Rencana

1247 Words
Malika dengan mulut rapat serta jemari tak tenang menunggu suaminya menghampiri kamar. Titahnya hanya Malika harus menunggu, tapi terasa begitu lama Aris mendatanginya. Kepala Malika penuh pikiran buruk tentang apa saja yang mungkin dimodifikasi Helena untuk membuatnya bertengkar dengan Aris lagi. Yang membuat Malika gugup sekali adalah momennya. Malam ini Malika harus datang ke pesta itu bersama suaminya. Malika harus menyibak siapa dirinya dan membuat namanya terangkat di keluarga Aris. Jika bukan malam ini kapan lagi kesempatan bagi Malika untuk jadi diri sendiri datang. Malika terlonjak bangkit saat pintu kamar berayun pelan. Wajah lelah Aris mendatanginya. Mulai pikiran tak nyaman menyelusup ke dalam benak Malika. “Aris...!” panggilnya pelan. Lelaki itu langsung menaikkan satu tangannya ke udara, pertanda dia belum siap mendengarkan Malika. “Bukan aku tidak mencintaimu, Malika. Kondisi Mama yang tidak bisa lagi satu atap denganmu.” Kalimatnya sungguh merdu, tapi tak menyejukkan. Malika masih berpikir yang baik, mungkin saja ada peluang Aris membawanya keluar dari rumah ini, terpisah dari Helena dan Carisa. Namun, raut serius Aris yang lelah menampilkan lebih banyak hal, termasuk bosan dan pasrah. “Aku serius. Kamu harus kembali ke rumah nenekmu di desa.” “S---sendirian?” tanya Malika hampir hilang suaranya di tenggorokan. “Ya.” Malika menggeleng keras sambil menutup mulutnya. Tatap teduh Aris tak mampu menghalau ketakutan yang singgah perlahan. Rasa percaya dirinya makin detik makin hancur. Perjuangannya sudah jauh untuk Aris, tak akan mau ia melepasnya begini saja. Aris mendekat, meletakkan tangan di pundak Malika. “Kamu tahu, Malika. Kamu memang tidak bisa di sini. Mana mungkin kamu tinggal bersama ayah dan ibu tiri jahatmu. Tetapi, aku tidak bisa pula melindungimu lebih lama lagi, Malika. Aku sungguh turut prihatin. Aku harus memilih ibu yang melahirkanku dan membesarkanku ‘kan daripada ... kamu. Sekalipun cinta kita begitu tulus adanya.” Malika merasa berat pada pundaknya bertambah. Mengalir dari nada sedih Aris kepada jantung Malika yang sakit seketika. Dalam sekejap dihempas Malika tubuhnya ke pelukan Aris, tangisnya turun tak berhenti hingga berjejak basah kemeja biru Aris. “Tidak bisakah kita mengontrak di sekitar sini saja?” Aris melerai pelukan, mengusap air mata Malika, “Jangan begini, Malika. Patuh saja keinginanku. Aku tidak ingin melepasmu dengan pertengkaran. Aku pun tak suka mendengar tuduhanmu atas Mama.” “Aku tidak pernah menuduh Mama. Yang kukatakan tentang beliau selalu apa adanya yang terjadi, Aris,” Malika membela diri. Aris menggeleng keras. Ia jauh lebih tahu apa yang sebenarnya terjadi. Memang selama ini sengaja ia menutup mata sambil berharap Malika meminta cerai darinya. “Keputusanku sudah bulat, Malika. Sepuluh juta akan kusiapkan untuk bekal kepulanganmu. Besok pagi aku akan izin kerja demi mengantarmu kembali ke Nenek Dania. Tahanlah sesaat lagi. Kamu bebas setalah ini.” Lepas berkata begitu Aris menjauh. Lelaki itu menyampir handuk lalu berlalu jauh keluar kamar. Malika tak kuasa menahan derai air matanya. Namun, refleks ia menemukan lagi undangan pesta yang berharga itu saat menyiapkan pakaian ganti suaminya. Ini kesempatan Malika. Belum sempat Aris mengenakan pakaian, Malika sudah menanti dengan undangan di tangan. Mata sembapnya menatap serius sang suami yang masih berbalut handuk. “Ini, kamu akan ke pesta ini, bukan? Izinkan aku ikut.” “Malika...!” tegur Aris malas. “Sudah! Keputusanku tidak bisa diganggugugat. Pahamlah.” Malika menggulung bibir. Mungkin saat ini ia terlalu tergesa, maka Malika mundur dulu, membiarkan Aris dengan keperluannya berganti pakaian lebih dulu. Gerakan Aris biasa saja, Malika yang menunggu sesak sendiri mendapati sang suami bersiul dan senandung riang di depan cermin sementara hati Malika retak, seolah tak ada makna cinta dan kesedihannya. “Jangan bahas ini lagi, Malika,” tegur Aris ketus. Malika pun diam. Tak berguna membujuk Aris saat ini. Lepas Magrib Aris terlihat sibuk mematut diri di depan cermin, sesekali ponselnya memunculkan bunyi. Tiap kali dering terdengar, gegas Aris menyambar ponselnya. “Aris...!” “Hm?” tanya lelaki itu masih fokus ke ponselnya saja. “Aku harus datang ke pesta itu malam ini. Aku ingin ---“ Aris menempelkan ponsel ke daun telinga, “Ya, di depan? Ah, baiklah.” Senyum semringah Aris melewati Malika begitu saja membuat perempuan cantik itu menghela napas sesak di dadanya. Malika tahu pukul 19.00 acara dimulai, maka ini waktunya Malika mengeluarkan gaun paling bagus miliknya. Tak sampai 15 menit Malika sudah puas dengan penampilan sempurnanya. Sayang, Malika tak punya sepatu indah di sini, tapi segera Malika menenangkan hatinya, bahwa ia bisa meminjam dari Carisa. Namun, saat Malika keluar kamar yang menyambutnya justru suara gelak tawa dan senda gurau anggota keluarga Aris bersama seorang perempuan. Malika berdiri mematung, hilang kepercayaan diri di muka pintu menuju mereka. “Mau ke mana, Malika?!” tanya tajam Helena setelah menilai singkat penampilan menantunya. Hening suasana dalam sekejap. Semua mata mereka menampilkan tatapan cemooh yang sama, termasuk Aris. “Mmh ... Malika akan ikut Aris, Ma. Malika punya kepentingan khusus di sana,” ujarnya perlahan sempurna. “Kepentingan khusus?” “Apa maksudnya, Aris?” tanya perempuan molek yang kalau Malika tak salah ingat namanya Sita. “Tidak, Sita. Jangan salah paham. Aku pun tidak tahu yang dia bicarakan, yang jelas, kamu adalah pasangan pestaku malam ini,” Aris menjelaskan. Senyum Sita manis terlihat, tapi Malika merasa ada yang salah dalam situasi mereka saat ini. “Aku istrinya. Aku yang akan ikut bersamanya.” Aris mendengus jelas. “Malika, aku mempertahankan hubungan kita sekedar karena kasihan padamu. Kamu harus hidup berkubang kotoran di kandang ayam, itu menyedihkan bagiku. Namun, aku juga harus bahagia, Malika.” Malika tersentak hingga tak bisa berkata-kata. Entah bagaimana semuanya berubah begitu cepat. Aris seolah belum pernah dikenalnya sama sekali. “Ayo, Ris. Katakan,” pacu Helena mengompori putranya. “Sita ingin mendengarnya langsung, kan?” Sita yang ada di sana mengangguk perlahan, “Aku tidak mau disebut pelakor. Bukan aku yang mendekati kamu. Kamulah yang mengejarku.” Aris bangkit mendekati Malika lalu tiba-tiba saja selembar kertas dipampangkannya. “Ini surat cerai, Malika. Tandatanganilah. Aku tahu kamu tidak bisa hidup lebih baik tanpaku, tetapi aku tidak bisa terus mengorbankan kebahagiaanku sendiri untuk dirimu.” Malika tak mau menerima surat itu, apalagi sampai membubuhkan persetujuannya. “Aris ....” Suaranya serak oleh tangis yang tercekat di tenggorokan. “Bukankah selama ini kita saling membahagiakan?” Helena berdiri cepat, secepat emosinya mengalir naik. “Sudah kubilang, Malika. Kamu di sini bukan karena Aris mencintaimu. Kamu sekedar perempuan bodoh dari desa, peternak ayam dengan keterbelakangan hidup yang tak layak bersanding dengan putraku.” Malika belum ingin percaya. Helena memang tak pernah menyukainya. Sudah biasa juga Malika dengar kalimat serupa itu dari snag mertua. “Aku lebih kenal putraku daripada kamu mengenalnya, Malika,” remeh Helena melipat tangan di d**a. Malika pun kenal mertuanya itu. “Apa sebabnya Mama sulit sekali melihat ketulusanku? Mama ingin menantu cantik, kaya, dan apalagi?” tantang Malika lantang, “Malika punya itu semua, Ma! Malam ini akan Malika buktikan ---“ “Bukti? Aku yakin kamu memang punya sedikit warisan dari nenekmu,” sahut Helena remeh. “Kandang ayam, Ma,” senggol Carisa pula. “Atau kebun sayur.” Malika menggeleng. Semua yang dikatakan mereka sekedar yang terlihat di luar. “Sebenarnya aku adalah ---“ “Cukup, Malika!” pungkas Aris. Rahangnya mengeras diiringi tatapan garang mengancam. “Aku muak sama kamu!” Malika mengerjap bingung, tak menyangka. “Aris ....” “Aku bahkan tidak suka kamu memanggil namaku lagi. Jujur saja, aku menikahimu bukan karena cinta atau apalah yang ada dalam anganmu. Aku menikahimu sekedar sebagai syarat untuk klaim hadiah taruhanku!” “T---taruhan?” Malika terbata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD