“Apa, sih, Pril. Gue mau kencan. Itu Didit udah nunggu di depan. Lo main - main aja sana sama Bang Jun.” Mei mengusir April dari kamarnya, membuatnya cemberut. Apalagi mendengar nama Jun di sebut.
Hari minggu, waktunya bersantai. Harusnya. Tapi karena tugas baru senin besok, April jadi harap - harap cemas. Memang sih, yang jadi atasannya Jun aja, tapi kan, masa cuma gara - gara sama Jun, jadi alasan buat April untuk nggak bersikap profesional.
Niatnya. April mau belajar dari Mei, tips dan know-how nya. Kan Mei sudah lebih dulu jadi sekretaris. Tapi malah mau ditinggal dengan alasan mau kencan. Lagian ini Mei sama Didit nggak bosen apa ya ketemu terus. Pagi dijemput, sore dianter, malem minggu jalan, hari minggu juga jalan.
Mungkin kalau mau sampai maut memisahkan emang harus betah ya lihat orang itu aja setiap hari. Tapi kalo April mikirnya, takut khilaf. Nanti dosa ditanggung siapa? Kakaknya Mei dan Didit memang katanya sudah sangat serius sih. Bahkan Didit dan orang tuanya juga sudah datang ke sini melamar Mei pada Papa dan Mama. Tapi tanggal sakralnya memang belum ditentukan.
Entah menunggu apa.
Karena diusir Mei, akhirnya mau nggak mau April balik lagi ke kamarnya. Jun belum ke sini, sih. Bukan berarti Jun setiap hari ke sini, tapi biasanya ke sini. Nggak, April nggak ngarep kok. Cuma bertanya - tanya aja. Dia membuka gordyn jendelanya yang dari tadi pagi masih tertutup dan langsung memekik ngeri.
Dia langsung berbalik dan kembali menutup gordyn jendelanya.
“Aduh aduh mata gue udah nggak suci. Si*lan Juni ih! Pake baju yang bener dikit, kek!” Dia mengomel sebal.
Itu tadi Jun, lagi ngolet sambil nguap di depan jendelanya. Oke, bukan hal baru. Tapi yang bikin April histeris adalah… Jun nggak pake baju! Memang masih pakai kolor, tapi kolornya melorot rendah sampai V line nya kelihatan jelas! Mata perawan April langsung ternodai. Pikiran polos nan tak berdosanya langsung membayangkan yang wah - wah, sampai pipinya merah dan wajahnya panas sendiri.
Seumur hidup April berteman dengan Jun, terakhir kalinya April lihat Jun telanjang d**a itu waktu cowok itu SMP, pas badannya masih berupa tulang berbalut kulit aja. Jadi April mana tau kalau ternyata perut Jun sekarang kotak - kotak dan kenceng kayak model L-Men begitu.
April menggeleng kuat, mencoba mengenyahkan bayangan tubuh telanjang Jun… April misuh - misuh sendiri kalau ingat. Bukan karena nggak suka. Dia cewek tulen, kalau disuguhi wajah tampan dan badan kotak - kotak, dia juga bisa jadi mendadak demam, loh. Nggak ingin memikirkannya lama - lama, dia lalu beranjak ke dapur untuk membantu Mama. Menghabiskan sarapan yang sudah di masak Mama.
***
Jun masih menggaruk belakang kepalanya. Dia sempat kaget tadi gara - gara teriakan April. Apaan, coba, kaya nggak pernah lihat Jun bangun tidur aja itu si April. Dia benar - benar nggak sadar keadaannya saat ini terlihat bagaimana di mata orang lain.
Dia tidak ambil pusing April dengan jeritan histeris gajenya tadi. Dia berbalik, mengambil handuk dan berjalan menuju kamar mandi.
“Baru bangun? Pantesan Bunda nggak mantu - mantu. Anaknya males bangun pagi gini, diambil orang deh jodohnya.” Bunda yang sibuk dengan entah apa di dapur menegurnya. Membuat kupingnya pengang seketika.
Biasanya anak bujang yang ngebet pengen segera menikah, ini kebalik. Bunda yang ngebet pengen ngunduh mantu.
“Kan biasanya juga bangun pagi, Bund.” Bukan Jun memang kalau dibilangin nggak nyahut. Rasanya kayak… sayur kurang garam. Nggak mantep.
“Ck. Kamu ini kalau dibilangin. Padahal loh, udah ganteng, rajin kerja, ibadah juga rajin… kurang apa coba sih, anak Bunda ini, kok jodohnya masih seret aja.”
“Hush Bund. Nggak boleh ngomong gitu, nanti ada yang nyatet.” Tegurnya. “Udah, ini Jun mau mandi dulu. Abis ini mau ngajakin April jalan.”
“Kamu jadian sama April?”
“Ya mana adaaaa.” Dia merotasikan matanya. Ya kali, dia sama April?!
“Kok jalannya sama April? Hari minggu pula?”
“April naik jabatan. Jun mau kasih hadiah.”
“Oh… Eh?! Serius?! Kalau gitu Bunda juga mau kasih hadiah sama April. Kamu buruan sana mandi, Bunda siapin dulu buat April ini.”
***
“Astaghfirullah!” Dia berseru lirih mendapati Jun yang sudah rapi, sedang rebahan di atas kasurnya.
Sumpah, dia nggak denger loh dari tadi ada orang datang. Jangan - jangan orang ini langsung nyelonong aja, nggak pake salam?! Udah mirip maling aja.
“Lo ngapain sih di situ! Mana tadi datengnya nggak salam.” Tegur April ketus.
“Enak aja! Tadi Papa yang jawab. Lo nya aja bude* nggak denger gue salam.”
“Ya terus kenapa ke kamar gue?!”
“Ya karena gue nyariin lo lah!”
“Ngapain nyariin gue?!” Dia mode galak level delapan. Sama Jun itu nggak boleh sok baik. Nanti bisa baper. Kalo baper belum terlanjur sih nggak papa. Belum terlanjur. Kalau baper parah, siapa yang mau disalahin?!
Apalagi habis insiden Jun yang setengah… April langsung merah mukanya.
“Lo kenapa? Sakit?”
Dia menepis tangan Jun yang terulur hendak mengecek suhu tubuhnya. Jangan macem - macem Juni! Bahaya!
“Lo ngapain ke sini? Ngapain cari gue.” Dia bertanya ketus
“Ayok keluar.” Cowok itu menurunkan kakinya yang…. Cowok itu kakinya naik ke kasur April padahal pake sepatu?!
“Juni! Gila lo! Itu kasur gue! Lo injek - injek pake sepatu!” Dia meraih bantal yang biasa dia buat lesehan di tengah kamar dan memukulkannya sekuat tenaga pada Juni.
Nggak takut Juni cidera? Badan Juni itu bukan badan lazimnya manusia. Nggak gampang lecet. Jadi aman aja.
“Aduh! Woy! Pril, stop! Astaga… April!!” April masih memukuli Juni dengan beringas sementaa Juni sekuat tenaga menghindar, mereka terus seperti itu hingga akhirnya April terserempet karpet bulu yang tergelar di tengah kamarnya.
Juni yang kaget berusaha menangkap tubuh April, tapi malah ikut terpeleset dan akhirnya keduanya jatuh salih menindih di atas kasur, membuat mereka berdua kaget karena secara fisik mereka tak pernah sedekat ini sebelumnya.
“Juni, bangun…” Kata April tersengal.
“Hah? Udah bangun, kok.”
Lama April melongo mencoba memahami perkataan Juni, hingga dia merasakan sesuatu yang aneh sedikit menusuk perutnya. Membuat dia semakin membelalak dan memerah. Bingung harus malu atau marah duluan. Akal sehatnya mengambil alih duluan, sebelum dia malu lebih banyak lagi.
“Juni! Bangun! Lo mau bikin gue tambah gepeng!!”
***
Entah bagaimana caranya akhirnya Juni bisa membujuk April untuk ikut keluar bersamanya. Suasana canggung yang tadi menguap dengan cepat. Lebih tepatnya, April yang tidak membiarkan Jun sempat berpikir sedikit pun ke arah sana.
“Ini mau kemana sih, pake suru dandan segala.” April mengomel.
“Apa sih, kaya nggak ikhlas banget lo mandi sebelum jam tiga sore di hari minggu.” April diam. Cemberut. Karena Jun benar. Dia kalau hari minggu mandinya sehari sekali, kalau jam tiga sore. Sudah jadi tradisi buat dia.
Kalau nggak gitu, biasanya ada hal yang urgent yang dia lakukan. Misal sedang liburan, mau keluar, mau ke rumah Nenek, hal - hal semacam itu. Tadi Juni memaksanya untuk mandi dan sedikit berdandan karena dia mau mengajaknya keluar. Katanya penting.
“Nah sampai.” Akhirnya Jun membelokkan mobilnya ke sebuah department store, satu - satunya di kota mereka.
“Hah?! Kok ke sini, sih?!”
“Emang nggak boleh?”
“Emang mau ngapain?!”
“Turun dulu. Jangan marah - marah. Hari ini plis, nurut sama gue. Karena minggu besok gue udah harus nurut sama lo. Lo yang bikinin gue jadwal, inget?” Jun menambahkan saat April membuka mulutnya hendak protes.
Merasa nggak punya pilihan, April akhirnya menurut.
Ini dia mau diapain? Digadai lagi ke department Store? Emang laku?