Tentang Alba

1711 Words
'Barangkali ada cinta yang kamu beri untuk dia, pastilah Tuhan telah campur tangan di dalamnya.' Assalamu'alaikum, Cinta 'Patah hati terdalam adalah ketika kamu menengadahkan tangan di atas sajadah, sedangkan dia menangkupkan tangan di gereja tanpa lelah.' Nadhif Sultonulazhar *** Alba meniup rambut yang menutupi wajahnya. Dia mendengkus keras. Matanya memonitor sekeliling. Begitu menyadari bahwa tiada orang di ruangan tersebut selain dirinya, ia segera menjatuhkan kepala ke meja frustrasi. Tumpukan kertas yang kini menempel di wajahnya lagi-lagi membuat kepalanya seperti hendak meledak saat itu juga. Bagaimana tidak? Berita yang pagi tadi ia liput tak juga memenuhi standar dari pria tua yang sialnya harus ia sebut sebagai atasannya itu. Seingatnya, semenjak ia bekerja di agensi media cetak tersebut hampir sepuluh hari, hanya ada tiga berita yang benar-benar masuk kabar berita. Sisanya? Menjadi gumpalan kertas yang memenuhi kotak sampah di bawah mejanya. "Ya Tuhan, apa salahnya dengan kabar perceraian?!" desahnya tanpa sadar meninggikan volume suara. "Kamu pikir ini tabloid gosip?" "Astaga!" Alba menegakkan kepalanya lantas melirik ke sumber suara. Ia meringis begitu menyadari keberadaan seorang lelaki yang memakai setelan kemeja dan celana bahan yang berdiri di sampingnya. "Siang, Pak," sapanya kemudian. Lelaki itu tersenyum sebagai jawaban sembari mengoreksi, "Sore." Dan yang dilakukan Alba hanya tersenyum kecut. Alba sangat ingat siapa dia. Lelaki pemilik kulit sawo matang itu adalah salah satu staff editor di sana, bisa dikatakan kalau dia adalah seniornya. Namanya Pandu, menurutnya dia adalah satu-satunya rekan kerja yang paling ramah di sana. "Kamu pikir orang akan peduli dengan berita perceraian di surat kabar?" Alba meringis. "Yang terpenting dalam surat kabar itu berita terkini. Paling aktual. Supaya orang tahu apa yang terjadi di lingkungan. Gosip perceraian dijajakan gratis di televisi, lalu untuk apa lagi orang membaca gosip yang sama di koran?" Pandu terkekeh melihat ekspresi Alba yang tampak berpikir lalu beberapa saat kemudian menjadi masam. Malu lebih tepatnya. "Emang bener aku nggak cocok kerja di sini," gumamnya membuat Pandu yang mendengar menaikkan sebelah alis. Lelaki tersebut duduk di kursi dekat Alba. "Mau berhenti?" "Eh?" Ia terkejut lantas menggeleng. "Nggak, Pak." Pandu membasahi bibirnya. "Menurut saya, nggak ada di dunia ini yang namanya kerja yang cocok atau enak. Semuanya melelahkan dan perlu perjuangan. Petani dan buruh bekerja dengan otot, namun pengusaha bekerja dengan otak. Adil kan? Asal kamu tahu, kalau kamu lelah bekerja namun kamu senang, artinya pekerjaan itu memang sesuai dengan kamu. Tapi, semua itu nggak instan," ucap Pandu kemudian. Alba yang masih memerhatikan tampak sangat tertarik dengan pembahasan Pandu. "Saya dulu jengkel setengah mati saat mengedit berita-berita dari reporter dan jurnalis. Lagi-lagi kesalahan mereka sama. Tanda baca salah, subjek yang diulang-ulang, dan masih banyak lagi. Lalu, apa saya berhenti begitu saja? Enggak. Saya tetap menjalani meskipun itu menjengkelkan. Tapi tanpa sadar semuanya berjalan begitu saja. Saya menikmati pekerjaan saya, dan saya jatuh cinta dengan diri saya sendiri sebagai editor." Pandu menoleh ke arah Alba. Lelaki itu tertawa, membuat gadis yang memakai ID di lehernya itu mengusap tengkuk canggung. "Kamu nggak pulang?" tanya lelaki tersebut. Pandangan Alba otomatis menilik arloji putih yang melingkar di pergelangannya. "Ternyata udah jam pulang," ucap Alba. "Bapak sendiri nggak pulang?" "Ini saya mau pulang, tapi saya lihat ruangan ini masih terbuka jadi saya masuk memastikan." Pandu bangkit dari duduk seraya memasukkan tangan ke saku celana. "Pulang naik apa, Alba?" "Saya naik ojol, Pak. Soalnya bus udah nggak ada jam segini." "Mau pulang sama saya?" tawarnya. "Nggak perlu, Pak." Alba tersenyum. "Kalau begitu saya duluan ya. Jangan lupa kunci pintu dan matikan komputernya." Ia mengangguk sekilas mengiringi kepergian Pandu dari ruangan teraebut. Helaan napasnya terdengar begitu lelaki tersebut menghilang dari pandangannya. Sejurus kemudian, ia menatap arah luar lewat jendela di dekatnya. Untuk sekian detik ia menikmati posisinya. Entah kenapa ia jadi malas untuk pulang ke kontrakan mengingat aliran listrik di sana masih diputus meskipun ia sudah membayar tagihan dua bulan. Yah, bagaimana pun tunggakannya sudah empat bulan. "Oke, mari kita kembali ke kehidupan yang nyata, Alba," kekehnya sembari mengambil totebag yang bersandar di meja. "Hampir seminggu aku bawa ini, tapi nggak pernah ketemu sama Mas Azhar." Ia lantas mematikan komputer di depannya dan segera menyandang tas di bahu kanannya. Setelah mengunci ruangan, ia berjalan dengan irama biasa menyusuri kantor tersebut yang tampak sudah sepi. Tidak ada orang lagi, kecuali seorang satpam yang berjaga sembari berkeliling memastikan kalau ruangan di gedung sudah dikunci semua. Alba menyapa singkat satpam tersebut lantas segera keluar gedung. Ia mengamati matahari yang sudah separuh tenggelam di langit barat. Senja sudah datang dengan kilauan emasnya, membuat wajah Alba begitu bersinar terkena kilaunya. Deringan ponsel di saku membuat gadis dua puluh empat tahun itu segera meraih benda tersebut. [Nomor tak dikenal] : "Dasar gadis s**l*n, pergi ke mana kamu. Lunasi utang pacarmu dulu, jangan jadi pengecut yang selalu bersembunyi!" Tanpa pikir panjang, ia menghapus pesan tersebut dan segera memasukannya kembali. "Aku nggak tahu, seberapa banyak orang yang sudah dimintai utang oleh dia," desahnya lagi. "Alba!" Ia segera menoleh. "Papa?" Lelaki paruh baya yang memakai kaos polo hitam tersebut segera menarik tangan Alba. Setelah menemukan tempat sepi, ia menghempaskan tangan gadis tersebut hingga ia meringis. "Jadi, kamu udah kerja?" tanya lelaki tersebut sambil tersenyum miring. "Ada apa Papa cari aku?" Mata Alba sudah merah, guratan di lehernya tampak sangat jelas. "Karena Miko?" Lelaki itu hanya diam dengan tangan terkepal. "Apa lagi yang dia mau dari Alba, Pa? Sudah cukup Alba mengalah dari dia. Semua yang Miko perlu, sudah Alba kasih." "Belum semua." "Pa." "Dia adik kamu." "Adik tiri tepatnya," potongnya cepat. "Jadi, kamu merasa sudah berguna dengan ginjal kamu untuk dia?" Sang Ayah segera mencengkeram bahu Alba keras. "Adikmu sekarang sedang berjuang dengan penyakitnya. Dan kamu di sini hidup dengan tenang seolah nggak terjadi apa pun." "Bukan berarti semuanya harus Alba kasih, Papa! Alba juga masih ingin hidup. Gimana hidup Alba ke depannya tanpa sepasang mata?" "Lalu, gimana sama hidup Miko?" "Pa! Aku ini juga anak Papa. Kenapa selalu Miko yang diutamakan?" "Kamu anak Mama-mu." Alba memejamkan mata. "Alba harus pergi." "Alba!" Tanpa memedulikan keberadaan sang ayah yang masih tercenung di tempatnya, gadis itu segera berlari. Tangannya mencengkeram totebag dengan kasar. Seolah hendak melampiaskan kemarahannya pada benda tersebut. Tangannya yang kurus kering mengusap air mata yang entah sejak kapan telah berandang. Sebelum ia benar-benar berbelok dari samping gedung tempat ia berbicara dengan sang ayah tadi, ia dikejutkan dengan kehdiran seseorang yang berdiri di sana. Alba segera mengulas senyum tipis. "Mas Azhar?" ucapnya kemudian. Tidak ada jawaban dari sosok Azhar di depannya. "Mas denger semuanya ya?" Ia bertanya seraya meringis, seolah menutupi perasaannya yang tengah dirundung kemarahan. "Mau saya antar?" *** Alba mengamati sosok Azhar yang menyetir di jok depan sambil tersenyum kecil. "Mas Azhar nggak ngerasa jadi sopir kalau saya duduk di belakang kaya gini?" Mata Azhar menelisik wajah Alba yang tampak berantakan dari cermin di dekat kepalanya. "Maaf kalau kamu nggak nyaman." "Ey, aku Cuma becanda, Mas." Azhar menipiskan bibirnya melihat betapa tangguhnya Alba setelah apa yang tadi terjadi. "Tadi ... Papa kamu?" "Iya," jawabnya seraya mengangguk. "Meskipun aku selalu berharap kenyataan itu Cuma omong kosong." Lagi, entah kenapa hati Azhar begitu tercubit dengan secarik senyum di sudut bibir Alba. "Kamu nggak perlu tersenyum saat hati kamu ingin menangis, Alba." Sontak hal itu membuat Alba memegang wajahnya sendiri. "Memang kelihatan banget?" tanyanya lantas tergelak. "Kata tetangga kontrakanku, aku ini memang nggak pintar berbohong, Mas." Azhar hanya diam mendengar tawa kecil Alba yang tak kunjung usai. Semakin gadis itu berusaha untuk menutupi kesedihannya dengan tersenyum, semakin jelas pula kepedihan itu tergambar. Lima menit setelahnya, Azhar mendengar gadis itu menghela napas sangat panjang. Saat ia coba mengamati dari kaca, tampak gadis itu hanya menunjukkan ekspresi kosong sambil melemparkan pandang ke luar jendela mobil. "Kamu bisa cerita kalau ada masalah." Alba tersadar. "Mas tadi denger semuanya ya?" "Soal apa?" "Keluarga saya." Tak ada lagi cetak senyum yang menghiasi wajah kecil Alba. Semuanya seolah raib. "Seperti yang Mas Azhar duga, hubungan saya dengan Papa saya nggak baik. Apa lagi setelah Papa saya menikah bahkan saat saya baru berusia dua tahun dan masih menjadi suami Mama saya." Azhar hanya diam menyimak. "Beliau punya anak, namanya Miko. Sejak kecil Miko sakit-sakitan. Papa selalu bujuk saya untuk mendonorkan ginjal untuk Miko, karena sakitnya sudah begitu parah," lanjut Alba sambil menerawang ke udara. "Dan bodohnya saya setuju, Mas." Gadis tersenyum tersenyum pada Azhar. "Jahat banget 'kan saat saya menyesali perbuatan untuk menolong adik saya sendiri?" Entah apa yang harus Azhar lakukan sekarang, ia sendiri tak sanggup menduga. "Jujur, saya melakukannya karena Papa, saya ingin dicintai juga. Meski terdengar naif, tapi saya hanya mengharapkan cinta dari beliau. Namun, semua itu nggak pernah terjadi. Justru Papa nggak pernah menghubungi saya ataupun Mama setelah operasi itu, bahkan sampai Mama meninggal. Dan sekarang, Papa kembali membujuk saya untuk mendonorkan kedua mata saya untuk Miko setelah syaraf mata adik saya terserang penyakitnya." Gadis tersebut menyentuh pipinya yang sudah dibasahi air mata. "Apa saya egois saat menolak untuk melakukan itu?" "Kamu nggak egois. Sama sekali." Alba menggigit bibir bawahnya sendiri lantas berucap, "Iya 'kan, Mas?" Ia tertunduk lesu seraya meremas jemarinya yang ada di pangkuan. Hari ini ia merasa sangat lelah. Pikirannya begitu kacau. Entah harus bagaimana ia bertindak, yang jelas ia hanya ingin istirahat sejenak. "Saya malah mellow banget, Mas." "Semua orang berhak menunjukkan kepedihannya, Alba. Nggak semua hal harus kamu tutupi. Allah menciptakan air mata agar kamu bisa memberitahu orang-orang kalau kamu juga punya masalah. Dan tugas kamu adalah bangkit setelahnya. Allah juga menciptakan hati untuk merasakan segala bentuk rasa." Alba meraup udara di sekitarnya. Menetralkan sesak di dadanya. Untuk pertama kalinya aku menangis di depan orang lain dan semuanya terasa melegakan setelahnya. "Mas tahu kontrakan saya?" Azhar tertawa kemudian. "Saya hampir lupa. Dari tadi Cuma muter-muter di sini." "Karena saya keasikan cerita," ucap Alba kemudian dengan kekehan kecil. Sedangkan lelaki yang duduk di jok depan tersebut ikut tersenyum kecil. "Masih jauh?" "Lumayan, Mas. Kira-kira 20 menit lagi." "Kita sholat Maghrib dulu, nggak papa 'kan?" tanya Azhar sembari mengamati kaca di atas kepalanya. Ia melihat Alba seperti terkejut sejenak. "Aku nggak sholat, Mas." Tangan Azhar menepuk jidatnya sendiri. "Ya Allah, kenapa saya nggak tanya dulu kamu halangan atau enggak." "Bukan, Mas. Bukan itu," ucapnya sambil menggelengkan kepala. Dengan agak canggung, Alba mengeluarkan sesuatu yang sejak dulu menggantung di lehernya. "Aku non muslim." Kaki lelaki tersebut otomatis menginjak pedal rem setelah melirik tangan Alba yang memegang kalung salib di belakang. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD