Senandung kecil terdengar dari bibir perempuan yang sedang mengelap furnitur. Riang, hangat, dan tenang suasana rumah saat ini, saat tak ada siapa pun selain dirinya dalam bangunan ini. Dwita Malika, pemilik nama indah itu sampai membagi senyumnya kepada cermin besar di ruang tamu. Mendadak lenyap senyum dan senandung dari bibirnya ketika menemukan titik hitam bermunculan serta kantung mata yang menghitam pula pada pantulan. Noda yang merusak ciptaan indah Tuhan pada dirinya. Malika merengut, haruskah ia menyesali keputusannya setahun lalu?
Suara kendaraan lantas membuyarkan semua kedamaian Malika. Bergegas ia ke pintu dan mempersilakan ibu mertuanya yang baru pulang dari pasar untuk masuk. “Panas dan ramai sekali di sana!” ucap beliau sambil menyeka keringat dari pelipisnya.
Malika mengambil barang-barang dari motor Helena dan membawa masuk belanjaan ibu mertuanya tersebut. Sudah di ujung lidah kalimat balasan akan Malika keluarkan, tapi ia urung demi menjaga perdamaian dan kondisi aman dirinya. Malika tetap harus mendengar keluhan yang sama dari mulut ibu mertuanya setiap pagi. Aneh saja, seolah rangkaian pararel yang terjadi pagi ke pagi di sekitar mereka.
Malika melongok ke dalam kantong belanjaan. Pada saat itu pula mata tajam Helena menelisik gerakan menantunya itu. “Mama beli banyak barang. Teman Mama mau datang. Kenapa? Kamu tidak suka?!”
Nada tinggi beliau langsung membuat gerakan Malika menjadi gesit menuju dapur. “Malika tidak bicara apa-apa, Ma.”
“Tapi kamu pasti memikirkan sesuatu, Malika,” kejarnya. “Kamu pikir aku menghambur-hamburkan uang Aris, bukan?! Kamu itu hanya istri, aku ibunya! Kamu sengaja membuat tensiku terus naik, berharap Mama mati lalu kamu bisa menguasai harta Aris ‘kan?!”
Malika menggeleng pelan saat meletakkan semua belanjaan di meja dapur. Tuduhan itu amat tidak beralasan bagi Malika, tapi itu hal yang paling ditakutkan sang mertua. Yang mereka lihat Malika hanya si gadis desa peternak ayam. Mereka berpikir Malika bertahan hanya untuk harta dan uang Aris Afifatur, putranya.
Helena berdecak lidah sambil menggeleng heran, “Sadar diri, Malika! Kamu itu mandul! Gadis desa! Pengangguran! Kamu sama sekali tidak pantas bersanding dengannya! Banyak pilihan lain dan lebih layak untuk Aris! Malang sekali putraku menikahi gadis desa sepertimu!”
Malika membiarkan kalimat hinaan Helena memanasi telinganya. Perlahan di kepala Malika mengenang penolakan Helena atas dirinya sebagai menantu. Helena baik sekali pada awal Malika datang, setelah mulai Aris kembali bekerja, sang mertua mulai pula menampilkan sisi lain dirinya.
Padahal Malika sama sekali tak berpikiran seperti yang dituduhkan Helena. Malika bahkan tak memegang uang Aris sama sekali. Malika memang dari desa, tapi dirinya sama sekali tidak buruk untuk bersanding dengan Aris. Malika mengatupkan bibirnya rapat. Tak boleh ia melonjak daripada menanjak tensi mertuanya. Aris berpesan Malika harus sabar menghadapi ibunya itu, beliau punya riwayat sakit jantung. Malika sungguh tak mau Helena mengalami stroke dan menambah beban hidupnya.
“Kamu bakal diam saja di situ atau membantu Mama, Malika?!” teriak Helena lagi.
Merebak panas telinga Malika mendengarnya. Namun, tak bisa dibalas apa-apa selain manut saja titah yang mulia ibu mertua. Sekedar suara benturan pisau dengan kayu talenan saja mengisi keheningan di antara mereka.
Melihat ekspresi bangkang Malika, kembali menarik kata kasar keluar dari bibir Helena. “Kenapa? Kamu menyesal nikah sama anakku, hm?!” Telunjuknya terangkat mendorong kening Malika mundur. Tatapan berisi kebencian Malika dapati dari sang mertua.
“Lihat muka kamu saja buat naik darah!” Helena bangkit sambil menghempas celemeknya kepada Malika, “Kamu kerjakan semuanya sendiri!”
Malika memejamkan mata singkat saat kain kasar itu menghantam wajahnya. Perlahan saja ia mendongak kepada ibu mertua sambil menekan perasaannya, tetapi sosok bengis itu sudah menjauh cepat dari area dapur. Malika sekedar mengembuskan napas panjang dengan tangan mengepal. Diedarkannya pandangan pada bahan-bahan yang ada di depan. “Baiklah. Jadi seperti tuyul saja, Malika. Kerja tanpa suara, biar hasilnya yang bicara. Semangat, Malika!”
Sedikit demi sedikit Malika menyelesaikan satu per satu segala hal hingga waktu yang diberitahukan ibu mertuanya datang. Malika berniat menyetrika pakaian saja saat nanti teman-teman Helena tiba. Ia bisa beralasan pekerjaan rumah jika para ibu-ibu penuh drama itu memintanya ikut sebagai objek cemooh mereka. Namun, dugaan Malika melenceng jauh. Yang datang bukan para perempuan paruh baya dengan aksesoris norak mereka melainkan rekan kerja suaminya yang cantik, rapi, dan wangi penampilan mereka.
“Sudah disiapkan, belum?” sapa Aris dengan seluruh senyum menghampiri Malika yang terdiam di pintu utama. “Mama bilang ‘kan, kalau teman kerjaku bakal datang untuk perayaan kecil aku naik jabatan?”
“Malika pikir hanya teman arisan Mama.” Suara Malika hampir tenggelam karena kagetnya.
“Tapi sudah disiapkan, bukan?!” Lembut suara Aris bagai pisau bergerigi tajam.
Malika lantas mengangguk cepat. Kepada beberapa orang yang ikut Aris pulang Malika lebarkan senyumannya, “Mari silakan masuk.”
“Adik kamu, Ris?” tanya salah satu lelaki dari rombongan itu.
“Ayo, masuk!” sela Helena menarik salah satu dari mereka, “Kalian pasti lapar, kan,” tambahnya semringah.
“Boleh daftar jadi ipar?” sahut yang lain lagi dengan senyum usil. “Bu, boleh, ya, saya jadi menantu Ibu,” guraunya kepada Helena.
Helena tersenyum malu-malu lalu menepuk lelaki itu pelan di lengan, “Dia pembantu. Carisa jauh lebih cantik, muda, dan menarik daripada dia.”
Lelaki itu melongo melihat Malika. Kemudian suara Aris mengalihkannya, “Masuk sana!”
Malika termenung melihat senyum canda suaminya sementara ia masih tertinggal pada kalimat Helena yang memperkenalkannya sebagai pembantu bukan menantu. Harapnya Aris akan mengangkat nama Malika, tetapi tak kunjung terjadi hal itu.
Helena menyambar lengan Malika yang melamun lalu membawanya kabur ke dapur. “Jangan bicara apa-apa kalau kamu itu istrinya!”
“Tapi, Ma. Malika memang istri Aris,” protes Malika.
Helena mendelik tajam. Lebar kelopaknya seolah akan menggelindingkan bola mata sang mertua. “Cepat, bantu layani mereka!”
Malika mau tak mau kembali ke ruang tamu. Cerita, celoteh, canda, dan tawa mereka seolah mengejeknya. Namun, pertolongan itu akhirnya datang ketika Aris menggenggam jemari Malika di depan mereka semua. Malika hanya melongo, terpesona lagi dan lagi kepada suami tercintanya itu. Aris menampilkan senyuman hangat serta lembut. “Kamu harusnya berpakaian lebih baik, Sayang.”
Semua gerakan teman-teman Aris jadi terjeda oleh romansa Aris kepada Malika. Pipi perempuan lugu itu langsung memerah karenanya.
“Dia ... istri kamu?!” tanya dua lelaki tadi serempak.
Aris mengangguk dengan senyum melengkung. “Pakaiannya memang terbiasa sederhana. Masih terbawa kebiasaannya di desa. Tapi, kalian bisa lihat sendiri ‘kan, kalau Malika tetap bersinar indah dengan apa ada dirinya. Itulah alasan aku mencintainya.”
Tenggelam sudah semua kejahatan Helena dari batin Malika, berganti taman bunga merekah, semerbak wanginya oleh cinta sang suami terkasih.