Sepekan berlalu dari hari paling menyenangkan itu. Malika masih bertabur suka cita atas kemuliaan yang diberikan Aris untuknya. Biar Helena menggonggong apa pun juga, Aris tetap di sisinya, melangkah bagai pelindung tampan Malika.
“Mana kemejaku yang biru, Malika?” tanya Aris ketika melihat warna putih pakaian yang disiapkan Malika untuknya pagi ini.
Malika mengerjap bingung, “Bukannya kamu harus pakai putih setiap hari?”
Aris beralih ke lemari membongkar gantungan yang banyaknya warna putih kemeja di sana. “Hari ini aku mau pakai yang biru.”
Malika menghampiri suaminya lalu melihat-lihat isi lemari pula. “Biar Malika carikan.” Aris langsung menyingkir ke tepi kursi. Dalam lima detik kemudian pakaian yang diinginkan suaminya sudah Malika dapatkan. “Ini?”
Senyum mengembang di wajah Aris membuatnya tampak makin tampan. Mengikis jarak Aris lantas memasangkan kemeja yang mereka bicarakan.
“Kenapa tiba-tiba mau pakai ini?” tanya Malika heran.
Aris hanya menatapi cermin selagi memperbaiki rambutnya juga. “Ada yang bilang bosan lihat atasan mereka pakai warna itu-itu saja.”
Malika menampilkan rengut wajahnya, “Mereka berani bilang begitu?”
Aris berbalik kepada istrinya, “Demi kenyamanan bersama, apa salahnya? Ganti suasana baru.”
Malika akui kulit putih bersih dan mulus Aris benar-benar cemerlang dengan warna biru kemejanya. Namun, dalam hati Malika tak suka ada perempuan perhatian kepada Aris selain dirinya.
“Aku berangkat dulu,” pamitnya mengecup singkat kening Malika.
Malika langsung hilang akal dari sebalnya. Mengekor langkah menghantarkan suaminya kerja hingga pintu masuk rumah. “Jaga hati. Ingat di rumah ada Malika.”
Aris mengerling singkat, “Titip Mama, ya.”
Malika mengangguk saja, meski hati tak suka tetap senyum yang dilebarkannya.
Menjauh mobil suaminya dari halaman, mendesah pula napas Malika keluarkan. Ia bersandar kepala di kusen pintu sambil menatap jauh pada suaminya yang kini hilang dari pandangan. Hanya bisa berharap dan berdoa semoga saja ibu mertuanya lebih baik lagi hari ini. Malika mundur lalu menutup pintu.
Beranjak ke dapur, Malika menghela napas sambil berkecak pinggang kepada tumpukan kain beraroma busuk di keranjang cucian. “Mari kita bertengkar! Ayo, lawan aku! Tak apa satu lawan seribu. Aku siap! Ayo, Malika. Kamu punya dua tangan, mata yang jeli dan tekad yang kuat!”
Malika mulai aksinya dengan semangat berkobar. Lebih baik ia berurusan dengan benda mati daripada mulut-mulut penuh maut yang selalu menyakiti hati.
Malika mengendus aroma dari kemeja bekas pakai suaminya. Harum menenangkan itu membawa Malika sedikit kepada jatuh cinta pandang pertamanya terhadap Aris. Malika sangat mencintai suaminya, tapi mereka belum kunjung memiliki anak padahal menurut keterangan dokter mereka berdua sangat sehat dan memiliki peluang besar untuk memiliki keturunan. Saat merogoh saku celana kerja suaminya Malika menemukan sesuatu. Matanya lekas membola mendapati kertas undangan pesta yang seolah kartu emas untuk meluluhkan sang mertua. Malika melengkungkan senyuman semangatnya, kesempatan ini tidak akan ia sia-siakan lagi. Diusap Malika lambang perusahaan Danuarta di sudut atas kertas dengan rasa rindu yang disembunyikannya jauh dalam diam. Mungkin ini saatnya untuk kembali utuh sebagai Dwita Malika?
***
Helena curiga. Sudah semua cemooh dan hinaan ia berondong kepada menantunya, tapi hari ini Malika seolah menulikan telinga dan menutup rapat pintu masuk kekecewaan dan terluka. Sejak Helena pulang dari pasar pagi tadi hingga kini, menantu menyebalkan itu tampak seperti hilang akal. Malika bersenandung, tersenyum penuh, serta mengusik pandangan Helena dengan kegembiraannya. Helena benar-benar merasa lelah dan bosan dengan keberadaan menantunya yang terlihat polos dan lugu. Ada kebencian yang amat sangat sulit ia abaikan kepada Malika. Entah, apa pun yang membuat perempuan muda itu takut dan diam menahan marah akan membuat Helena merasa senang serta menang darinya. Permainan mereka sudah satu tahun, Helena mulai ingin menyingkirkan Malika dari hidup putranya yang sangat baik. Malika hanya beban dan menyebalkan. Sudah saatnya Helena punya menantu baru, seperti mantan Aris yang pekan lalu datang, Sita.
Helena mendengus. Kebiasaan sore hari mereka adalah duduk di serambi rumah sambil menikmati teh sore selagi menunggu Aris dan Carisa pulang beraktivitas. Sudah jauh Malika duduk darinya tetap saja Helena risi, jijik serta muak menghirup udara satu radius dengan menantunya itu. Kendaraan yang masuk halaman menyela murka dalam diam Helena.
Senyum mengembang Malika muncul bersamaan dengan mendekatnya mobil sang suami tercinta. Malika sudah tak sabar ingin melompat masuk dalam pelukan Aris, tetapi keberadaan Helena terpaksa mencegah niatnya.
Salam, sapa, dan senyum pertama sekali Aris beri untuk ibu dan istrinya. “Tumben damai?”
Helena langsung mendengus, memalingkan wajahnya. “Ada yang mau Mama bicarakan sama kamu.”
Aris melemaskan bahunya. Malika sekedar mereguk liurnya, mencuri pandang kecil kepada Aris.
“Masuk kamar dan tunggu, Malika. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu juga,” kata lelaki itu serius.
Malika lantas patuh titah suaminya. Meninggalkan mereka di serambi yang kembali tenang.
“Bisa-bisa Mama stroke kalau ditinggal berdua dengannya lebih lama.”
Putranya membawa masuk Helena. “Mama sungguh-sungguh ingin Aris bercerai?”
Helena menampar punggung putranya, “Kamu harusnya balikan sama Sita saja! Kenapa pula pakai mengaku Malika istri kamu pekan lalu?!”
Aris mengangguk-angguk pelan lalu menyunggingkan senyum miring. Ia pun sudah mulai bosan mendengarkan pertengkaran dan adu siapa benar antara istri dan ibunya.
“Kamu sekarang beda sama kamu yang dulu, Aris! Kamu tampan, gagah, dan mapan. Perempuan mana saja pasti takluk kepadamu. Mengapa malah mempertahankan gadis desa merepotkan itu?! Lihat mukanya saja bikin kepala Mama berdenyut!” keluh Helena penuh gelengan kepala.
Aris mengambil tangan ibunya. Dengan sangat santai ia berkata, “Mama sangat suka Sita?”
“Ya! Siapa yang tak mau punya menantu cantik, modis, dan wangi seperti dia? Mama maunya kamu menikah dengan perempuan begitu, Aris. Bukan macam Malika yang sok polos dan lugu. Muak Mama lihat dia. Gadis peternak ayam saja belagu!”
“Ya sudah, Aris akan kabulkan keinginan Mama,” putusnya bulat.
Helena tersentak kaget. Beberapa saat ia pandangi senyum tampan putra berharganya itu. “Kamu serius?”
“Ya.” Aris mengangguk pelan-pelan. Buat apa pula ia pertahankan Malika jika Sita yang diinginkannya siap kembali ke pelukan. “Tujuanku mengenalkan Malika pekan lalu untuk membuat Sita cemburu, Ma. Hanya itu.”
Helena tampak merentangkan senyumnya. “Pintar, anak Mama. Lalu?”
Senyum licik Aris keluar juga, mirip ibunya. “Malam ini Aris akan ke pesta dengan Sita.”
“Malika, bagaimana?” Bukan Helena peduli akan perempuan rendah itu, tetapi ia ingin melihat Aris menginjak Malika juga. “Kamu akan menceraikannya?” tanyanya semangat.
Aris tak peduli apa yang akan menimpa Malika. Gadis malang dan polos itu sudah tak berguna lagi baginya. “Aris janji, Sita yang akan mengandung cucu Mama, bukan gadis peternak ayam yang bau amis dan menjijikkan!”