Aroma daging asap tercium dari arah dapur di kapal pesiar, aku di sana berkeliling memastikan makanan cukup bagi semua tamu yang menghadiri acara ini. Sebuah acara pernikahan seorang anak konglomerat dari usaha Transportasi kelautan. Itu yang ku ketahui dari perkenalan pertama kami ketika ia berharap acara pernikahannya akan memakai jasa EO dari perusahaan kami. Di hadiri oleh 2.500 (dua ribu lima ratus) tamu di kapal berjenis Seabourn Cruises yang terparkir di sisi dermaga San Fransisco.
“Cepat-cepat-cepat.”aku menepuk tanganku memberikan semangat, beberapa dari pelayan mengambil makanan itu untuk di sajikan di meja depan. Mataku tak bisa lepas dari mereka, makanan dan juga minuman yang akan di sajikan, semua tamu nampak melahap makanan yang di sajikan dan sepertinya dari semua tamu yag hadir mereka semua sangat menyukai makanan.
“Semuanya siap Ana?.”Niel membenturkan bahunya dengan bahuku lalu berdiri tepat di sebelahku seraya ikut memerhatikan situasi dapur. Ada HT di sebelah tangan kirinya seperti yang ku miliki yang tergantung di sisi kanan celanaku, begitu cara kami berkomunikasi di dalam kapal pesiar yang sangat luas ini.
“Tentu saja,”Aku mengibaskan tanganku ke segala arah menunjukkan betapa semuanya berjalan dengan lancar seperti apa yang tersaji di hadapan mereka berdua saat ini. “Apa kau tidak bisa melihatnya, tarik nafas dalam-dalam dan hirup aromanya. Semuanya sangat menggiurkan, semuanya komplit dan tak.. Yahhh hati-hati kau akan menjatuhkan makanannya nanti.”Spontan aku berteriak pada salah seorang pelayan yang hampir saja menjatuhkan makanannya ke lantai karena ia tak bisa memegang nampannya dengan benar. Itu akan menghancurkan segalanya. Niel tertawa tapi menurutku tidak ada yang lucu di sini.
“Kau seharusnya mengawasi bagian depan, bagian dapur adalah tugasku.”Mataku memincing menatapnya dengan tatapan mengintrupsi, Niel mengendikan bahunya acuh.
“Ada Simon di sana, semuanya aman, tidak ada yang akan melompat dari dek kau tenang saja, semuanya menikmati pesta.”
“Niel, kau tidak pernah belajar akan sesuatu. Bisa saja mereka melakukannya karena berada di bawah pengaruh alkohol. Cepat bantu Simon dan kembali ke posisimu bukannya berada di sini memerhatikan makanan.”
Niel mendengus menatapku dengan senyum geli di wajahnya, alis ku bergerak bertanya apa yang lucu. “Kau benar, seperti kau misalnya yang selalu ingin terbang ketika mabuk. Aku akan kembali ke posisiku.”
“Apa katamu! Ya kembali saja sana ke posisimu.”Aku hampir saja berteriak ketika mengatakannya. Aku kembali mengelilingi dapur dan memerhatikannya setiap orang, aku ingin semuanya sempurna. Menjadi pecinta makanan membuatku banyak tahu makanan enak dan apa saja makanan khas dari kota dan beberapa negara yang ku rasa. Memberikan sedikit sentuhan asia dalam penyajian malam ini karena sang mempelai pria sangat menyukai makanan jepang. Namun tidak buruk melihat semua orang juga menyukai makanan itu.
“Waahhh luar biasa.”Aku tidak bisa menutup mulutku setiap melihat masakan-masakan itu, mereka sangat luar biasa dalam membuatnya aku tak pernah kecewa. Kami memliki beberapa tim dari setiap daerah yang bekerja sama untuk membuat makanan. San Fransisco menjadi salah satu tim yang sangat hebat dalam menyajikan makanan laut.
Aku memutuskan untuk pergi ke bagian belakang, sebauh gudang yang menjadi bagian dalam penyimpanan makanan, sebuah ruangan di belakang dapur. Hidungku gatal dan aku mulai bersin-bersin karena merica bubuk yang tak sengaja terhirup saat ingin pergi menuju gudang belakang. Aku berlari keluar kapal dan mulai bersin-bersin. Arghhh aku benci merica bubuk, ini menyesakkan indra penciumanku, aku tak bisa menghentikkan bersin ini hingga akhirnya berhenti juga setelah bersin yang ke 7 kali. Terlalu banyak, aku tidak sakit walau bersin sebanyak itu. Aku mengedarkan pandanganku, memerhatikan pemandangan sekitar pelabuhan.
Angin berhembus dengan kencangnya, rambut panjangku sebawah bahu terhempas akan angin yang bertiup, rasanya menyenangkan berada di sekitar pantai. Suara deburan ombak terdengar sangat keras, bergulung-gulung terhempas pada sisi kapal yang terparkir di sepanjang pelabuhan. Kedua tanganku terlipat di depan d**a, aku tak bisa menghentikkan bibirku untuk tersenyum menatap pemandangan ini. Lalu sebuah pemandangan lain menghentikkan kepalaku berputar melihat-lihat. Ada 5 orang pria berjalan di dalam pelabuhan, salah satu dari mereka menyeret seorang laki-laki yang sebelah kakinya terluka. Hanya mataku saja atau itu memang terlihat seperti kaki yang tertembak. Aku tak bisa menghentikkan perasaanku untuk ingin tahu lebih jauh tentang apa yang terjadi padanya. 5 orang lainnya menyusul dengan dua orang laki-laki yang kedua tangannya terikat di belakang.
“Uwaahhh Apa itu! Apa yang mereka lakukan! Kenapa dengan 3 orang laki-laki itu. Apa dia terkena penganiayaan!.”
Aku tidak pernah ingin terlibat dalam sesuatu yang membahayakan hidupku namun melihat sesuatu yang buruk akan terjadi tepat di depan mata kepalaku aku tak bisa diam saja dan akan menyesali ini karena tidak bisa menolong mereka. Diam-diam aku berjalan dan berlari-lari kecil seraya bersembunyi ala mata-mata amatiran di film-film agent mata-mata yang suka ku saksikan setiap malam. Aku terus mengikuti mereka hingga aku tak tahu dimana ini, sebuah gudang yang bisa ku lihat dari sini sangat gelap, itu seperti gudang dengan beberapa sekat dari seng-seng besi yang hampir mengelilinginya. Aku berdiri di sisi-sisi seng-seng itu, mengintip dari balik lubang sebelum masuk ke dalam sana. Merasa aman setelah mengetahui ponselku berada di kantung jas. Aku bisa menghubungi polisi atau 911 untuk membantu ketiga orang itu. Ini terdengar bodoh, tapi aku tidak bisa menghentikkan diri untuk bergerak lebih jauh. Aku masuk dan berdiri di bawah jendela yang mengarah ke dalam dan menemukan sekitar 20 orang ada di sana, juga ketiga orang itu yang saat ini tengah duduk berjejer menghadap ke arah ku dengan kedua tangan terlipat di belakang tubuh.
Ada seorang pria yang berdiri membelakangiku dengan kedua tangan yang berada di balik sakunya, ia memakai sebuah jas yang berwarna berbeda dengan yang lainnya, sebuah jas berwarna abu-abu tua gelap. Di sisinya ada orang-orang yang berpakaian jas hitam, bahkan beberapa pria yang berjalan membawa orang-orang itu juga ada di sana. Menatap ketiga orang itu. Aku mulai berspekulasi tentangnya, dia kah pemimpin dari semua orang-orang itu. Aku mulai menebak-nebak, tiba-tiba pria berjas itu mengambil pistol dari salah satu pria berjas hitam dan menodongkannya ke arah 3 orang itu. Kedua mataku membesar sementara kakiku mulai bergetar, aku ingin berlari dari sana tapi tubuhku terasa kaku, aku tahu apa yang selanjutnya akan terjadi tapi menutup mataku saja terasa sulit untuk berhenti melihat mereka semua. Semua ini terekam jelas, bagaimana sebuah film-film namun hal ini terlihat berpuluh-puluh lebih mengerikan di bandingkan dengan film-film itu.
Aku akan berkata tembak dan dan hajar dia sampai mati, tapi aku tidak bisa mengatakannya di sini. Mulutku keluh, tubuhku bergetar begitu juga dengan kedua kakiku. Kedua tanganku melemah ketika memegang sisi jendela.
DORR
Suara itu begitu kencang, satu peluru mengenai salah seorang pria dan tembakan itu berasal darinya. Pria berjas abu-abu yang masih memegang senjata, dia kembali menembakan peluru tiga peluru ke masing-masing laki-laki itu. Aku terjatuh saking terkejutnya, lalu membekap mulutku rapat-rapat menggunakan telapak tanganku agar aku tidak berteriak, kakiku semakin gemetar, ini adalah tindakan bodoh yang pernah ku lakukan selama hidupku.
“Trrrkkk Ana... Ana kau dimana?.”Tubuhku membeku seketika ketika HT ku mengeluarkan suara, buru-buru aku mematikannya dan mencabut baterainya. Lily menghubungiku dan HT itu membuat semua orang di dalam sana mengedarkan pandangannya ke arahku dan pria berjas abu-abu itu membalikan tubuhnya, aku bisa melihat wajahnya dengan jelas. Kedua mata kami bertemu dan seketika itu juga aku dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi target malaikat maut.
***
“ARGGGHHH.”
Aku berteriak lagi, ketika tubuhku terjatuh dari atas tempat tidur. Bokongku mendarat lebih dulu sementara tubuhku menyusul dengan selimut yang melilit kakiku. Sudah jam berapa sekarang, aku panik dan bergegas mandi untuk pergi bekerja. Setelah siap aku pergi menuju kantor, aku membiarkan rambutku tergerai, kemeja hitam dan celana bahan hitam, ikat pinggang berwarna coklat melingkar di sisi celanaku dan blazer berwarna sama dengan ikat pinggangku. Wajahku telihat sangat buruk, sudah 5 hari semenjak kejadian itu aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, aku akan tidur ketika aku benar-benar sudah sangat mengantuk, aku bahkan mengkonsumsi obat tidur.
Pikiranku masih di hantui dengan kejadian di pelabuhan itu hingga membuatku cuti bekerja selama 2 hari, mengurung diri di dalam Apartemen seperti wanita gila. Ah aku rasa aku sudah gila sekarang. Jarak kami sangat jauh aku berada di Manhattan sementara kejadian itu berada di San Fransisco tapi hal itu tidak bisa menghentikkan perasaan panikku tentang kematian. Saat aku tiba di Manhattan aku menelepon ibuku yang tinggal di San Diego untuk meminta maaf dengan menangis tersedu-sedu namun ibuku malah menyebutku gila dan berakhir dengan ocehan tidak berguna. Ini membuatku frustasi. Apartemenku berada di sisi jalan, hanya butuh waktu 20 menit untuk berjalan kaki tapi terkadang aku memakai taksi, aku bangun begitu awal karena di serang mimpi buruk tentang kematian, memutuskan untuk berjalan kaki menuju kantor mungkin bisa menjernihkan pikiranku yang mulai gila.
Jarak dari tempat kejadian itu dan kapal tidak terlalu jauh ketika aku berlari untuk kembali, aaaakhhhhh aku tidak bisa melupakannya sialan-sialan.
“MENYEBALKAAAAAANNNN.”teriakku tanpa sadar, semua orang memerhatikanku dan tertawa. Ini memalukan tapi aku tidak bisa menghentikkan perasaan ini, terlalu frustasi untuk semua kejadian gila.
Masih jam 7 ketika aku sampai, aku tahu security di lobby memerhatikanku dengan pandangan aneh selama beberapa hari ini, cukup terkejut aku berjalan dengan tenang di lobby pada jam sepagi ini, biasanya aku berlari dengan tergesa-gesa karena hampir terlambat.
“Masih tidak terbiasa, Roland.”Aku bergumam ketika melewatinya, dia terbatuk dan tersenyum di belakangku dengan suaranya yang menjelaskan itu.
“Pa-pagi Ana.”
“Ya.. ya pagi untukmu juga.”
Kantor kami berada di lantai 15 dari 25 lantai. Sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Event Orgainizer banyak kelompok yang terbagi menjadi beberapa bagian sesuai dengan apa yang akan mereka kerjakan, wedding, konser, meeting semua itu terbagi menjadi beberapa kelompok yang khusus menangani hal itu, ada 20 kelompok dengan masing-masing ruang yang menangani acara, kami bahkan tak pernah kehilangan satupun untuk dikerjakan setiap harinya karena banyak pesta di daratan Amerika. Ketika aku sampai ruangan masih sangat kosong, beberapa ruangan lainnya juga belum berpenghuni. Meja ku berada tepat membelakangi kaca, menarik tirai agar bisa melihat langit. Tatapanku kosong menatap layar komputer lalu mata itu tiba-tiba saja muncul di kepalaku.
“Huwaaaaaaaaaa kapan wajahnya menghilang dari kepalaku astagaaaaa.”Kedua tanganku mengacak-ngacak rambutku frustasi sebelum menjatuhkan kepalaku di atas meja.
“Dia tidak akan kemari kan, menemukanku dan... dan... Aish, apa yang harus ku lakukan!.”
“Seperti itulah perasaan cinta, jika dia benar-benar mencintaimu dia akan datang kemari dan menemukanmu.”
Suara ini, aku mengangkat kepalaku dan terkejut hampir saja terjungkal kebelakang jika saja kedua tanganku tidak dengan sigap berpegangan pada sisi meja. Bagaimana tidak terkejut, Rena berdiri tepat di hadapanku dengan kedua tangan yang berada di atas sisi penghalang meja menatapku dengan senyum menggoda. Kalau saja dia tahu apa yang kupikirkan dia akan menarik kata-katanya. Tunggu apa yang dia bilang..
“Ini bukan tentang pria seperti itu!.”
“Lalu seperti apa-huh!.”
“Bukan seperti yang kau pikirkan, pria ini sangat keji, dia akan membunuhku!.”
“Ya, aku bisa melihatnya, membunuhmu dengan cintanya. Ukhh... perasaan itu begitu dalam. Kalian bertemu di San Fransisco, aku rasa dia adalah pria seksi berotot kulitnya kecoklatan karena selalu menghabiskan waktunya berjemur di pantai. Dia pasti sangat sexy....”
Aku bergedik merasa ngeri dengan apa yang Rena pikirkan, aku tidak bisa berpikir sejauh itu karena ketika aku memikirkannya aku hanya bisa membayangkan tentang kematian.
“Benarkan dia pasti seperti itu? Seperti apa dia, kau punya perumpamaan yang bisa ku bayangkan. Apa dia seperti Tom Hardy, Zac Efron, ”
“Ada..”
“Apa itu!.”Rena nampak bersemangat tidak denganku, ekspresi ku muram merasa ingin muntah karena topik pembicaraan ini.
“Malaikat kematian.”