Makan Siang dengan Dia

2115 Words
Ketika syukurmu pudar, maka tanyakan seberapa kuat imanmu berpijar Assalamu'alaikum, Cinta *** "Mas Azhar nggak kerja?" Azhar mengalihkan pandangan dari buku menu hingga matanya terarah pada Alba yang duduk di depannya. "Kebetulan saya ambil cuti hari ini. Siang ini rencananya saya mau jemput kakak perempuan saya, tapi mampir dulu sebentar ke toko buku tadi," jawabnya tersenyum canggung. Kepala Alba mengangguk-angguk. "Emang nggak papa Mas Azhar makan dulu? Nggak telat, Mas?" Lelaki itu tampak menggeleng sambil mengamati arloji di pergelangan tangannya. "Masih ada satu setengah jam lagi." "Harusnya jangan berangkat pagi banget biar nggak nunggu lama, Mas," ucap Alba sambil tertawa ringan. Sedangkan Azhar hanya bisa mengusap tengkuk, suasana hatinya diselimuti kecanggungan meskipun sebenarnya Alba sudah melempar satu-dua candaan. "Kamu sendiri dari mana?" Alba lantas tersenyum masam, ia segera mendekatkan kepalanya ke arah Azhar untuk berkata, "Wawancara pekerjaan." "Kenapa harus bisik-bisik?" tanyanya heran sekaligus terkejut dengan gadis tersebut. Alba menghela napas dua detik. "Malu." Alis lelaki itu menyatu. "Sebenernya saya nggak mau lamar kerjaan di sana, jurnalis bukan saya banget. Puluhan CV lamaran saya ditolak, lamar sana-sini nggak ada yang mau menerima. Konyol banget 'kan? Yaudah, saya ngelamar di sana aja." Alba kini tertawa keras, bibirnya melengkung ke atas seolah melenyapkan kecewanya yang kian menjadi. Azhar hanya bisa mengamati Alba dalam diam. Dia sedikit heran dengan gadis tersebut. Dia bercerita tentang masalahnya, namun dari lagaknya ia justru seperti bercerita tentang pengalaman indah sehari-hari. Bahkan ia juga ingat kejadian di halte waktu itu, Alba hanya tersenyum sambil berkata baik-baik saja padahal seluruh tubuhnya basah kuyup dan dipenuhi luka. Apa sebenarnya yang dipikirkan gadis itu? Tampak kini Alba menyelipkan rambutnya ke belakang telinga dengan santai, senyum masih melingkupi wajah bulatnya. "Kamu kerja di sekitar sini juga, Mas?" tanyanya. "Alhamdulillah, iya." "Wah, kalau saya diterima di tempat kerja tadi, bakal sering-sering ketemu." Lagi, gadis itu tertawa. "Oh iya, Mas. Harusnya kamu nggak perlu traktir saya, justru sebaliknya." "Nggak apa-apa. Jangan terlalu canggung dan sungkan dengan saya." "Saya emang malu-maluin banget ya," ucapnya. Dia terkekeh saat mengingat kejadian di toko buku tadi. Sebenarnya, ia sama sekali tidak memiliki rencana untuk makan siang dengan Azhar seperti ini. Bertemu lagi dengan lelaki itu saja, sama sekali tak pernah ia bayangkan. Awalnya, ia hanya ingin menyapa Azhar dan mengatakan kalau ia akan mengembalikan payung serta selendang secepat mungkin. Sudah, hanya itu. Akan tetapi, bunyi perutnya yang mampu terdengar telinga Azhar merusak semuanya. Lelaki itu bahkan sempat menyernyitkan dahi lalu tertawa pelan. Sambil menahan tawanya, Azhar bertanya hati-hati, "Kamu belum makan?" Dan tentu saja Alba menjawab dengan anggukan kecil. "Iya, Mas, tadi nggak sempat." Padahal lebih tepatnya karena bahan makanan di kontrakannya sudah habis, diikuti dengan lembaran uang di dompetnya kian menipis. "Tapi habis ini saya mau beli makan kok." Bohong, Alba sungguh berbohong pada lelaki yang bahkan sangat baik padanya. Jawaban yang tidak pernah ia duga keluar dari mulut Azhar. "Mau makan siang bersama? Kebetulan saya juga hendak makan siang, saya yang traktir." Dan di sinilah keduanya berada. Di sebuah resto sederhana yang tak begitu jauh dari toko buku tadi. Tak begitu banyak pelanggan yang makan di sana, mungkin karena belum masuk jam makan siang. Hanya tiga orang yang tampak duduk mengisi kursi dengan jarak yang berjauhan, seolah tak mau peduli dan kenal dengan orang di sekitarnya. "Mau pesan apa?" Setelah Alba mengatakan pesanannya, Azhar segera mengangkat tangan untuk memanggil pelayan di sana. Menyebutkan satu per satu lantas mengucapkan terima kasih pada pelayan lelaki yang memilih undur diri segera. "Oh iya, Alba, mungkin ini terdengar lancang. Kalau boleh tahu ... di halte malam itu kamu sendirian, sedang ada masalah?" tanya Azhar hati-hati yang membuat Alba menegakkan posisi duduk lantas memangku tangan di meja. Tampak Alba berpikir dua detik lantas tersenyum. "Cuma masalah kecil. Bukan sesuatu yang serius. Semua orang punya masalah 'kan, Mas. Mungkun emang waktu itu saya terlalu berlebihan," jawabnya. Azhar mengangguk-anggukan kepala sambil ikut melemparkan senyum sekilas. Ia mengamati Alba yang tampak memonitor tiap sudut restoran dengan matanya yang cekung. Tersadar akan sesuatu, ia segera menggelengkan kepala berkali-kali sambil menggumamkan istighfar. Sialnya, hawa nafsu setan berhasil memperdaya dan melengabuhinya. "Kamu sendiri sepertinya sedang banyak pikiran, Mas?" Azhar segera mengulas satu senyum. "Biasa, pekerjaan kantor." Lebih tepatnya ditambah berbagai desakan untuk segera ta'aruf. Alba yang mendengar itu menjawab, "Memang terkadang hidup ini memusingkan. Saat bersekolah, semua orang terbebani dengan tumpukan pelajaran, sibuk mencari nilai dan peringkat terbaik. Saat kuliah, semua orang terbebani dengan satu-dua orang teman yang mulai lulus dengan gelar masing-masing. Saat bekerja pun, kita kembali dibebani dengan doktrin-doktrin yang kadang tak masuk akal dari atasan. Bahkan ketika sudah menikah, beban-beban itu justru kian bertambah." Azhar tersenyum melihat Alba yang bercerita dengan raut yang tak mampu dijelaskan. Sesekali gadis itu menyunggingkan senyum tipis, sesekali tampak geram, namun tak jarang pula ia seperti tersulut emosi. "Hidup itu tentang perjuangan, Alba. Bukan hanya itu, hidup juga perihal bagaimana kita bersyukur. Saat kamu merasa sangat ditekan dengan pekerjaan, cobalah keluar sebentar untuk menyaksikan betapa banyaknya pengangguran yang siang malam terdampar bersama penolakan. Ketika kamu putus asa menjadi seorang pengangguran, lihatlah betapa banyaknya hidup sebagian orang yang tak lebih baik dari kita. Setidaknya kita masih bisa makan, dilimpahkan kesehatan oleh Tuhan. Tidak ada dari kondisi seseorang yang tidak patut disyukuri. Jika kita tidak bersyukur, mungkin kita salah memandang tentang apa itu sebuah nikmat," timpal Azhar yang membuat Alba tertegun sekian detik. Untuk dua detik setelahnya, gadis berambut hitam legam itu tampak menipiskan bibirnya. "Seperti dugaanku sebelumnya. Selain tampan, kamu juga baik hati." Dan entahlah apa yang kini terjadi dengan jantung Azhar. Namun yang ia tahu, tubuhnya seolah baru saja disengat sesuatu yang besar. Ada apa dengannya? *** Nanda membuka pintu depan rumahnya lantas masuk. Hal pertama yang ia lihat adalah sosok sang Mama yang duduk di sofa ruang tamu sambil membaca sebuah brosur, entah apa itu. "Assalamu'alaikum, Ma," ucapnya lantas mendekat. Ia meraih tangan wanita itu lantas mengecup punggungnya sekilas. Tampak Mamanya menatap ia sejenak sambil menjawab salam sebelum akhirnya kembali memfokuskan diri pada brosur tersebut. "Mama baca apa?" "Ini, temen Mama buka jasa tabungan. Bunganya lumayan besar karena dia langsung memberikan utang ke orang-orang, tanpa perantara siapapun. Kebetulan Mama bingung mau nabung di mana," jawabnya lantas membenarkan letak kaca mata plus yang bertengger di hidungnya. Nanda menghela napas. Perlahan ia menyentuh tangan sang Mama hingga wanita itu menghentikan aktivitasnya. "Ma, kalau Nanda boleh kasih saran, lebih baik Mama simpan uangnya sendiri. Ketika Mama mendapatkan uang hasil bunga yang sipungut dari seseorang yang berutang, itu artinya Mama memperoleh riba'. Dan riba' itu haram hukumnya," ucapnya berhati-hati. Wanita itu menatap sang putri dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "Coba bayangkan kalau seandainya Nanda yang sedang perlu uang, dan akhirnya Nanda pinjam uang di temen Mama. Padahal untuk makan saja Nanda kesulitan, apa Mama tega memungut bunga yang begitu besar tanpa memedulikan kondisi Nanda?" Brosur yang tadi ada di tangan wanita tersebut dibanting ke meja, membuat Nanda terkejut luar biasa. "Ini yang Mama nggak suka saat kamu memutuskan untuk belajar di pesantren. Sejak awal Mama nggak pernah mengizinkan kamu di sana. Lihat, sekarang kamu berusaha menggurui orang tua. Sesuci apa kamu sampai melarang Mama melakukan ini-itu?" "Astaghfirullah. Nanda bicara seperti ini bukan untuk menggurui atau semacamnya, Ma. Nanda hanya menyampaikan apa yang Nanda tahu, Nanda nggak pernah bisa membiarkan kemungkaran terjadi begitu saja, apalagi ini terjadi pada orang yang sangat Nanda sayangi." Wanita itu bangkit dari duduknya. "Kalau kamu mau menjadi orang yang suci, nggak perlu melibatkan Mama." "Ma." Gadis itu berusaha untuk meraih tangan Mamanya namun segera ditangkis dengan cepat. "Kamu tahu kenapa sampai umur hampir dua puluh tujuh tahun kamu masih sendiri? Itu karena sifat kamu ini! Kamu bukan Tuhan yang suci, lalu untuk apa kamu selalu naif di depan orang-orang? Dan pakaian kamu, untuk apa kamu berpakaian seperti ini?" Wanita tersebut menyentuh gamis yang Nanda kenakan. "Lelaki mana yang mau melirik perempuan seperti kamu!" "Jodoh itu ketetapan Allah, Ma. Nggak ada sedikit pun kaitan antara penampilan dengan jodoh. Kalau sampai sekarang belum ada lelaki yang mau melamar Nanda, itu artinya jodoh belum Allah datangkan." "Omong kosong!" "Nanda justru bersyukur saat tidak ada lelaki yang melirik Nanda hanya sebatas nafsu saja. Itu artinya Nanda dijauhkan dari lelaki yang hanya mencintai Nanda secara fisik, tanpa memandang bagaimana kecintaan Nanda pada agama dan Allah." Plak! Jiplakan tangan wanita itu tampak merah di pipi kiri Nanda. Rasanya sangat sakit. Semua tubuhnya terasa perih, namun tidak ada yang lebih perih dari hatinya. "Bisa-bisanya kamu mencoba untuk mengajari Mama soal agama." Air mata pertama gadis tersebut jatuh. Hatinya sangat hancur. Untuk kesekian kali pertengkaran yang melibatkan fisik seperti ini terjadi. Padahal sebenarnya Nanda ingin sekali mendapatkan kasih sayang dari wanita itu, bukan sebaliknya. "Sedari awal, Mama sangat menentang keputusan Papa untuk memperbolehkan kamu belajar di tempat itu." Dan setelahnya, sosok wanita berambut sebahu itu segera melenggang meninggalkan Nanda yang hanya bisa terduduk sambil membungkam wajahnya. Ia menahan tangis sebisanya. Tidak pernah terpikirkan di benaknya kalau sang Mama mengatakan hal sesakit itu. "Allah, berikan kesabaran untuk hamba. Hamba yakin Engkau mampu membuka pintu hati Mama hamba." *** "Kan aku udah bilang, kalau kamu kesulitan, datang ke sini aja. Kamu bisa bekerja di butik aku," ucap gadis berkhimar tersebut. Wajah ayunya yang dibalut khimar warna biru tua itu tampak bersinar diikuti senyum cantik yang mengembang. Sedangkan gadis lain yang duduk di kursi pelanggan tampan menggeleng. "Udah cukup aku ngerepotin Mbak Nanda." "Alba, kamu ngomong apa sih? Kamu udah aku anggap kaya adikku sendiri." "Mbak udah bantu aku banyak banget. Sudah saatnya aku nggak mengandalkan siapapun, kecuali aku sendiri," jawabnya sambil tersenyum. "Butik Mbak kaya biasanya, rame terus." Nanda tertawa kecil mendengarnya. "Alhamdulillah. Aku juga suka banget sama desain yang kamu saranin waktu itu. Bener-bener match sama konsep yang aku pengin." "Bisa aja, Mbak." "Beneran loh. Oh iya, terus gimana sama hasil wawancaranya? Diterima?" tanya Nanda penasaran sambil membenarkan posisi duduknya. Kepala Alba menggeleng ke kanan kiri. "Besok baru diumumin. Doain semoga aku diterima ya, Mbak." "Iya, insyaAllah aku selalu doain yang terbaik untuk kamu." Baik Nanda maupun Alba saling melempar senyum. "Kamu bawa payung, memang hujan?" Alba mengikuti arah pandang Nanda pada sebuah totebag yang bersandar di bawah kakinya. "Bukan punya aku, Mbak. Inget sama lelaki yang aku ceritain di halte malam-malam itu 'kan?" "Ah, i see. Itu punya dia?" Nanda tersenyum menggoda. "Kamu ketemu lagi sama dia?" "Iya, Mbak. Dua hari lalu. Ternyata dia kerja di perusahaan deket tempat aku wawancara kemarin." "Oh ya? Sebuah kebetulan yang aku rasa memang sudah ditakdirkan," ucap Nanda sambil terkikik. Alba melototkan mata. "Bukan gitu, Mbak. Memang Cuma kebetulan biasa." "Jangan-jangan dia naksir sama kamu." "Mulai lagi 'kan," ucap Alba lantas meneguk minuman di atas meja yang sudah gadis itu siapkan. Hari ini memang Alba memutuskan untuk mampir sebentar di butik Nanda -- sahabatnya, bisa dibilang seperti itu. Keduanya memang sudah saling kenal, sekitar enam tahun yang lalu. Waktu itu Alba adalah seorang kasir di sebuah toserba -- kerjaan sampingannya karena waktu itu ia masih berkuliah. Sedangkan Nanda adalah salah satu pelanggan yang sore itu kebetulan berbelanja di toserba yang sama -- saat itu ia masih belajar di pesantrdn. Entah apa yang sebenarnya terjadi, namun yang jelas dompet berisikan sejumlah uang serta berbagai kartu tidak ada di tas selempang yang ia pakai. Antrian di belakangnya kian mendesah saat Nanda berkutat sangat lama di sana. Dan akhirnya, dengan senyum kecil, Alba berkata, "Mbak bisa bawa belanjaannya." "Tapi ...." "Saya yang bayar, Mbak nggak perlu khawatir." Dan setelah menerima kantong plastik dari Alba, Nanda segera mengucapkan terima kasih dan memisahkan diri dari antrian. Dia memandang wajah Alba cukup lama. Tampak gadis itu sangat kelelahan dengan deretan pengunjung toko yang kian bertambah. Sekali lagi ia mengamati belanjaan yang ia bawa. Struknya masih ada di kasir, mungkin gadis itu sengaja agar ia bisa mengetahui jumlah yang harus dibayar untuk belanjaan Nanda. Alba begitu baik, meskipun saat itu Nanda bukanlah seseorang yang ia kenal. Dan hari berikutnya, Nanda kembali ke sana untuk mengganti total belanjaan yang ia bayarkan namun ia menolak. Sejak saat itulah, keduanya kian akrab. "Kamu suka sama dia, Al?" Gadis itu mendesis. "Aku udah pusing sama yang namanya lelaki. Nggak mau suka-sukaan dulu." "Makanya jangan pacaran, langsung menikah." Alba mengerucutkan bibirnya. "Soal pacar kamu ...." "Mantan, Mbak." "Ya itulah. Dia nggak kasih kabar atau semacamnya?" tanya Nanda hati-hati. Alba hanya tertawa singkat. "Memang Mbak pernah melihat orang kabur memberi kabar? Yang ada dia makin nggak bisa dihubungi setelah meninggalkan tumpukan utang yang sialnya atas nama aku." Nanda menepuk bahu Alba dua kali. "Kamu bisa bilang sama aku berapa utang dia, Alba. InsyaAllah aku bisa bantu." "Mbak, ini urusan aku. Cukup aku yang terlibat. Nggak perlu ada orang lain yang juga masuk ke masalah ini. Mbak tenang saja, aku bisa melewati semua ini." Dan yang dilakukan Nanda hanya tersenyum sambil menggenggam tangan Alba. "Kamu sangat kuat, Alba." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD