BUJUKAN TA'ARUF DAN DIA

1897 Words
*** Takdir dan rencana Allah tidak pernah salah letak dan waktu Assalamu'alaikum, Islam Yakinlah bahwa Allah mendengarkan semua do'a lantas perlahan Dia kabulkan do'a itu di saat yang paling tepat Nadhif Sultonulazhar *** (Komen tiap baris biar rame hehe) *** Azhar mengusap wajahnya pelan. Diliriknya jam weker di atas nakas. Pukul 02.14, pantas saja hawa dingin menggerayanginya tanpa henti. Bahkan selimut tebal yang kini membungkus tubuhnya tak menghentikan satu-dua angin malam yang masuk melalui celah jendelanya. Ia mengerjabkan mata dua kali, menguap sejenak lantas mengalihkan posisi menjadi duduk. Sekian jenak ia mengumpulkan kesadaran, menatap hamparan buku yang ada di rak dekatnya. Entah apa yang tiba-tiba membuat fokusnya teralih, namun dua detik setelahnya ia tersenyum kecil. Menampakkan lengkung segaris. "Gadis itu ...," gumamnya pelan, suara beratnya terdengar serak. "Astaghfirullah, kenapa aku selalu memikirkan dia?" Ia segera menepis pikirannya sendiri, menggelengkan kepala kuat, dan mengumamkan istighfar berkali-kali. "Allah, hilangkan perasaan ini jika hanya mendatangkan nafsu." Dia menengadahkan kepala ke atas, menatap langit-langit kamar yang terhampar di atasnya. Ada apa dengan hati dan pikirannya? Ia tampak menghela napas, masih terdiam di tempatnya. Sudah delapan hari kejadian di halte itu berlalu, namun entah kenapa sosok gadis bertubuh kecil itu tak mampu lepas dari pikiran Azhar. Setiap kali ia terdiam dengan pikirannya sendiri semacam ini, senyum gadis itu terbayang oleh Azhar. Sampai-sampai lelaki tersebut selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan kantor hingga pulang tak lebih awal dari jam delapan malam. Bahkan di rumah pun pekerjaan kantor yang tidak sedang dikejar dateline ia kerjakan. Apa pun asal pikirannya bebas dari sosok perempuan itu. Memilih menyudahi pikirannya yang berkelana ke segala arah, Azhar memutuskan segera bangkit untuk ambil wudhu. Menyingkap selimut tebalnya hingga bulu kuduknya merinding, dingin sekali. Akan tetapi, bukan berarti itu semua menjadi penghalang untuk Azhar beribadah pada-Nya. Sepertiga malam adalah waktu terbaik untuk mengadu pada sang Khalik. Hati Azhar selalu tenang saat melakukan sholat malam, sebab lelaki itu yakin bahwa Allah bersamanya selalu. Ia tidak sendiri. Saat satu per satu persoalan dunia datang padanya, ada lengan kuasa Allah yang siap memeluknya. Saat dunia sedang tenggelam dengan gemerlapnya, ada sajadah yang siap terhampar untuk sujudnya. Saat dunia membuat manusia terbuai akan kemewahannya, ada kesederhanaan sebuah tengadah tangan yang memanjatkan doa. Semua itu terjadi sebab Allah adalah Pencipta yang Murah Hati. Azhar tampak berdiri sebentar di bingkai pintu kamar mandi usai berwudhu, untuk kesekian kali pikirannya kembali menelusuri kejadian di halte waktu itu. "Apa yang membuat aku selalu memikirkan dia? Aku tidak mengenalnya. Bahkan itu adalah pertemuan pertama kali dan kurasa ... jadi yang terakhir. Lalu apa yang membuatnya tidak bisa lepas dariku?" Dengan langkah ringan, lelaki bertubuh jangkung itu mengambil sarung serta peci dan bergegas memakainya. Ia pun menggelar sajadah, berdiri di atasnya lantas mengangkat tangan, "Allahuakbar." Dalam keheningan malam, ia tampak begitu khusu' dengan apa yang ia kerjakan. Wajah kuning langsatnya tampak bersinar pada percahayaan kamar yang tak begitu terang. Pikirannya fokus pada bacaan, meski sesekali ia masih dihantui pikiran yang tak seharusnya ia miliki. Dua puluh menit berlalu. Azhar telah usai dengan ibadahnya. Lelaki itu menggumamkan dzikir dan untuk terakhir kalinya tangannya menengadah bebas ke udara. "Ya Allah, jika perasaan ini adalah sesuatu yang salah, hamba mohon Engkau berkenan menghapusnya. Jika perasaan ini menghalang-halangi hamba untuk beribadah pada-Mu, hamba mohon Engkau berkenan mencabut secepatnya." *** "Kenapa?" Azhar mengangkat kepala ketika suara Ali terdengar. Segera saja lelaki tersebut menggeleng seraya menyugar rambutnya ke belakang. Mereka kini tengah berada di mushola kantor, usai menunaikan sholat dzuhur. Jam istirahat siang masih lima belas menit lagi, namun keduanya telah selesai melakukan keperluan sebab mereka tidak perlu makan siang hari ini. Kebetulan ini hari Kamis, sudah jadi agenda rutin bagi Azhar maupun Ali untuk menunaikan puasa sunnah senin kamis. Ali yang baru usai memakai sepatu kantornya menegakkan posisi duduk di kursi dekat mushola. Matanya mengawasi Azhar yang kembali disergap lamunan. "Cerita sama aku kalau ada masalah. Ada baiknya kamu punya satu tempat untuk membagikan apa yang nggak bisa kamu katakan ke orang lain," ucapnya seraya membenarkan letak dasi. "Aku bingung." Alis lelaki itu naik sebelah. "Soal apa? Pekerjaan?" "Bukan itu." "Lalu apa, sampai-sampai sejak pagi aku ajak bicara Cuma ngelamun." Ditatapnya Azhar yang kini menyandarkan kepala belakang ke dinding, memilih menyudahi kegiatan memakai sepatunya meskipun baru sebelah yang terpasang. "Ummah, Li." "Ada apa dengan beliau?" tanya Ali penasaran, terselip sedikit kekhawatiran di sana. Ali memang sudah akrab dengan keluarga Azhar, Ummah salah satunya. Ia sudah menganggap wanita itu sebagai Ibunya sendiri, sebab Ali adalah seorang perantauan dari Jawa Timur, jarang bertemu dengan sang Ibu. Dan entah kenapa sosok Ummah selalu mengingatkannya akan wanita yang melahirkannya itu di rumah. Ah, dia kembali rindu. "Sama sepertimu, dia selalu bertanya kapan aku akan mengkhitbah seorang gadis. Atau yang lebih sederhana melakukan ta'aruf." Ali lantas tertawa mendengar jawaban Azhar yang membuat lelaki di sampingnya mendecak kesal. "Itu karena Ummah sadar bahwa putranya kian lama makin jadi bujang tua. Takutnya sampai kepala empat kamu masih menyendiri." "Naudzubillah. Omonganmu itu ..." "Tapi Ummah benar, Zhar. Kalau beliau tidak segera mendesakmu untuk menikah, kamu pasti akan selalu menikmati kesendirianmu. Kekhawatiran orang tua itu tidak jauh berbeda," ucap Ali. Azhar memijat keningnya. "Bukan itu saja. Ummah memintaku berta'aruf dengan muridnya di pesantren dulu." "Cantik?" Bibir Azhar mencebik mendengar pertanyaan sang sahabat. "Semua perempuan cantik." Tampak Ali terkekeh. "Terus masalahnya di mana? Kamu tinggal terima tawaran Ummah." "Nggak sesederhana itu, Li. Memang ta'aruf itu adalah jalan untuk perkenalan, salah satu dari kami bisa membatalkan bila merasa nggak cocok. Tapi aku nggak mau membuat hati seorang perempuan terluka akan hal ini. Kamu tahu sendiri, aku belum siap menjalin hubungan dengan perempuan. Dan peluang kalau aku akan menolak melanjutkan ta'aruf ke ikatan pernikahan sangat besar, aku nggak mau membuat hati orang lain sakit." "Kamu yakin bukan gadis itu duluan yang akan menolak melanjutkan ta'aruf kalian. Memang kamu semenarik itu?" Tangan Azhar yang bebas segera menyentil dahi Ali hingga lelaki itu tampak mendesis. Keterlaluan sekali ucapan sang sahabat ini. Bukannya meredakan kegelisahan Azhar, ia justru membuat suasana hatinya kian memburuk. "Tanganmu ringan banget sih," decak Ali kemudian. Tampak Azhar membuang napas sekali, ia memiringkan posisi duduk ke arah Ali. Memilih menyudahi perdebatan tersebut, ia lantas kembali melemparkan tanya, "Aku harus gimana, Li?" "Itu pilihanmu, Zhar," jawabnya, "semua ini keputusan mutlak bagi kamu. Kami -- aku dan Ummah misalnya -- hanya sebagai perantara untuk kamu menemukan seorang gadis untuk jadi pendampingmu. Namun, bukan hakku atau Ummah untuk memaksamu. Kamu bisa memilih menerima atau menolaknya. Tidak ada yang bisa menyetir hatimu, kecuali kamu sendiri. Dan perihal apakah gadis itu akan merasa sakit hati atau tidak, aku yakin dia bisa ikhlas. Itu artinya kalian belum berjodoh." Bahu Azhar tampak melorot, menyisakan sosok jangkungnya yang terlihat begitu kusut. Dua malam terakhir ia tak nyenyak tidur, bahkan ia tak begitu nyaman saat ada di rumah apalagi ketika Ummah sudah membawa pembicaraan ke arah yang berat. "Memang siapa gadis itu?" tanya Ali setelah beberapa jenak keduanya saling diam. Azhar mengangkat kepala untuk menatap Ali. "Namanya Nanda. Seumuran sama aku, dulu dia murid di pesantren Abbah." "Lalu gimana sama dia, bersedia untuk berta'aruf denganmu?" Kepala lelaki itu bergerak ke kanan kiri dua kali. "Aku belum tahu." "Tapi, Zhar ...," Ali.menggantung ucapannya membuat Azhar segera menatap lelaki itu penasaran. "Kamu tidak perlu merasa bersalah apabila menolak kelanjutan ta'aruf dengan dia, itu hakmu. Kecocokan itu tidak bisa dipaksakan. Kamu sangat berhak mempertimbangkan seperti apa dia bila menjadi istrimu kelak. Jadi, kurasa tidak ada salahnya untuk mencoba mengenalnya." Dalam lima detik Azhar tampak disergap kebimbangan. Ucapan Ali ada benarnya. Adalah haknya untuk memutuskan apakah nantinya ia akan mau menerima Nanda sebagai istrinya atau tidak. Tiada larangan bagi seseorang untuk membatalkan ta'aruf apabila dirasa tidak ada kecocokan antara keduanya. Justru apabila keridakcocokan itu ditutupi lalu dipaksa untuk membawa ke jalur pernikahan, takutnya hal-hal yang tidak diinginkan terjadi. Sebuah ujung perceraian, misalnya. "Ada alasan yang lebih kuat mengapa aku enggan menerima ta'aruf dengan Nanda. Karena gadis itu -- gadis bermata hitam legam di halte malam itu. Perasaan apa yang kini tumbuh di hatiku? Kenapa pertemuan malam itu sangat menyisakan bekas mendalam untukku? Ya Rabb, bila jawaban dari penantian hamba adalah dia, mudahkanlah segala urusan agar kami mampu bersatu," batinnya dalam hati. *** Asma : Mbak, tadi Ibu Kontrakan datang nyariin Mbak. Mbak belum bayar uang bulanan sama listrik, ya? Gadis itu mendesah membaca pesan yang baru saja masuk ke ponselnya. Tangannya yang kurus kering perlahan berlari di sana, mengetik sesuatu. Me : Iya, Ma. Ibu marah-marah? Asma : Mbak tahu sendirilah. Tapi dia nggak pergi gitu aja, Mbak. Dia bawa tukang, terus aliran listrik kontrakan Mbak diputus. "Diputus?" monolognya kemudian. Dia berangsur mendudukkan diri di sebuah kursi panjang dekat pohon, memijat pelipisnya pelan. Entah kenapa belakangan ini banyak sekali permasalahan yang datang tanpa ia sangka. Kepalanya seolah hendak meledak apabila kembali memikirkan semua yang terjadi. Me : Wkwk, yaudah sih aku biasanya juga tidur gelap-gelapan. Makasih ya, Asma, infonya. Dia menatap layar ponselnya setelah membalas pesan itu. "Padahal aku takut gelap," desahnya kemudian. Memilih enggan memikirkan hal tersebut lagi, ia menarik sebuah botol air mineral dari dalam tas jinjing yang ia bawa. Memutar tutup botolnya lantas meneguk beberapa kali hingga kemarau di kerongkongannya hilang. Panas sekali. Jakarta masih sama seperti hari biasanya, pengap dan gersang. Polusi di mana-mana, pepohonan rindang nyatanya tak bisa untuk sekadar menghalau panas yang ada. Tangan gadis itu mengusap peluh yang nyaris jatuh dari pori-pori rambutnya yang tampak lepek. "Ternyata nyari kerja aja sesusah ini." Gadis itu menatap hamparan lalu lalang kendaraan yang tumpah di jalanan. Sesekali ia menutup hidung saat deruman mobil tua yang lewat mengembuskan asap hitam. Dia baru saja selesai interview di sebuah perusahaan media cetak yang tak terlalu besar. Nyatanya itu bukan cita-citanya sejak dulu. Jurnalis bukan dunianya. Namun, dia harus menelan mentah-mentah kalau dunia ini tidak begitu adil untuk beberapa orang. Cita-cita dan mimpi itu hanya menjadi sebuah harapan yang dia langitkan dalam doa-doa. Hanya sampai di situ. Keinginannya menjadi seorang akuntan kandas setelah puluhan CV lamaran ditolak. Dan jurnalis dengan gaji pas-pasan adalah jalan terakhir untuknya. Apabila kali ini ia ditolak, ia sudah memutuskan untuk fokus saja pada pekerjaan sampingannya kini menjadi seorang kasir toserba. Dia hanya bisa tercenung mengingat nasibnya kini. "Masa bodoh," ucapnya lalu bangkit. Ia berjalan menyusuri trotoar dengan sepatu flat yang ia kenakan. Sesekali ia menendang kerikil-kerikil yang berserakan menghalangi jalannya. Menghela napas berulang kali, hanya itu yang dia lakukan sepanjang jalan. Namun, tiba-tiba ia berhenti dengan senyum ayu yang perlahan merekah. "Akhirnya aku ketemu sama kamu," ucapnya lalu segera menyeberangi jalan menuju sebuah toko buku. Ia melirik ke arah seorang lelaki yang tampak mondar-mandir di sepanjang rak sembari bibirnya komat-kamit. Gadis itu segera melenggang masuk. "Mau baca ini juga?" tanyanya seraya menarik sebuah buku berjudul La Tahzan yang hendak diambil lelaki itu. "Kamu?" "Mas masih inget sama saya?" tanyanya kemudian. Perlahan lelaki itu -- Azhar -- mengangguk seraya tersenyum canggung. "Oh iya, payung dan selendang yang Mas kasih waktu itu masih saya bawa. Saya bingung mau balikin ke mana," ucapnya. Ia melemparkan sebuah senyum lebar. Azhar lantas menjawab, "Tidak perlu kamu kembalikan, saya sudah memberikannya untuk kamu." "Nggak bisa gitu, Mas. Tetap saja harus saya kembalikan." "Ya sudah, kalau itu mau kamu." Gadis itu menjetikkan tangan. "Kita belum kenalan, Mas. Kenalin nama saya Alba," ucapnya seraya mengulurkan tangan. Azhar terkesiap lantas segera menangkupkan tangan di depan d**a membuat Alba meringis canggung. "Azhar," jawab Azhar tak kalah canggung. Alba segera menarik tangannya lantas menggaruk tengkuk. "Senang bertemu dengan kamu, Mas Azhar." *** To be continue :)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD