Aku menghampiri mereka dengan senyum paksaan yang memperihantinkan. Tetapi mereka tidak ada yang menyadarinya. Semuanya menunjukkan kekaguman dan mungkin iri. Aku tidak merasa tersanjung berkencan dengan pria yang mereka kagumi dan menginginkan. Jika mereka mau dan tak apa menggantikanku terjebak dalam masalah ini aku akan sangat berterima kasih.
"Aku tidak percaya kau berkencan dengan Tristan. Dia benar-benar Tristan pria kaya raya itu."
Perkataan Brenda membuatku terkejut. Dia tahu siapa Tristan, apa dia tahu Tristan juga seorang mafia.
"Kau tahu siapa Tristan?."aku bertanya. Merasa waspada dan sedikit takut.
"Aku heran kenapa kau tidak tahu."ucap Brenda lalu disusul kehebohan dari Emily.
"Jadi namanya Tristan, pria itu.. wah.. Ana kau harus berterima kasih padaku karena meninggalkanmu sendirian di Bar itu. Membuat kalian dekat."Perkataan Emily membuat ku tersenyum sinis, terima kasih dia bilang. Terima kasih untuk membuatku dalam masalah dan terlibat pada hubungan konyol ini. Terima kasih karena membuat myawaku tergadai, yang benar saja. Emily minta ku hajar. Aku tidak akan lupa untuk kali ini, aku harus segera mendaftar kelas yoga. Aku butuh melatih pernapasan dan menenangkan pikiran. Banyak sekali hal-hal yang memicuku memiliki penyakit darah tinggi. Aku tidak mau mati muda dan menempati peti mati yang Tristan berikan lebih cepat, karena itu buat nenekku bukan aku.
Ketika berada di dalam lift sampai di ruang kerja tidak ada hal lain yang kami bicarakan selain tentang hubunganku dengan Tristan. Emily mendadak menjadi jubir pribadiku secara sukarela tanpa bayaran, dia hanya melihatku di bar berdekatan dengan Tristan, hanya beberapa menit tetapi seolah sangat tahu riwayat pendekatan kami cukup lama. Aku mengabaikannya dan tak beniat untuk menggantikannya berbicara, Tristan bilang penting kabar hubungan ini di antara teman-teman ku. Walau sesungguhnya aku sangat keberatan.
Aku tidak mau ikut berpartisipasi dalam kebohongan ini lebih jauh. Aku tidak mengiyakan apa yang mereka tanyakan dan memilih untuk diam dan mengalihkan topik pembicaraan. Aku benci kebohongan tapi kini aku melakukannya dengan hebat. Aku tidak bisa berakting seolah aku memiliki pacar yang hebat, peran yang ku mainkan adalah wanita pendiam yang tidak suka mengumbar kisah percintaannya. Aku harap tidak mencolok, aku tidak suka memberikan keterangan tentang kebohongan.
"Ana kau bisa membujuk Tristan untuk hotelnya."Aku mengerutkan kening, menatap Gavin dengan ekspresi kebingungan. Kenapa Tristan.
"Apa maksudmu!."
"Kekasihmu adalah pemilik hotel Equinox apa kau tidak tahu?!."Aku mengerjapkan mataku, kebingungan. Aku rasa bukan gagasan yang bagus. Perasaanku tidak enak ketika Gavin membawa nama Tristan dalam urusan pekerjaan. Apalagi dia adalah pemilik hotel itu. Aku terkejut, dia benar sekaya itu benar-benar seorang pembisnis. Bukan hanya seorang mafia keji.
"Aku tidak pernah bertanya tentang Asset miliknya. Itu bukan urusanku."aku membela diri. Jika ini hubungan nyata, aku juga tidak akan bertanya sejauh itu tentang kepemilikan Asset kekasihku.
"Ini urusanmu sekarang karena menyangkut tentang pekerjaan. Dia kekasihmu, kita memiliki koneksi. Kau bisa memintanya untuk penyewaan hotel. Dia pasti akan menyetujuinya. Kau adalah kekasihnya."
"Aku meragukan hal itu. Hotel itu memiliki prosedurnya sendiri, hubungan kami di luar konteks itu. Aku tidak bisa melakukannya!."Aku menolak. Walau sedikit tertarik mengingat p********n 3x lipat yang pria tua itu katakan.
"Kau akan memdapatkan komisi besar jika bisa. Tidak ada salahnya untuk mencoba bukan!."
Aku benci Gavin karena dia tahu apa yang sulit aku tolak dalam penawaran ini. Aku benci merasa kebingungan tentang penawaran yang sangat menarik dan sulit untuk ditolak. Tetapi aku akan berhadapan dengan Tristan. Sulit untuk melakukan negosiasi dengannya, sejauh ini tidak ada yang behasil jika mendebatkan sesuatu. Mungkin ada benarnya. Aku harus mencoba, bisa saja Tristan merasa sedikit iba dan membantuku untuk mengisi jadwal bagi Richard untuk menikah. Aku akan untung besar. Masa iya dia tidak mau membantuku.
**
"Tidak mau."
Ini memang tidak akan mudah, aku menatapnya walau dengan eskpresi memelas di wajahku, sepertinya dia tetap tidak akan mau. Tristan terlalu fokus pada makanannya sementara aku kehilangan selera makan, di kepalaku beputar banyak cara untuk dicoba namun sepertinya kemungkinan keberhasilannya hanya 20%.
"Kau jahat sekali."aku tidak bisa menahan untuk tidak menggerutu. Tristan mendongak, mengalihkan perhatiannya untuk menatapku.
"Aku memiliki orang-orang yang mengurus hal itu. Kau bisa ajukan dan bernegosiasi dengannya. Itu bukan ranahku untuk mengurusnya."
"Tapi kau pemiliknya. Jika kau berkata ijinkan pernikahan atas nama Richard di Equinot pada bulan besok sesuai dengan permintaan nona Wren dari EO .."ucapan ku terhenti ketika Tristan mengeluarkan ponselnya dan berkata.
"Kirimkan salinan hardcopynya padaku, taruh saja di meja dan berikan note. Pisahkan jangan taruh bersama aku ingin melihatnya lebih dulu."seseorang meneleponnya dan membuat pembicaraan ini terhenti. Aku menyandarkan punggungku di kursi, melirik makan malam tanpa minat.
Pekerjaan selalu membuatku tak mengingat makanan, aku memerhatikan Tristan yang masih sibuk menelepon seseorang, beberapa kali dia akan memerhatikanku lalu beralih menatap ke arah lain. Dia sangat sibuk, aku sering melihatnya menelepon perihal tentang pekerjaan. Diam-diam merasa penasaran bagaimana ia menjalin kasih jika sesibuk itu. Semua temanku bergosip tentangnya, beberapa dari mereka tak pernah mendengar jika Tristan berkencan, hal ini membuatku semakin penasaran.
"Apa kau Gay?."pertanyaanku menghentikan perkataannya, pergerakan tangannya di ponselnya terhenti. Ia memandangku dengan ekspresi terkejut. Apa pertanyaan ini menyinggungnya!.
"Tidak. Hanya tidak berminat untuk menjalin kasih."
Aku mengangguk-anggukan kepala seolah mengerti. Dia bukan sepertiku yang bisa mengatakan hal-hal pribadi sesensitif itu. Aku mengerti..
Dia pasti seperti Gavin yang suka menjaga image.
"Kau bisa mengatakan nya padaku! Aku pandai menjaga rahasia."
Aku mencondongkan tubuh, berbicara dengan suara berbisik. Tidak ingin pembantu rumahnya atau siapapun di sini yang bisa mendengar pembicaraan kami. Aku pandai menjaga rahasia walau aku suka menceritakan sisi diriku. Aku tidak menganggap sisi diriku rahasia jika itu rahasia aku tidak akan berkata pada siapapun.
"Aku tidak Gay nona Wren."
"Begitukah!."aku menarik diri, memerhatikannya dengan sebelah alis menyerngit. Aku tidak mempercayainya. Tristan seperti pria casanova, jika dia tidak gay dia pasti suka menghabiskan waktu di luar. PUB dengan para wanita hanya sebatas hubungan semalam, tanpa komitmen karena dia bukan pria yang suka terikat pada hubungan pernikahan.
"Lucu sekali. Kau membicarakan sexsualitasku! Apa kau tersinggung karena aku berkata kau tidak boleh berdekatan dengan pria lain dulu."Aku tersinggung sekarang, tapi bukan karena larangannya tapi perkataannya sekarang.
"Apa kau menyindirku! Aku bukan wanita liar yang tidur dengan sembarangan pria. Aku hanya ingin menjalin hubungan."
"Kita sedang melakukannya sekarang."
"Wuooohhh... entah kenapa aku tidak suka gagasan ini. Ini paksaan kau ingat. Kau menyandraku dan membuatku tidak bisa menolak karena takut di bunuh. Betapa malangnya aku terjebak di sini bersama seorang mafia."aku meliriknya, menatapnya sediki takut dari balik bulu mata. Melihat reaksinya atas apa yang baru saja ku katakan. Tempat duduk ini jadi terasa tidak nyaman, aku berdehem lalu minum segelas air yang berada di sebelah piringku.
"Anggap saja aku demikian. Habiskan makananmu."
"Ayolah Tristan, aku sudah mengungumkan pada dunia jika kita berkencan, aku ke Equinot tadi dan mereka tahu aku adalah kekasihmu. Kau juga sudah menyeretku ke dalam hot topic pergosipan rekan-rekan kerjaku tentang hubungan kita. Kalau kau tidak membantuku tentang ini, kau akan membahayakan posisiku di kantor."
"Itu bukan urusanku."lagi-lagi dia menolak.
"Apa yang kau inginkan? Aku akan menurutinya asalkan tolong aku untuk masalah ini. Kali ini saja Tristan. Aku tahu kau pria baik."Aku memengepalkan tanganku memohon, di atas meja dengan mata terpejam. Berharap hatinya tersentuh sedikit saja dengan kesungguhan. Tidak ada sahutan benerapa detik aku mempertahankan posisi ini. Terlalu penasaran aku mengintip, sedikit membuka sebelah mata kananku untuk melihat apa reaksinya terhadapku.
Dia bersandar pada punggung kursi, melipat kedua tangannya di depan d**a, menatapku dengan senyum mengejek yang sangat menyebalkan. Aku membuka mataku, mengubah posisi tangan sepertinya. Apa dia sudah berubah pikiran, melihat senyuman mengejeknya membuatku tidak yakin.
"Kau yakin mengatakan aku pria baik!,"ucapannya membuatku tidak yakin. Aku memang tidak bersungguh-sungguh. Yang jelas bagi Tristan adalah dia pria yang menyeramkan. Dia mencondongkan tubuhnya ke arahku dan berbisik. "Kau harus menilai lebih dalam nona Wren. Aku tidak sebaik itu."
Dia memang mafia, berkata seperti itu seolah mengisyaratkan ada kekejaman dalam dirinya yang belum ku lihat. Dia beranjak berdiri, meninggalkanku pergi menuju ruang kerjanya. Kepergiannya membuatku menghela nafas, di tatap dengan ekspresi sedingin itu membuatku menahan nafas untuk beberapa saat. Aku tidak mengenal baik Tristan.
"Kau akan membantuku tentang Equinot kan?."aku sedikit berteriak, mengingatkannya lagi sebelum ia menghilang di balik pintu.
"Tidak."
"Hebat. Dia pelit sekali."
**
"Bagaimana dengan Equinot?."
Pergerakan tanganku di atas papan keyboard terhenti, perlahan-lahan mendongak untuk melihat Gavin yang kini berdiri di depan meja kerjaku. Dia menagih jawaban, aku tidak bisa memberikan apapun karena tak memiliki jawaban yang dia inginkan. Bukannya berkata tidak, aku malah meminta waktu lebih.
"Beri aku waktu, dia terlalu sibuk untuk berdiskusi. Tapi kau bisa menelepon Equinot untuk mengajukan permintaan, aku akan minta bantuan Tristan untuk menyetujuinya."aku tersenyum lebar, menutupi kegugupanku tentang jawaban Tristan yang jelas-jelas sudah menolak mentah-mentah permohonanku.
"Baiklah. Ku tunggu 3 hari. Aku harap bukan jawaban yang mengecewakan."
Wajahku mengerut khawatir ketika Gavin pergi meninggalkan mejaku. Bagaimana caranya membuat pria itu menuruti permintaanku. Apa yang mafia sukai, aku tidak bisa mengenyanhkan pikiranku jika dia adalah seorang mafia. Apalagi perkataannya tadi malam seolah menjadi sebuah peringatan masih terasa segar di ingatanku.
'Kau harus menilai lebih dalam nona Wren. Aku tidak baik itu.'
Tubuhku bergidik ngeri. Lalu tersadar dengan sekelilingku ketika Rachel menaruh selembar undangan di atas meja ku. Sebuah undangan pernikahan ia dan Ben. Pria yang ia pacari selama 3 tahun akhirnya memintanya untuk menjadi istrinya. Aku masih ingat bagaimana kegalauan mereka berdua. Tidak menyangka akan berjalan sejauh ini.
"Kau akan tunangan?."aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan ku. Wanita yang seumuran denganku hanya tinggal aku yang belum menikah. Rachel akan berlari ke ikatan itu.
"Aku harap kau segera menyusulku dengan Tristan."aku meragukan hal itu. Dan menolak hal itu tentu saja. Biasanya semua orang akan merasa senang mendapatkan doa itu, tapi tidak denganku. Itu menakutkan.
"Ayo kita pergi ke Pub, aku yang traktir."Rachel berseru dengan kebahagian yang mengiasi wajahnya. Jelas dia merasa bahagia, dia akan menikah 2 minggu lagi. Tristan akan menjemputku sore ini, aku tidak akan mengatakan tentang kepergianku ke Pub. Mengerjainya sesekali tidak apa kan, biarkan dia menunggu. Anggap saja ini sebagai protesku karena dia tidak mau membantuku.
**
"Kau sudah terlalu banyak minum."Niel menarik gelas dari tanganku. Semua orang menikmati momen tak terkecuali aku, Niel akan selalu duduk di sampingku jika kami pergi ke Bar, dia adalah teman yang baik. Aku tidak keberatan kemari karena ada dia, jika aku mabuk aku, akan merasa aman.
"Berhentilah melarangku."aku menggerutu dengan suara yang keras. Hentakan musik terdengar memenuhi ruangan, begitu keras dan panas. Pub ini sangat ramai, aku melihat teman-teman ku dengan samar. Entah karena aku sudah terlalu mabuk atau lampu Pub yang terlalu gelap.
Aku duduk di samping Niel, ada Gavin, dan Brenda. Emily dan Rena sudah pergi ke lantai dansa menari mencari pria lajang untuk bersenang-senang. Niel tidak tertarik dengan wanita, dia juga pemilih dengan pria. Terlalu banyak kriteria, aku mengatakannya sebagai pria merepotkan. Gavin, dia selalu menjaga image, dia hanya minum alkohol dan memerhatikan. Aku tidak peduli padanya. Brenda bersikap sama, minum alkohol dan menikmati musik dari kursi. Aku tidak pandai berdansa, itulah kenapa aku hanya di sini dan tak bisa berhenti minum alkohol. Rasanya sukit untuk berhenti aku rasa aku sudah mabuk.
"Sudah malam lebih baik kita pulang."Niel berkata tepat di telingaku agar aku bisa mendengarnya karena suara kami teredam musik. Aku menggelengkan kepala dengan cepat sebagai jawaban penolakan perintahnya. Aku tidak mau bertemu dengan Tristan secepat ini. Aku masih mau di sini bersama dengan teman-temanku.
"Aku tidak mau. Bagaimana kalau kita dansa saja?."
"Kau akan terlibat dalam masalah kau sadar itu."ocehan Niel membuatku kesal. Aku bukan anak kecil lagi. Aku sudah sangat dewasa untuk pulang larut malam.
"APA! AKU TIDAK DENGAR!."teriakku lalu tertawa. Mengabaikan peringatannya tentang masalah karena aku tidak peduli. Aku berdiri lalu hampir saja terjatuh kalau saja Gavin tak menahan bahuku.
"Terima kasih. Aku mau ke sana saja."aku berjalan menuju lantai dansa, aku begerak tidak beraturan mengikuti orang-orang. Pergi lebih ke tengah aku menari, lalu seseorang berdiri di hadapanku. Menemaniku, aku tersenyum, tertawa. Aku tidak mengenali diriku sendiri. Rasanya seperti menjadi anak pembangkang hingga melakukan hal-hal semacam ini.
Aku sudah terlalu mabuk, larut dalam musik Pub yang menghentak-hentak membuatku bergerak mengikuti alur yang bergerak di sekitarku. Mataku mulai mengabur, kepalaku mulai pusing. Tubuhku limbung pria itu akan menangkapku namun tiba-tiba dia tertarik ke belakang. Samar-samar aku melihat seseorang berdiri di hadapanku. Aku di hadapkan pada kemeja putih, aku tidak melihat wajahnya. Tubuhku benar-benar limbung, pria itu menangkapku yang hampir kehilangan kesadaran, memeluk tubuhku.
"Kau suka sekali membuatku kesal nona Wren."
Aku mengenal suara ini, tapi kepalaku terlalu pening lalu semuanya berubah gelap.