Sinar matahari sore sudah muncul dan sedang cantik-cantiknya. Warnanya yang hangat, tengah menerpa sosok cantik yang baru saja keluar dari sebuah bangunan yang disebut dengan rumah. Berdiri di hadapan Kin, memasang wajah manis namun juga malu-malu. Sosok cantik dengan nama Anya, berhasil membuatnya terdiam dengan tatapan mata terpaku pada wanita itu. Kurang ajar memang kedua mata miliknya. Melihat tanpa ingat untuk berkedip. Tetapi, siapa pun pasti setuju kalau hari ini Anya begitu memesona.
“Aku nggak telat kan, Mas?”
Kin menggeleng kaku, masih belum sadar sepenuhnya. “Tidak.”
“Kita berangkat sekarang?”
“Ayo.”
Untuk kali pertama, Kin tidak bisa berkata banyak saat berhadapan dengan tetangganya. Anya begitu anggun dengan gaun sederhana berwarna hitam. Rambutnya dibiarkan terurai rapi. Ditambah riasan tipis tapi tetap memancarkan pesonanya. Mungkin bagi orang lain, penampilan Anya tidak ada yang spesial. Tetapi di mata Kin, wanita yang sudah duduk di kursi sebelah, sangat cantik dan menarik. Dan ini kali pertama ia memuji secara diam-diam
“Agak sedikit kaget lihat Mas Kin pakai pakaian formal seperti ini. Biasanya selalu santai.”
Kin tersenyum simpul. Melihat sekilas pakaian yang ia kenakan. Kemeja hitam, ditambah blazer dan celana kain berwarna abu gelap. Simpel tapi terlihat rapi dan juga maskulin.
“Sebenarnya saya lebih suka pakai celana robek dan kaos santai. Tapi mana mungkin saya datang ke acara Andrea dengan pakaian seperti itu. Yang ada, saya malah membuat kamu malu,” ujarnya.
Anya tertawa kecil, membayangkan itu terjadi. “Tapi Mas Kin cocok pakai pakaian seperti ini. Aura dewasanya sangat terlihat.”
“Oh iya? Jadi saya terlihat tua?”
“Bukan tua, Mas. Tapi …”
Kin menoleh singkat dan tetap fokus pada jalanan di depan.
“Tapi apa?”
“Kalau kata Kyomi, Mas Kin tipe om om hot dan sexy,” jawabnya polos.
Kin menggigit bibirnya. Memalingkan wajah, berpura-pura melihat jalanan sekitar. Siapa yang tidak tersenyum mendengar ucapan polos wanita di sebelahnya. Baru kali ini Kin merasakan salah tingkah di hadapan wanita.
Melihat Kin diam, Anya meringis. Menyadari terlalu jujur mengeluarkan isi pikirannya. Dan ini bukan kali pertama terjadi. Mau menyesal, sudah terlanjur.
“Menggelikan sekali ya, Mas? Seharusnya aku nggak pinjam ungkapan Kyomi yang aneh itu.”
Pria itu berdeham pelan. Mengusap tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. Lantas, Kin menolah singkat ke sebelah.
“Teman kamu lucu. Ada-ada saja.”
Suasana di dalam mobil mendadak hening. Hanya terdengar deru suara mesin mobil dan itu pun cukup halus. Sesekali keduanya menoleh secara bersamaan, dan berakhir dengan kecanggungan.
Keadaan hening ini bertahan hingga mereka sampai di lokasi pesta resepsi pernikahan Andrea dan Naka. Bertempat di Hotel Autumn, suasananya cukup meriah. Dekorasinya sangat cantik tetapi tidak berlebihan. Beberapa tamu memenuhi ballroom hotel. Dan pasangan pengantin tengah terlihat sibuk menyapa tamu yang hadir.
Tanpa pemberitahuan, tangan Kin langsung meraih tangan Anya. Berpegangan tangan saat masuk ke lebih dalam ke lokasi pesta. Pria itu begitu santai, tidak memikirkan bagaimana reaksi Anya.
Anya yang digandeng oleh Kin, hanya bisa diam. Perhatiannya teralihkan pada pemandangan di depan matanya.
“Wah!”
Seruan Anya membuat Kin menoleh. “Kenapa?”
Anya menggeleng pelan. “Enggak kok, Mas. Aku Cuma takjub sama dekorasinya pestanya. Bunga lilynya cantik sekali.”
“Kalau tidak salah, Andrea suka lily.”
“Oh iya?” Anya sedikit kaget karena Kin cukup banyak mengenal tentang Andrea. “Mas Kin mengenal Andrea dengan baik.”
“Saya tahu dari mantan suaminya.”
“Mantan suami?”
Lagi-lagi Anya terkejut. Siapa sangka Andrea yang sangat cantik di foto prewedding yang sempat dilihat, ternyata wanita yang sudah pernah menikah. Bagaimana bisa wanita secantik itu menyandang status sebagai janda.
“Nanti saya ceritakan. Kita sapa dulu pengantinnya.”
“Iya Mas.”
Kin mengajak Anya menghampiri Andrea dan Kin. Menyapa dan mengucapkan selamat atas pernikahan keduanya. Turut berbahagia karena akhirnya mereka bisa bersatu dalam ikatan pernikahan.
“Congratulation! Semoga kalian berdua hidup berbahagia,” ucap Kin kepada Andrea dan Naka.
“Terima kasih, Mas. Terima kasih atas kedatangannya serta doanya,” jawab Andrea.
“Semoga cepat menyusul kami,” kata Naka.
“Amin.”
“Selamat atas pernikahannya.” Anya memberi ucapan dengan perasaan malu karena tidak mengenal pasangan pengantin ini. “Semoga selalu berlipah bahagia dan kedamaian di dalam rumah tangganya.”
“Terima kasih.” Andrea melirik Kin dan siap bertanya. “Kamu pasti Anya?”
“Loh, kok Mbak bisa tahu?”
Andrea tersenyum sambil mencolek tangan Kin. “Mas Kin pernah cerita. Katanya punya tetangga cantik.”
“Andrea.” Mendadak wajah Kin memerah.
“Oh iya? Hhmm, semoga saja bukan cerita jelek ya, Mbak.”
Setelah berbincang singkat dengan pengantin, kini Kin membawa Anya mencari meja dan kursi yang kosong. Di sana mereka akan dihidangkan makanan untuk dinikmati.
“Jadi, Mas Kin ngomong apa saja sama Mbak Andrea?”
Kin berdeham pelan, karena ternyata Anya masih mengingat pembicaraan tadi. Untung saja tidak tersedak minum yang baru saja diteguk.
“Saya tidak cerita banyak. Waktu Andrea memberikan undangan, dia bertanya bagaimana dengan rumah baru saya. Lalu saya ceritakan tetangga baik yang sudah seperti keluarga. Dan setelah itu, Andrea minta saya untuk ajak kamu ke sini, agar saya tidak sendirian,” jelas Kin.
“Mas nggak cerita awal pertemuan kita, kan?”
Pertanyaan Anya sedikit membuat Kin bingung. “Cerita awal?”
“Iya. Soal lempar gelas.”
“Oh? Tidak. Saya tidak pernah cerita soal itu kepada siapa pun, kecuali ke Vika.”
Wajah Anya nampak lega setelah mendengar penjelasan Kin. “Syukurlah. Kejadian itu sangat memalukan. Jadi aku nggak mau ingat-ingat lagi.”
“Tapi kalau bukan karena kejadian itu, mungkin kita tidak akan jadi akrab,” gumam Kin.
Anya mengangguk setuju. “Iya juga, sih. Tapi tetap saya memalukan.”
Keduanya menikmati hidangan yang disuguhkan pada pesta tersebut. Meski tamunya cukup banyak, tapi suasananya tidak membuat pusing atau tidak nyaman. Bahkan si pemilik acara nampak senang dan bahagia karena bisa melangsungkan pesta resepsi pernikahan.
“Mas Keenandra?”
Kin mendongak, melihat siapa yang menyapa dan berdiri di sebelahnya. “Arletta?”
Tata mengangguk dengan wajah senang. Mengulurkan tangan untuk bersalaman dan bahkan mereka melakukan ciuman pipi.
“Iya, aku Tata. Ya ampun, sudah lama nggak ketemu sama Mas Keenandra. Eh maksudku Mas Kin.”
Kin agak kaget dengan sikap Tata yang cukup agresif. Bukan dalam konteks negatif karena dia memang sudah tahu akan hal ini. Hanya saja Kin merasa tidak siap dengan pertemuan ini.
“Kapan-kapan aku main ke galeri ya, Mas.”
Kin mengangguk. Saking fokusnya bicara dengan Tata, sampai mengabaikan Anya.
“Silakan.”
“Oh iya, kata Andrea, Mas Kin sudah pindah rumah, ya?”
“Sudah. Saya sudah menemukan rumah yang cocok,” jawabnya.
“Wah. Kalau nanti singgah ke sana, boleh dong, Mas.”
Pria itu tersenyum ringan. “Boleh, kok.”
“Ya sudah, aku tinggal dulu ya, Mas. Senang bisa ketemu Mas Kin lagi.”
Setelah kepergian Tata, barulah Kin sadar kalau ia sedang bersama Anya dan tidak ingat untuk memperkenalkan satu sama lain. Kin menoleh ke arah Anya dan wanita itu nampak santai.
“Dia temannya Andrea.”
Anya mengangguk sambil menikmati makanan. “Oh.”
“Maaf, saya lupa kenalin kamu dengan Tata,” ucap Kin tidak enak.
“Nggak masalah, Mas. Santai saja, aku nggak apa-apa kok.”
“Baguslah kalau kamu tidak salah paham.”
“Salah paham?”
Kin berdeham pelan, lalu meneguk minuman miliknya.
“Maksudnya, saya takut kamu berpikir kalau saya dan Tata memiliki hubungan khusus karena sikap Tata yang cukup akrab.”
“Kenapa Mas Kin merasa takut kalau aku punya pikiran begitu?”
Pria itu mengangkat bahunya. Ia sendiri tidak punya jawaban atas pertanyaan Anya.
“Entahlah. Saya tidak punya alasan khusus.”
Kedua mata Anya menyipit, tidak puas dengan jawaban Kin. Tetapi, ia tidak bisa protes karena ada tamu lain yang bergabung ke meja mereka.
***
Kin menoleh ke samping, mendapati Anya sudah terlelap dalam tidur. Sepertinya wanita ini kelelahan atau mungkin sejak tadi sudah mengantuk. Sehingga ketiduran dalam perjalanan pulang dari Autumn. Beberapa menit Kin menatap wajah polos Anya. Si cantik yang ceriwis dan selalu semangat, tidur begitu tenang tanpa beban. Tangan Kin terulur, mengusap pelan pucuk kepala Anya.
“Tidak pernah terlintas di pikiran saya, saya akan bertemu dan mengenal kamu. Sosok cantik dan mengagumkan. Membuat kehidupan saya di sini terasa menyenangkan. Sepi yang selama ini menemani, perlahan terlupakan. Terima kasih sudah menjadi tetangga dan teman yang baik bagi saya,” gumamnya pelan.
Yang pertama kali Kin lakukan saat sampai di depan rumah adalah menghubungi Arlo, agar tidak berteriak dan mengganggu tetangga. Tidak menunggu lama, Arlo datang dan membuka pintu pagar.
“Kenapa Anya nggak dibangunin saja, Mas?”
Kin menggeleng dan mencegah Arlo. “Jangan, kasihan. Sepertinya dia capek karena menemani saya. Jadi biar saya gendong saja.”
“Gendong?” Arlo berjalan ke sisi mobil dan melihat kondisi Anya. “Mas, jangan cari penyakit, deh. Anya berat Mas, masa mau digendong,” ucapnya heran.
“Kamu berlebihan. Saudara kamu kecil mungil, malah dibilang berat.”
Kin membuka pintu, lalu dengan sangat hati-hati mengangkat tubuh Anya. Digendong ala bridal style, untuk dibawa ke dalam rumah, menuju kamar milik wanita itu.
“Tolong bantu tutup pintu mobilnya.”
Dengan raut wajah kasihan, Arlo mengikuti apa yang Kin katakan. Melihat tetangganya yang terlalu baik kepada Anya, membuat Arlo merasa gemas.
“Jahat banget si Anya. Masa ketiduran di mobil Mas Kin. Nyusahin orang saja,” gerutunya.
Tanpa merasa payah, akhirnya Kin sampai di dalam kamar Anya. Membaringkan wanita itu di atas tempat tidur, dengan sangat hati-hati. Sampai mendarat di atas kasur pun, Anya tidak terusik sama sekali. Tetap tenang dan lelap dalam tidurnya.
“Good night, Zeevanya,” gumam Kin.
Kin meninggalkan kamar tersebut dan Arlo sudah menunggu di depan pintu. Wajahnya nampak masih tidak rela kalau Kin memperlakukan sepupunya secara berlebihan.
“Mas, kalau besok sakit pinggang, minta Anya buat pijat, ya.”
“Mana mungkin, Ar. Sepupu kamu ringan sekali,” balas Kin.
Kening Arlo mengkerut, tidak setuju dengan pengakuan Kin. “Masa, sih? Perasaan makannya selalu banyak, masa nggak ngaruh ke berat badan.”
Arlo yang terus menerus protes terhadap Anya, semakin memancing senyum Kin. Perlahan ia melangkah, menuruni anak tangga.
“Tante Agni belum pulang?”
“Belum, Mas. Sebentar lagi mau aku jemput.”
“Oh.”
“Mas Kin mau minum dulu?”
Kin menggeleng. “Saya mau pulang saja. Tapi sebelum itu, saya mau tanya sesuatu sama kamu.”
“Mau tanya apa, Mas?”
“Apa kamu tahu kalau Anya takut dengan cicak?” tanya Kin. “Maksud saya, takutnya sangat berlebihan.”
“Cicak?”
“Iya. Kamu tahu?”
Arlo pun mengangguk. “Kalau diceritakan panjang, Mas.”
“Intinya saja,” pinta Kin.”
“Baiklah,” ucapnya. “Anya pernah mengalami hal yang nggak enak, yang berhubungan dengan cicak. Pertama, berhubungan dengan kematian papanya dan yang kedua karena apa yang pernah aku lakukan, Mas. Tapi yang lebih membuatnya trauma adalah kejadian tentang papanya,” jelas Arlo.
Kin pun mulai sedikit paham. “Baiklah Arlo. Rasanya segitu saja sudah cukup. Biar nanti Anya sendiri yang cerita secara lengkap, kenapa dia sangat takut dengan cicak.”
“Ngomong-ngomong, kenapa Mas Kin tahu soal ini?”
“Beberapa hari yang lalu, Anya pinjam toilet di rumah. Lalu tangannya dijatuhi cicak. Dia panik dan histeris. Saya pikir Cuma kaget biasa, tapi dia sampai nangis,” tutur Kin.
Arlo mengangguk pelan. “Oh begitu. Ya sudah, selebihnya biar Anya saja yang cerita.”
“Kalau begitu, saya pamit dulu ya, Ar.”
“Iya Mas. Makasih sudah bawa Anya sampai kamarnya.”
“Sama-sama,” balasnya.
Kin sedang berdiri di depan jendela kamarnya. Pandangan matanya tertuju pada jendela kamar milik Anya yang sudah gelap. Lalu pria itu menghela napas panjang.
“Seseorang yang selalu ceria, ternyata menyimpan ketakutan yang menyakitkan,” gumam Kin. Lagi-lagi pria itu menghela napas panjang. “Semoga nanti kamu mau cerita, mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Atau mungkin, saya bisa membantu kamu untuk meringankan rasa trauma itu.”