BAB 02 - Fear

1637 Words
“Wuahahahahahahaha.” “Itu tidak lucu.”Sungguh tidak lucu aku merasa ingin mati tapi Niel malah tertawa terbahak-bahak dan merasa konyol dengan perumpamaan yang ku ceritakan, aku tidak bisa berkata jujur karena ini menyangkut tentang kehidupanku tapi aku membicarakannya sedikit agar bisa lebih tenang, walau itu hanya dengan perumpamaan seperti kejadian yang mungkin saja terjadi dalam hidup Niel. Tidak kemungkinan dengan ku karena aku mengalaminya. Benar-benar mengalaminya hingga aku merasa sudah menjadi wanita gila sekarang. Kami sedang berada di sebuah Cafetaria, Niel berada tepat di hadapanku dengan makanannya berupa pasta dan cola, sementara aku hanya bisa mengisi perutku dengan kopi. Aku tidak berselera makan, aku rasa berat badanku turun karena aku tidak makan berat sejak pulang dari San Fransisco. “Kau terlalu banyak menonton film!.”Aku-akui itu benar karena adegan konyol itu kini mulai berputar-putar di kepalaku, bahkan rasanya lebih kuat ketika aku mulai memikirkan kemungkinan-kemungkinan. Aku mengegelengkan kepalaku kuat-kuat berusaha untuk menyingkirkan pemikiran gila itu tentang kematian, lalu pandanganku mengedar ke segala arah, aku takut seseorang mungkin mengikutiku seperti di dalam film-film ketika mereka sudah menjadi taget pembunuhan. Aku pasti sudah gila, otakku memang sudah tidak waras. “Aku tahu. Tapi berikan aku jawabanmu! Yang masuk akal.”Aku membutuhkan jawaban itu sekarang. Mungkin saja jawaban Niel bisa membuat hatiku lebih tenang. “Hubungi saja polisi atau minta pengampunan!.”Mungkin saja bisa, tapi bagaimana caranya agar dia mau mengampuniku jika nanti kami tak sengaja bertemu. “Bagaimana jika dia tidak mau mengampuniku?.”Aku bertanya tentang kemungkinan. “Makaaaa... itu masalahmu.” “Niel.”kesalku. Niel menatapku bingung. Aku menyandarkan tubuhku ke kursi, menyesali betapa bodohnya aku bersikap begitu berlebihan, ini tidak mungkin berlanjut bukan karena sudah 5 hari sejak kejadian itu dan tidak ada yang terjadi padaku. Mungkin saja aku menjadi terlalu paranoid, melihat kematian itu tidak bagus, mungkin saja dia sudah terbiasa melakukannya bahkan di depan banyak orang dan dengan keberadaanku di sana menjadi saksi mata bukanlah sesuatu yang menganggu. Tapi bagaimana jika tidak.. “Hei, ada masalah apa! Sesuatu menganggumu? ceritakan padaku.”Aku bisa merasakannya Niel menatapku dengan kening mengerut, nampak penasaran. Aku sangat ingin menceritakannya tapi aku terlalu takut. Aku tidak mau Niel terlibat dalam hal ini. “Tidak ada apa-apa. Hanya pemikiran bodoh.”Aku akan melupakannya dan melanjutkan hidupku, melihat seseorang mati di hadapanku bukanlah sesuatu yang bisa ku abaikan begitu saja. Tetapi jika aku terus memikirkannya, mungkin aku yang akan mati karena depresi memikirkannya. “Dasar bodoh, makanlah sesuatu kau bisa sakit. Lihat pipimu sudah sangat tirus kau akan menyaingi nenekku untuk masalah penirusan wajah.”Aku bisa mencium aroma saus dan daging yang gurih pada saus pasta itu, tetapi tetap tak bisa membuatku ingin menyantapnya. “hahaha... lucu sekali.” Mood ku membaik karena Niel, dia adalah satu-satunya orang yang bisa membuat mood ku merasa lebih baik ketika suasana hatiku dalam keadaan buruk. Jam makan siang kami sudah habis, aku berada di belakang komputer mencoba untuk mencari informasi tentangnya. Aku tidak tahu siapa dia, tapi yang jelas dia adalah seorang mafia. Aku dengar banyak mafia di San Fransisco. Ketika aku mengetik sesuatu di google semua hal mengenai mafia terpampang jelas di hadapanku. Pembunuhan, penggelapan senjata api, perdagangan perempuan, mataku terhenti pada kalimat itu.. Kenapa semua kejahatan itu terlihat sangat mengerikan bahkan aku tidak bisa untuk membayangkannya. Semua itu terlalu menyeramkan. Membacanya semakin jauh membuat tubuhku bergidik ngeri, bagaimana jika aku di jual, tidak... tidakkkkk... keningku menempel di atas meja, menutup wajahku dengan perasaan kesal. Mengetahui semua itu membuat moodku semakin memburuk. Hidupku benar-benar di ambang kematian. “Ana kau baik-baik saja? Ada apa denganmu sejak pulang dari San Fransisco.”Emily bertanya padaku dari balik meja kerjanya ketika aku mendongak untuk memerhatikannya, dia masih melihat ke arahku. “Dia sakit hati karena cinta.”jawab Rena yang membuatku kembali menenggelamkan wajah ke meja. Memalukan, apa nya yang cinta. “Benarkah itu, huaaaa. Pria San Fransisco mana yang kau taksir?.”Bibirku sedikit maju cemberut mendengar apa yang sedang mereka bahas. “Dia bilang seperti malaikat maut.”lanjut Rena yang ku abaikan. Mereka mulai bergosip tentangku, yang benar saja. “Maksudmu seperti Damon Salvatore. Wow.”Itu terdengar seperti seruan takjub yang sama sekali tidak ku harapkan, mereka berdua benar-benar membuatku semakin kesal. “Itu vampire bukan malaikat maut.”aku tak bisa menghentikan rasa kesal untuk mengklarifikasi nya. Bagaimana bisa dia menyamakan antara vampire dan malaikat maut, sama-sama bisa merenggut nyawa namun Damon memiliki rasa pada manusia. Ini menyakiti perasaanku. Karena pria itu tidak seperti Damon, ia ingin membunuhku mungkin saja ketika kami bertemu. “Ahh aku bisa membayangkan mereka berdua pasti sama-sama seksi.”Ucap Emily yang membuatku menatapnya jengah, mereka berdua... Apa sih yang mereka pikirkan. “Kalian berdua benar-benar penggila cowo tampan.”gerutuku. Tetapi Emily jelas menunjukan betapa ia memang demikian. Dasar wanita. “Bagaimana kalau malam ini kita pergi ke Club malam, Ana kau harus melupakannya dan bertemu dengan pria tampan baru. Kau harus move on! Berkencan agar bisa melupakannya.”seru Emily nampak bersemangat. Aku tidak tahu apakah itu benar tapi sepertinya bisa di coba. Mungkin dengan mengalihkan pikiranku kepada hal lain bisa membuatku melupakan peristiwa kejam itu dan juga si malaikat maut. Aku tidak tahu apakah aku bisa melakukannya. Pada akhirnya aku setuju dengan seruan Emily, mungkin saja ini ide yang habis di bandingkan harus sendirian di dalam kamar dengan pemikiran yang membuatku semakin tidak waras. “Tidak baik jika Ana minum tanpa Niel. Pria itu pergi karena ada urusan dengan ibunya yang baru saja datang dari California.”ucap Gavin. Ini menyinggungku, Niel selalu berkata aku konyol jika sedang mabuk dan aku mulai khawatir. Tapi tidak.. aku bisa melakukannya. “Aku akan baik-baik saja. Aku akan minum sedikit.”Aku melirik Gavin dengan sinis, pria itu malah tertawa dan mencemooh seolah aku tidak akan tahan walau hanya minum 2 teguk. Aku bisa minum tapi tergantung kadar alkohol yang bisa membuatku hingga mabuk. Aku tak bisa mengingatnya, apa yang aku lakukan saat mabuk. Niel selalu bercerita tentang kekonyolan yang tidak bisa ku pahami dan membuatku percaya. Pria itu suka sekali melebih-lebihkan sesuatu dan membuatku kesal. *** Malam ini kami benar-benar pergi ke Club malam, Emily, aku dan Rena. Gavin, tidak dengannya karena ini adalah urusan para wanita. Aku duduk di balik meja bar dengan Rena yang duduk tepat di sebelahku, sementara Emily berdiri sedikit dekat dengan lantai dansa, berbincang dengan seorang pria yang baru saja di kenalnya. Aku dan Rena tertawa melihatnya, baguslah ada salah satu yang berhasil di antara kami bertiga. Jantung ku berdebar bersamaan dengan suara dentuman musik, seseorang memainkan musik dj dan semua orang mulai menari di atas lantai dansa. Menghentak-hentak tubuh mereka mengikuti irama. Rena berdiri di sebelahku mulai bergoyang mengikuti alunan musik yang berdetum semakin keras dan membuat suasana malam ini mulai memanas. “Kau mau kondom?.”Aku mencibir Rena dengan bibir bawahku yang sedikit maju dan menatapnya ngeri. “Kau benar-benar niat membawanya kemari? Aku tidak mau s*x aku hanya mau minum.” “Kau harus melupakannya. Aku bagi kau satu.”Rena memasukannya ke dalam saku coat yang ku kenakan. Aku mengeluarkannya dan kembali memberikannya di tangan Rena namun ia kembali memasukannya ke dalam coat ku. “simpan saja.”Aku menggelengkan kepalaku terheran-heran. Rena sangat berusaha keras. Ia mengedarkan pandangannya sementara aku memutuskan untuk memesan segelas tequila. Ketika aku emncari-cari Emily dia sedang menari dengan pria tadi di atas lantai dansa ketika pandangan kami bertemu ia tertawa dan begitu pula aku, kesenangannya menular padaku melihatnya sesenang itu. “Hai..”Sapa seorang pria yang menghampiri kami. Dia melihat ke arahku dan Rena secara bergantian, pandanganku melengos kembali menatap gelas tequila ku enggan dengannya. “Mau berdansan?.”ia menawarkan diri pada Rena yang di sambut baik olehnya. “Aku pergi dulu.”Rena berbisik padaku. Bibirku tersenyum lantas menoleh padanya. “Bersenang-senanglah.”seraya mengangkat segelas tequila di sebelah tanganku ke arahnya. Setelah menenggak tequila hingga habis aku mengangkat sebelah tanganku ke arah bartender untuk memesan sebuah sampanye. Aku ingin sesuatu yang lebih berat untuk melupakan semuanya. Sudah lama aku tidak minum dan aku menginginkannya sekarang. Pikiranku kembali mengingat kejadian itu, bagaimana ketika aku melihat mereka dan mengintip di balik jendela kecil berdebu yang terlihat rapuh, tatapan mata kami bertemu dan aku bisa dengan jelas melihat wajahnya, tatapannya yang membuat tubuhku tegang karena terlalu terkejut. Ia tak menunjukkan ekspresi apapun, datar. Namun matanya begitu tajam ketika menatapku. Tubuhku tertarik ke belakang dan buru-buru mematikan HT, lalu kabur secepatnya meninggalkan tempat tersebut untuk menyelamatkan diri. Kejadian dia masih segar berada di dalam kepalaku seolah-olah baru kemari. Ini jelas masih mengangguku, seharusnya aku mengikuti saran nenekku untuk tidak terlibat dalam masalah yang akan mengacaukan diriku. Aku tak bisa menghentikkan merutuki diri, dan mengumpat betapa menyedihkannya aku. Terlalu paranoid, seperti itulah aku saat ini. Aku menggelengkan kepalaku mencoba mengenyahkan ingatan itu. Aku rasa aku mulai mabuk kakrena wajahku mulai memerah akibat alkohol. Satu teguk, dua teguk hingga akhirnya aku mencicipi gelas ke-5, seseorang menarik kursi di sebelahku. Aku mengabaikannya dan tetap menikmati minumanku sendirian. Aku bisa merasakan ia menatap sisi wajahku beberapa menit berlalu ketika aku menghabiskan satu gelas sampanye, lagi-lagi mengabaikannya dan kembali menempelkan segelas berisi sampanye ke bibirku. “Menikmati minuman Ana.” Suara bariton berat itu menghentikan pergerakan tanganku, seseorang menyebut namaku yang membuatku menoleh ke sisi kiriku untuk melihat siapa dia. Kejutan hebat.Aku tak tahu apakah ini kenyataan atau halusinasi, tetapi sepertinya ia memang berada di sini, di hadapanku. Astaga. Aku memang berniat untuk mati. Karena apa yang ku lakukan sekarang adalah menggali kuburanku sendiri, cairan sampanye yang berada di dalam mulutku keluar terciprat mengenai sebagian wajah dan kemaja yang ia kenakan. Wajah itu, mata itu. Apa aku mulai kehilangan kewarasan. Benarkah ia.. Aku benar-benar terkejut setengah mati. Bagaimana bisa di di sini?! Malaikat maut.. Apa dia akan segera membawaku ke alam baka. Tidak.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD