Musik klasik yang diputar oleh Agni mampu menembus tembok kamar milik Anya. Meski terdengar lembut tapi mampu membuat wanita itu menggeliat dari tidurnya. Cara sang ibu membangunkan penghuni rumah, memanglah unik. Meski malas bangun, tetap saja sekan ditarik agar beranjak dari tempat tidur yang nyaman.
Anya membuka matanya dengan perlahan. Terasa lengket dan berat. Ia berusaha menetralkan pandangan matanya, lalu mencoba sadar dari kondisi baru bangun tidur. Satu tangannya digunakan untuk menarik selimut tebal. Satunya lagi digunakan meraba meja nakas, mencari letak ponselnya.
“Kenapa dingin sekali,” gumamnya. Ia mendongak, karena tidak menemukan benda pipih itu. “Hape aku mana, sih?”
Merasa penasaran, Anya beranjak dari posisi tidurnya. Mencari dengan benar di mana letak ponselnya. Lalu, Anya tersadar kalau sedang tidur mengenakan dress hitam. Memaksanya untuk mengingat apa yang terjadi semalam.
“Aku masih pakai dress?” tanyanya pada diri sendiri.
Tidak lama, ia turun dari tempat tidur, lalu melihat pantulan dirinya di cermin. Betapa terkejutnya Anya saat melihat area matanya menghitam.
“Ya Tuhan, kenapa jadi belepotan begini? Kok aku bisa tidur tanpa ganti baju, hapus makeup dan mandi?”
Anya terkesiap dengan suara ketukan pintu kamarnya. Setelahnya, pintu tersebut dibuka dari luar.
“Nya, kamu belum bangun?”
Agni muncul dengan alis mengkerut dengan ekspresi galak.
“Ma.”
“Astaga! Itu mata kamu kenapa? Bikin kaget saja.”
“Maskara dan eyeliner-nya luntur. Aku juga kaget, Ma.”
“Oh, pantas saja kamu tidur masih pakai pakaian seperti itu. Apalagi nggak hapus makeup. Semalam kan, kamu ketiduran.”
“Ketiduran?”
Ingatan Anya berusaha dipancing oleh penjelasan Agni. Pelan-pelan semuanya menjadi jelas. Pulang dari Autumn, ia kelelahan dan akhirnya ketiduran di mobil Kin.
“Oh iya.” Anya menepuk keningnya sendiri. “Karena ngantuk ditambah macet, aku ketiduran.”
“Masih muda kok pikun,” sindir Agni. Setelah memastikan putrinya sudah bangun, wanita itu pergi dari kamar tersebut. “Cepat bangun. Mama berangkat duluan.”
“Sama siapa, Ma?”
“Naik taksi!”
Anya menatap kepergian ibunya. Ia masih berdiri dengan rasa penasaran yang memenuhi pikirannya.
“Kalau aku ketiduran, terus siapa yang bawa aku ke kamar? Jalan sendiri atau gimana?”
Selesai mandi dan bersiap-siap, Anya turun untuk sarapan. Perutnya lapar karena semalam tidak makan terlalu banyak di tempat pesta. Dan saat ke meja makan, sudah ada Arlo di sana.
“Eh putri tidur baru bangun. Kirain masih molor.”
Anya berdecak sinis. “Siapa juga yang masih molor. Aku ini orangnya bangun tepat waktu. Apalagi kalau mama putar musik, auto nggak bisa tidur lagi. Lagian, kenapa tiba-tiba kamu panggil aku putri tidur?”
“Karena kamu kayak putri tidur, nggak bangun-bangun waktu Mas Kin gendong kamu ke kamar. Lagian, demen banget ngerepotin tetangga. Pakai acara ketiduran di mobil. Kamu bikin Mas Kin sakit pinggang, Nya,” jelas Arlo berapi-api.
Anya yang akan memasukkan roti ke mulutnya, mendadak mematung. Matanya membola, dan raut wajahnya menyiratkan rasa terkejut. Jadi itu sebabnya ia tidur tanpa berganti pakaian dan juga menghapus riasan wajah.
“Kenapa bengong? Kaget, ya?”
“Sebenarnya apa yang terjadi semalam? Mas Kin gendong aku ke kamar? Kok bisa? Kenapa kamu nggak bangunin aku?” cecar Anya penasaran.
Arlo meneguk kopi hitamnya, mendorong roti yang memenuhi mulutnya agar masuk ke dalam perut.
“Jadi semalam Mas Kin telpon aku, biar dibukakan pintu. Dia nggak mau bangunin kamu karena kasihan. Padahal aku sudah gemas pingin pencet hidung kamu tapi Mas Kin terus melarangku. Dan pada akhirnya dia gendong kamu sampai ke kamar. Baik kan, dia?”
“Oh God!”
“Nggak usah kaget begitu. Sebaiknya kamu bilang makasih sama dia. Tanya juga, pinggangnya sakit apa enggak karena gendong kamu yang badannya sangat berat,” sindir Arlo kejam.
Anya pun mendengkus sebal. “Aku nggak seberat itu, Arlo. Kamu jangan lebay.”
“Ya tetap saja aku kasihan sama Mas Kin. Lagian, kenapa dia baik banget sih, sama kamu? Padahal kamu suka bikin dia susah.”
“Arlo!”
Tangan Anya terangkat sambil memegang selembar roti yang siap dilempar ke arah sepupunya. Arlo selalu berhasil membuatnya kesal. Mulut pria itu sangat pedas jika menyindir. Dan senang jika berhasil memancing emosi Anya.
Arlo lantas beranjak dari duduknya. Menghindar dari kemarahan sepupunya.
“Aku laporin ke tante, nih. Bilang kalau kamu suka buang-buang makanan.”
“ARLO!”
Saking gemasnya, Anya sampai menggebrak meja. Mengakibatkan sepupunya lari dari amukannya.
“Sadar nyebelin. Awas saja!”
Sambil mengunyah roti, Anya mencerna penjelasan Arlo. Ia menghela napas, merasa ucapan sepupunya benar.
“Si Arlo benar. Kenapa ya, aku suka sekali ngerepotin Mas Kin?”
Setelah selesai sarapan, Anya pergi ke garasi untuk menyalakan mesin mobil. Belum terlaksana niatnya, ia melihat ban mobilnya bocor. Seketika Anya membuang napas dengan kasar. Sepertinya hari ini ia harus pergi dengan sepeda motor.
“Kenapa?” tanya Arlo yang muncul dari dalam rumah.
“Ban mobilku bocor.”
“Wah, aku nggak bisa ganti. Buru-buru, Nya.”
“Aku nggak minta kamu ganti, kok.”
“Ya sudah, aku antar kamu kerja. Gimana?”
Anya menggeleng. “Aku bawa motor saja.”
“Yakin?” tanya Arlo.”
“Yakin. Lagian nggak ada salahnya bawa motor. Kasihan kalau nggak pernah dibawa pergi,” ujarnya.
Arlo pun mengangguk dan bersiap untuk pergi. “Baiklah. Kalau begitu, aku pergi duluan. Jangan lupa kunci pintu.”
“Iya. Hati-hati.”
Setelah mengeluarkan motor, Anya menutup dan mengunci pintu pagar rumahnya. Begitu beres, Anya tidak langsung pergi. Ia berdiri di depan pintu pagar rumah Kin. Mengintip dari luar, apakah pria itu sudah berangkat ke galeri atau masih di rumah.
“Mobilnya sudah nggak ada. Sebaiknya aku telpon atau kirim pesan saja untuk ngucapin terima kasih,” gumamnya.
***
Hari ini pekerjaan Anya cukup banyak. Selain menyelesaikan siaran, ia juga harus membuat daftar narasumber yang akan diundang dalam programnya setiap hari sabtu. Selain itu, pekerjaan kemarin yang ditunda karena menemani Kin datang ke pesta pernikahan Andrea, juga dikerjakan hari ini. Sampai jam makan siang, wanita itu nampak fokus berkutat dengan laptop. Bahkan mengirim pesan untuk Kin saja ia sampai lupa.
“Nih, titipan kamu, Nya.”
Kyomi meletakkan sebungkus nasi campur dan es jeruk di atas meja kerja Anya.
“Makasih beb.”
“Makan dulu, lanjut nanti.”
Anya mengangguk tanpa menatap rekan kerjanya. “Sedikit lagi, nanggung.”
“Ya sudah, aku ke toilet dulu.”
Tidak lama setelah kepergian Kyomi, ponsel di atas mejanya berdering. Tanpa melihat siapa yang menelepon, ia langsung saja menjawab.
“Halo, selamat siang.”
“Halo Nya, lagi sibuk?”
“Siapa nih?”
“Astaga! Nomorku nggak kamu simpan?”
Anya melihat layar ponselnya. “Eh, Duta. Sori, lagi fokus sama kerjaan. Ada apa?”
“Nya, aku minta tolong, dong.”
“Apa?” tanya Anya santai.
“Nya, bapakku masuk rumah sakit. Aku Cuma berdua sama ibuku, jadi gantian jaganya. Anya, tolong gantiin aku siaran buat nanti malam, ya. Aku sudah ngomong sama Pak Nyoman dan memang kamu yang diminta buat ganti aku.”
Kening Anya mengkerut. Terkejut dengan apa yang didengar barusan.
“Halo, Nya. Gimana? Aku benar-benar minta tolong sama kamu.”
Anya menghela napas. “Kok dadakan sih, Ta?”
“Ya gimana dong, bapakku mendadak sakit tadi pagi. Makanya aku nggak masuk kantor.”
“Ya sudah, aku mau kok gantiin kamu.”
“Makasih banyak ya, Nya. Kamu memang yang terbaik.”’
Ponsel yang baru saja digunakan, diletakkan kembali di atas meja. Anya melihat jam yang melingkar di tangan, lalu menghela napas pelan. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang melelahkan. Tetapi ia akan menjalani dengan senang hati karena ini memang pekerjaannya.
“Kenapa bengong? Mending makan dulu.”
Anya tersenyum. Tangannya terulur, mencolek dagu Kyomi.
“Temanku ini memang sangat perhatian.”
“Iya gimana nggak perhatian. Kalau kamu sakit, yang siaran sama aku siapa, dong.”
“Sepertinya aku lembur sampai Summer tutup, Mi.”
Kedua alis Kyomi bertaut karena ucapan Anya. “Memang ada pekerjaan penting?”
“Duta nggak bisa siaran. Dan Pak Nyoman minta aku yang ganti.”
“Serius? Kamu mau?”
Anya mengangguk. “Ya mau, dong.”
Dijelaskan apa yang terjadi pada Duta sehingga Anya harus menggantikan sementara waktu, program tengah malam.
“Mau aku temani?”
“Enggak usah. Santai saja.”
“Tapi kamu pulang malam, Nya.”
“Ya kalau gimana-gimana, aku pulang naik taksi saja,” jawabnya.
***
Malam semakin larut dan waktu sudah menunjukkan pukul 12 malam. Tugas Anya hari ini sudah selesai. Ada rasa bangga dan juga nostalgia. Bangga karena berhasil menyelesaikan tanggung jawabnya dengan baik. Merasa nostalgia karena dulu pernah membawakan program ini.
Setelah semuanya beres, Anya keluar dari Summer Radio. Berpamitan dengan satpam yang berjaga, sebelum ia pulang bersama dengan motornya.
Di jalan masih terlihat beberapa kendaraan yang lewat. Meski begitu, tetap saja suasananya lengang, sudah tidak terlalu ramai. Toko-toko sudah tutup dan hanya terlihat minimarket yang buka selama 24 jam.
Anya meninggalkan gedung Summer Radio dengan kendaraan roda dua. Motor matic tersebut, miliknya sejak tiga tahun lalu. Hanya saja jarang digunakan untuk bekerja, karena Anya nyaman mengendarai mobil.
“Ya ampun. Kok gerimis, sih?”
Baru saja Anya menggumam, tiba-tiba motornya berhenti dan mesinnya mati. Anya terkejut sekaligus panik. Mencoba untuk menyalakan lagi, tapi tidak berhasil.
“Lah, ini motor kenapa mati?”
Anya lantas turun, menuntun motornya ke pinggir jalan. Setelah itu, mengecek tangki bahan bakar, untuk memastikan apakah masih ada atau sudah kosong.
“Bensinnya aman. Tapi kenapa mendadak mati?”
Rintik hujan mulai turun lebih banyak. Anya segera mengambil ponsel di dalam tas. Melihat ke sekitar, memastikan keadaan aman. Anya khawatir, ada orang jahat yang ingin mengincarnya.
“Arlo, angkat dong telponnya.”
Hampir lima kali Anya menghubungi saudaranya, hasilnya tetap nihil, tidak ada jawaban. Bahkan saat ingin menelepon Agni, ponsel ibunya tidak aktif.
“Aku pulang naik taksi atau ojek online saja. Motornya aku tinggal di sini saja.”
Sepertinya malam ini Anya kurang beruntung. Saat mencoba mencari taksi atau ojek online, selalu gagal. Padahal ia yakin, meski sudah larut malam, tidak terlalu sulit untuk mencari taksi maupun ojek online.
“Ya Tuhan, gimana caranya pulang? Apa aku jalan kaki saja mumpung nggak terlalu jauh.”
Anya berdiri di pinggir ruko kecil agar terhindar dari air hujan. Udara semakin dingin, ditambah keadaan sepi, membuat Anya semakin takut. Andai saja motornya tidak mogok di jalanan sepi, pasti sudah ada yang menolongnya.
“Apa aku coba hubungi Mas Kin? Siapa tahu dia belum tidur.”
Dilihatnya layar ponsel yang sedang di genggam. Jumlah baterainya sangat kritis dan mungkin sebentar lagi akan mati. Anya merasa bingung, apakah ia akan kembali merepotkan Kin, seperti yang Arlo bilang. Kebaikan Kin semalam saja belum sempat ia balas.
“Aku coba saja. Semoga ada harapan.”
Anya mengirim pesan karena jika menelepon, baterainya tidak akan cukup. Ia menjeleskan kepada Kin tentang kesulitan yang sedang dialami. Berharap pria itu memberikan respon.
“Setidaknya pesannya terkirim,” gumamnya. “Masih ada sisa sedikit, aku coba telpon dia.”
Baru satu kali terdengar suara sambungan teleponnya, ponsel Anya langsung mati. Ia terdiam dengan tubuh lemas.
“Mas Kin, tolong bantu aku,” gumam Anya sedih.
Lelah berdiri, akhirnya Anya memilih berjongkok. Hujan semakin deras, dan jalanan benar-benar sepi. Kedua mata Anya sudah terasa panas dan berkabut. Air matanya sudah siap menetes karena ketakutan.
Hampir 10 menit berlalu setelah ia mengirim pesan. Entah dibaca atau tidak oleh Kin. Pria itu harapan terakhir bagi Anya.
“Ma, aku takut,” ucapnya dengan mata yang sudah basah.
Tiba-tiba ada cahaya lampu mobil yang mengarah kepadanya. Anya merasa silau karena tidak tahu siapa yang berhenti tidak jauh dari tempatnya berjongkok. Rasa takut semakin jelas melandanya. Pikiran negatif langsung memenuhi kepalanya.
“Ya Tuhan, lindungi aku.”
Samar-samar, terlihat seseorang turun dari mobil. Karena cahaya lampu dan derasnya air hujan, penglihatan Anya tidak berfungsi dengan baik. Sosok tersebut berjalan mendekat ke arah Anya.
“Zeevanya!”