Kekhawatiran menyelimuti dirinya karena takut keturunan keluarga Burgen terputus. Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD