Aku tersentak, terbangun tiba-tiba seolah seseorang menarik kakiku hingga akhirnya perlahan-lahan aku membuka mataku. Aku tidur dengan sangat nyaman, sesuatu terasa menyenangkan untuk di sentuh. Sangat harum, membuatku nyaman namun situasi ini membuatku tersentak kaget. Apa yang sedang aku lakukan, benda apa yang tengah aku pegang ini. Perlahan-lahan aku membuka mataku, masih Samar-samar aku melihat seseorang, tunggu, seseorang.
"Sampai kapan kau akan meraba-raba tubuhku seperti ini."
Suara ini! Aku mengenal suara ini. Aku membuka mataku dan mendapati Tristan tengah berada tepat di samping kiriku, dengan posisi ku peluk. Ya tuhan. Apa yang sedang kau lakukan Ana.
"AKHHHHHHH. Apa yang kau lakukan huh!."
Aku bergerak mundur, hampir saja aku terjatuh kalau saja tidak berhenti dengan segera. Aku menarik selimut namun tertahan lalu beralih menarik batal untuk menutup tubuhku dan melotot ke arah Tristan yang terlihat santai seolah tak ada yang salah berbagi tempat tidur dengannya di sini. Bersamaku. Sudah di duga, ia akan memperlihatkan betapa buruknya ia. Perilakunya dengan meniduri sembarangan wanita, dia memang bukan gay. Jelas dia menunjukamnya sekarang, dan aku menjadi korban. Aku harus menuntutnya. Dia membuatku sangat marah sekarang.
"Aku akan menuntutmu atas tindakan pelecehan."
Dia menoleh padaku, masih dengan memegang buku yang terbuka dengan ekspresi kesal di wajahnya, dan selimut yang membungkus bagian perut hingga ke kakinya. Aku tidak takut, aku terlalu marah untuk merasa takut dengan tatapan marahnya itu.
"Bukankah seharusnya aku yang melakukan hal itu, kau yang meraba-raba ku barusan. Jangan berakting seolah kau adalah korban. Kau sudah sangat-sangat merepotkanku malam ini. Tadinya aku mau menembak kepalamu, untung saja sisi kemanusiaan ku masih ada."
Tatapan Tristan kembali memerhatikan buku, aku mencoba mengingat sesuatu namun rasanya sulit karena kepalaku terasa sangat sakit.
"Lalu kenapa kau tidur di kamarku!."protesku. Lagi-lagi Tristan menoleh padaku dan kini ekspresinya terlihat sangat jengkel. Betapa kesalnya dia padaku, apa yang ku buat hingga membuatnya memasang ekspresi seperti itu.
"Apa ini terlihat seperti kamarmu! Aku tidak menemukan kuncinya di tasmu. Dimana kau taruh ha! Jika kau sudah mengingatnya, kembalilah ke kamarmu! Seharusnya aku tidak memberikan semua kuncinya padamu."Aku mengedarkan pandanganku dan benar saja. Sangat asing, ini memang bukan kamarku, kamar Tristan sangat simple tidak terlalu banyak perabotan. Sangat luas.
Dia kembali memalingkan wajahnya, aku mengintip ke balik selimut dan pakaianku berubah. Sebuah kaus berwarna dan celana bahan berwarna abu-abu. Dimana pakaianku!.
"Apa yang kau lakukan padaku!."
"Tidak ada. Gail yang melakukannya. Kau sudah sadar bisa pergi saja. Bau tubuhmu sangat tidak menyenangkan untuk di hirup. Menganggu indra penciumanku."
Aku menatapnya kesal, lalu beringsut turun dari tempat tidur dengan batal yang masih berada di pelukanku. Aku mengambil tasku lalu kembali menatap Tristan yang masih fokus pqda bukunya. Aku tidak tahu buku apa itu, melihat dari sampulnya saja terasa tidak minat untuk mengetahui isinya.
"Seharusnya kau tidur di sofa dan biarkan aku tidur di ranjang mu, bukannya berada di atasnya bersama seperti ini."bukankah seharusnya dia melakukan hal itu, seperti di film-film. Kenapa tidak tidur di tempat lain dan malah bersama seperti ini.
"Aku tidak suka tidur di sofa, tubuhku akan sakit jika melakukannya."
Dia emang pelit. Tubuhku bau dia bilang. Menganggu indra penciumannya. Jengkel sekali mendengar hal itu darinya. Kalau begitu dia bisa tidur di tempat lain bukan, atau baringkan saja aku di lantai sekalian. Menjengkelkan. Kakiku berjalan perlahan menuju arah pintu, setelah membukanya aku tersadar ada satu bantal yang masih ku peluk. Lalu mataku beralih pada Tristan yang masih membaca buku.
"HEI."Teriak Tristan ketika sebuah bantal mendarat tepat di wajahnya. Aku menutup pintu kamar Tristan buru-buru lalu secepat kilat kabur dari sana setelah melempar bantal dan mengenai tepat di wajahnya. Aku mengangkat keset yang berada di depan kamar dimana kunci kamarku berada lalu membukanya, cepat-cepar masuk ke dalam dan menguncinya rapat. Takut-takut Tristan menyusulnya dan memberikan balasan.
Tadi itu sangat berani Ana. Kau memukul seorang mafia. Anehnya aku merasa senang walau jantungku berdebar keras seolah akan keluar dari dalam dadaku. Aku berjalan ke arah tempar tidur, berbaring menatap langit-langit. Merasa waspada namun di sisi lain aku tak bisa menyingkirkan kesenangan setelah melempar bantal tepat di wajah Tristan. Semoga saja dia tidak benar-benar menodongkan pistol ke kepalaku besok pagi, berubah pikiran setelah apa yang ku lakukan malam ini. Ana kau memang ceroboh, tapi satu kali saja aku ingin melakukannya. Dia harus berhenti mengintimidasiku dengan tatapan itu. Menyebalkan. Aku mencoba untuk mengingatnya lagi. Benar tidak terjadi apa-apa kan, aku tidak akan memaafkannya jika ada sesuatu yang terjadi. Aku menatap langit-langit seraya berusaha keras, mengingat sesuatu.
Aku mengingat sedang berdansa, lalu pria yang ada di hadapanku tertarik ke belakang, ketika aku mendongak Tristan ada di hadapanku. Dia menarikku keluar, sementara supirnya mengambil tasku di Niel. Lalu aku memberontak, merasa kesal karena dia bersikap seperti itu. Tristan nampak marah, dia tidak suka aku tidak memgabarinya dan tiba-tiba menghilang. Aku bertahan mengabaikannya, lalu dia menarikku untuk menatapnya, seseorang lewat di belakangku, aku terdorong hingga berada dalam pelukannya. Kami bertatapan untuk beberapa saat lalu aku muntah.
"Tidak.. apa yang sudah ku lakukan!."
Aku muntah di pakaian Tristan.
Spontan kedua tanganku memukul kepalaku, beberapa kali dengan perasaan panik. Ini gila, aku pasti sudah gila. Setelah apa yang aku lakukan membuatnya kesal, aku sudah bertindak lebih menyebalkan di Pub. Aku tidak bisa berhenti merutukki diriku sendiri, memaki dalam hati apa yang telah aku lakukan. Tubuhku berputar menjadi telungkup, kedua kakiku menghentak-hentak lantai dengan kesal. Mulutku mengerang, memaki dan tak tahan dengan diri sendiri. Ini sangat-sangat memalukan. Seharunya aku hilang ingatan saja, itu akan menjadi lebih baik. Huaaaaa.. pantas saja dia mau menembak kepalaku, aku memang seharusnya mati saja. Ana! Kali ini kau berada dalam masalah besar, setelah melakukan hal itu kau masih tidak tahu diri memukul wajahnyq. Besok pagi kemungkinan menjadi hari kematianku. Apa yang harus ku lakukan!
**
Aku tidak bisa menampakkan wajahku di hadapan Tristan, mengendap-endap turun ke lantai bawah, berjinjit agar suara langkah kakiku tak terdengar olehnya. Rencananya aku akan pergi lebih dulu, naik taksi menghindarinya. Kami tidak bisa pergi bersama setelah apa yang ku lakukan tadi malam. Ketika aku sampai di pertengahan tangga, aku bisa melihatnya berada di ruang makan. Duduk membelakangiku seraya membaca koran dengan segelas kopi di atas meja. Keterangannya membuatku takut, tubuhku menegang, nyaliku menciut. Aku bergegas pergi menuju lift namun langkahku terhenti ketika Tristan berkata sesuatu.
"Mau melarikan diri nona Wren, setelah mengingat semuanya!."Wajahku mengerut, merutuki diri dan tindakanku yang tidak termaafkan. Aku menegakan tubuhku lalu kedua kakiku bergeser menjadi menghadap ke arah Tristan. Aku berharap sisi kemanusiaannya masih ada saat ini.
"Apa kau berniat untuk menembakku pagi ini?."
"Aku masih memikirkannya."
Aku benar-benar dalam masalah. Tristan tetap menatap koran, tapi rasanya ia memiliki mata di wajah dan bagian kepala bagian belakangnya. Bagaimana dia bisa pas mengetahui aku di sini. Padahal langkah kakiku sudah sangat-sangat pelan.
"Kau masih memikirkannya ya. Eunghh.. akan lebih baik jika aku pergi naik taksi saja dan tidak berhadapan denganmu. Kemungkinan emosimu akan sedikit mereda. Aku tidak akan kabur dan pulang tepat waktu kau tidak perlu khawatir."
"Sepertinya itu ide yang bagus."
"Benar kan. Aku pergi dulu. Oh dan.. maafkan atas semuanya."Setelah berkata demikian aku bergegas pergi dari hadapannya. Aku masih selamat kali ini, dan segera berlari menghindari kematian. Jika aku tetap di sana Tristan bisa saja berubah pikiran dan BAMM! Habislah aku.
**
Aku tidak bisa melupakannya, bagaikan sebuah mimpi menyeramkan mengingat betapa bodohnya aku dengan semua kejadian malam ini, untung saja Tristan masih memiliki rasa kemanusiaan, kupikir sikapnya itu karena dia masih membutuhkanku dengan kebohongan gila ini tentang hubungan palsu kami. Aku bahkan tidak sikap jika harus bertemu dengan teman-temanku, mereka pasti melihatnya bukan. Ku harap tidak..
Aku memang datang terlalu pagi karena menghindari Tristan dan kini seperti penghuni pertama di kantorku, belum ada yang datang sama sekali. Aku mendudukan diriku, mengerang lirih merasakan betapa peningnya kepalaku dan spontan menggelengkan kepalaku untuk menghapus tentang ingatan malam ini. Memalukan bagaimana bisa aku seceroboh itu, tanpa sadar menarik rambutku untuk menutupi wajah, aku sangat kacau berserta ingatan itu. Aku rasa benar kata Niel, tidak seharusnya aku minum. Aku bahkan tidak bisa berkata hal lain, mungkin mencuci pakaiannya, mengganti biaya laundrynya. Niel datang duduk di tempatnya, menatapku dengan kedua mata menyipit yang membuatku memandangnya bingung.
"kenapa kau melihatku begitu?."
"tidak apa-apa hanya saja.. sepertinya hubungan mu kali ini berhasil aku senang. Dia menjagamu dengan baik."
Baik dari Zimbawe. Dia tidak tahu betapa sengsaranya aku. Berada dalam ketakutan tak jelas,
"Benar, jika aku tidak masuk kerja 2 hari ke depan, tolong telepon polisi dan suruh mereka menemukanku."
"Ada apa dengan kepala dan otakmu Ana!."ucapan Niel membuatku menggulung kertas dengan kesal, lalu melempar ke arahnya yang dapat ia hindari dengan mudah. Tak lama satu per satu karyawan datang, dan aku membenarkan rambutku yang acak-acakan akibat kefrustasian yang ku alami beberapa saat, aku mencoba fokus pada pekerjaan namun tak semudah yang ku bayangkan. Aku berdiri lalu berjalan menuju pantry untuk membuat kopi.
"Dimana Ana?."
Aku mendengar Gavin bertanya tentang keberadaanku, aku tak bisa menemuinya dia pasti akan bertanya tentang Equinot dan aku tidak bisa memberikan jawaban seperti apa yang dia mau.
"Jangan bersembunyi di situ, tubuhmu tidak muat."
Aku hampir saja menjatuhkan kopiku dan berteriak, sejak kapan Niel juga berada di Pantry aku tidak melihatnya datang. "sejak kapan kau di sini?."
Dia terlihat santai menyeruput kopinya, berdiri di sudut ruang seraya menyandarkan kepalanya di dinding, menatapku dengan senyum lucu. Dia melihatku panik dan tersedak akibat terkejut mendengar suara Gavin.
"Sejak kau datang untuk membuat kopi. Aku berada di sini lebih dulu darimu."
Ketika aku masuh kemari, aku sungguh tak melihatnya.
"Ana, kau di sini rupanya. Kerja bagus."Gavin datang membuatku menoleh ke arahnya, dia nampak bahagia sementara aku nampak kacau. Takut menjawab pertanyaannya tentang Equinot. Tapi tunggu, kerja bagus untuk apa.
"Untuk apa?."
"Equinot, kita dapat tempat di sana. Apa yang kau buat hingga kekasihmu mau menerimanya?."
"Tunggu, apa!."Aku terkejut, sangat. Bagaimana bisa! Apa yang Tristan lakukan, dia menolaknya dan kini menerimanya. Bukan karena aku pergi ke Pub tanpa pemberitahukannya kan! tentu tidak semudah itu.
"Aku menelepon Hotel pagi-pagi sekali, dan bertanya tentang jawaban mereka, mereka bilang bisa ada tanggal kosong. Aku memakai namamu sebagai pengajuan dan bisa masuk."
Rasanya sulit menelan salivaku sendiri, apa yang telah terjadi. Tidak mungkin karena s*x kilat semalam kan. Apa benar-benar tidak terjadi apapun antara aku dengannya! Aku menyeruput kopiku, lalu seketika merintih karena kepanasan sebelum menaruhnya di meja pantry. Aku akan keluar untuk menelepon Tristan dan bertanya apa yang terjadi, kenapa dia bisa menyetujuinya dan apa benar tidak terjadi apapun. Aku terserang rasa panik dan terlalu penasaran.