LIMA BELAS: NGGAK PERLU! APRIL NGGAK BUTUH ITU

1126 Words
April berdecak lagi memandangi tas, sepatu dan setelan kerja yang dibelikan Jun untuknya. Lebih tepat kalau dikatakan kalau Jun memaksa untuk membelikannya barang - barang ini. April sudah bilang kalau dia nggak butuh. Dia punya sepatu, walaupun nggak banyak, masih layak banget dipakai. Dan bisa buat ganti - ganti. Bajunya juga masih banyak banget. Bekasnya Mei masih banyak yang belum pernah dia pakai. Malah sampai ada yang dia jual preloved saking nggak pernah dia pakai dan dia bokek untuk jalan tapi nggak berani minta uang. Masa ini mau dia jual? Mahal sih. Dia pasti langsung kaya. Ini semua tadi harganya bahkan melebihi gaji bulanannya. Rasanya April berdosa sekali kalau memakai ini semua langsung sekaligus. Dia menggeleng. Lama - lama dipikirkan bukannya dapat solusi malah makin pusing, Dia mengemasi semua barang - barang yang tadi dikasih Jun dan memasukkannya di lemari, Menatanya di sana. Dia mendesah melihat isi lemarinya. Sudah banyak yang dia jual, disumbangkan, tapi masih saja terlihat sepenuh ini. Hampir setiap bulan Mei memberinya baju. Paling sedikit tiga buah! Bagaimana dia nggak langsung jadi tukang awul - awul di pasar kodok coba. Dia meraih plastik kresek yang tadinya tergeletak begitu saja di atas meja pendek di tengah kamarnya dan beranjak keluar kamar. “Mama.” Dia memanggil. “Di belakang, Sayang.” Suara Mama menjawab samar tertangkap oleh telinganya. Dia segera bergegas menyusul Mamanya. Melewati dapur dan membuka pintu kecil berwarna hijau sebelum menemukan Mama sedang memanen cabai dan tomat di halaman belakang mereka yang sempit. Mama suka menanam. Di halaman sepetak yang hanya berukuran 2x3 meter itu, Papa membuatkan Mama rak - rak berisi pot yang sekarang rimbun ditumbuhi berbagai kebutuhan dapur. Ada sereh, jeruk limau, jeruk peras, cabai, tomat, kunyit, kangkung, banyak! Setelah mendapatkan atensi Mamanya, dia mengangkat plastik kresek yang sedari tadi di tentengnya. “Apaan, Pril?” “Kepinginnya Mama, ih. Masa lupa.” Mamanya mengernyitkan dahinya. “Ih, Mama kan pingin Gudeg Krecek. Kemarin sampai ngajakin Papa. Ini April bawain Gudeg kendil, ada kreceknya sekalian.” Wajah Mama yang awalnya bingung langsung berseri cerah. “Kamu kok tau Mama pengen itu?!” April mencebik. “Tau, lah. April gitu loh.” Iyalah, dia tau. Dia nggak sengaja denger pas Mama sama Papa ngobrol berdua beberapa hari yang lalu. Tapi dia baru sempat beliin sekarang. Ini dia beli pakai uangnya sendiri ya, bukan minta sama Jun. Emangnya dia apaan, buat Mama kok minta sama Jun. Dia nggak sedurhaka itu. *** Senin paginya, agak gugup, April mulai bersiap untuk memulai harinya. Hari pertamanya sebagai sekertaris Jun. Dia masih memakai piyama tidurnya saat ponselnya yang berada di atas tempat tidur bergetar meminta perhatiannya. Juni?! Ngapain pagi - pagi. Kan jam kerja dia masih nanti jam delapan! Ini masih jam setengah tujuh, loh. “Halo?” Tapi diangkatnya juga karena mana tau penting. “Pake yang kemaren gue beliin. Jam tujuh seperempat gue jemput.” Klik. April melotot pada layar ponselnya yang kini sudah masuk ke halaman beranda setelah panggilannya diputus. Apa - apaan?! Ngapain coba dia nyuruh - nyuruh April… belum kelar dia ngomel, ponselnya bergetar lagi dua kali. Menandakan ada pesan masuk. Lagi - lagi dari Jun. Juni: Ini perintah, April. Anggep aja tugas pertama. Sowak!! Rasanya April ingin melempar ponselnya ke luar jendela kamarnya, sungguh! Tapi sayang, kalau ponselnya rusak, dia nggak bisa beli gantinya. Dia kan beda kasta dengan Jun. Beli baju yang harganya berjuta - juta kaya kemarin aja, dia santai. Kalo April mah pulang dari department store langsung kulakan lilin buat ngepet. Paham kalau dia nggak punya pilihan lagi, akhirnya April mengeluarkan baju - baju yang masih bau iler cina, kalau kata orang jawa. Baju itu bahkan sengaja nggak April cuci, biar kentara masih baru, jadi kalau Jun bilang, ‘Pril, sori kemarin gue khilaf,’ tokonya masih mau menerima karena belum ternoda apapun selain tangan April. “Ya ampun, pengen nangis, rasanya.” Katanya saat mengancingkan blouse nya. Ini kalau misal, amit - amitnya, ada apa - apa, dan bajunya robek, mungkin April yang bakal gantung diri… hiks. Harga dirinya dengan harga baju ini lebih mahal harga bajunya. Kenyataan yang pahit. “Bhuset! Cantik banget lo hari ini!” Mei yang juga baru selesai bersiap dan menuju dapur untuk sarapan berseru. Matanya berbinar takjub. “Sumpah, cakep. Tapi lipstiknya…. Harus nude gitu? Gimana kalau diganti…” “Nggak mau!” Nggak perlu didengarkan sampai selesai. April tau apa yang mau diusulkan Kakaknya. Lipstik merah menyala seperti kebakaran hutan Kalimantan. Ya cantik, sih, kalau Mei yang pakai. Kalo April? Tolong jangan berani - berani membayangkan! Itu sungguh tidak pantas! Dia langsung buru - buru meninggalkan Mei yang cemberut dan beranjak ke dapur. Kalau biasanya suara klotakan sepatu selalu menemani langkahnya, kali ini sunyi senyap. Memang beda ya sepatu mahal sama sepatu yang belinya di Mas - mas jual sepatu pakai mobil pick up yang sepasang cuma enam puluh lima ribu. “Ya Allah, anak Mama cantik banget hari ini. Bajunya baru, ya. Mama nggak pernah lihat.” April meringis. Dia adalah orang yang nggak biasa dipuji. Pujian bikin dia langsung salting dan bingung harus bereaksi bagaimana. Jadinya ya seperti ini. Hanya peringas peringis saja. Dia duduk di salah satu kursi yang ada di sana dan langsung memakan bagiannya. Pagi ini Bunda masak gado - gado tanpa lontong. Mungkin kemarin atau semalam Mei sempat request ke Mama karena lihat Mama panen beberapa sayur mayur di halaman belakang mereka. “Aduh bau sambel kacangnya~” April langsung memutar matanya mendengar suara tersebut. Ya siapa lagi selain Junaidi Salim Alias Juni. Mama dan Mei menyambutnya, mempersilakan dia duduk dan menyiapkan sepiring juga untuk Jun. Tanpa basa - basi dan mau - malu dia langsung melahap sarapannya yang entah keberapa hari ini. Karena nggak mungkin sekali Bunda nggak menyiapkan sarapan untuk Jun. Semua sayuran yang diguyur dengan bumbu kacang itu kini tandas dari Piring Juni. April selalu impressed dengan kecepatan makan pria itu. Di antara semua orang di rumah ini, kecuali Papa, dia punya rekor makan tercepat. Tapi dia berubah jadi siput saat harus makan sama Jun. Kalah cepat. Entah tadi Jun makan dikunyah atau langsung telan dan nanti saat istirahat dia keluarin lagi makanan ke mulut untuk dikunyah kembali. Kayak sapi. Dia bersiul heboh saat melihat April. Kayaknya memang baru lihat sih. Masa udah lihat dari tadi tapi hebohnya baru sekarang? Kan agak… lucu. “Ini siapanya, Mama, deh, cakep banget.” Asem, si Juni! Kalimatnya sukses membuat April tersipu. Untung nggak pakai tersedak juga. Bisa perih tenggorokan, tersedak bumbu gado - gado. Wajahnya memerah dengan sempurna. Pasti udah nggak jauh beda sama lipstik andalannya Mei, sang Kakak. “Cantik ya, Jun,” Mama tersenyum menanggapi candaan Jun. Membuat benih jahil Jun terpupuk subur. “Banget! Boleh buat Juni nggak, Ma?” “Nggak!!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD