April mendongak menatap takut - takut pada Bu Sabrina yang melotot padanya. Wajahnya merah dan gusar. Abis diapain deh dia tadi di dalam ruangan Jun? Kok keluar - keluar jadi bertanduk gini?
"Ya, Kak?"
"Kalo kamu sakit, keberatan dengan kerjaannya bilang, dong! Dikira saya nggak perhatian sama staff binaan saya! Kena tegur, kan, jadinya!" Bu Sabrina mengomel, jelas terlihat kesal.
Fyuh! Kirain apaan, jantungnya sudah sempat salto tadi. Dia kira Bu Sabrina bakal marah karena… tau kalau dia dan Jun ternyata bertetangga, misalnya. Atau karena April mulai Minggu depan punya jabatan baru sebagai sekertarisnya Jun dan pastinya dia nggak akan terima karena ada orang lain yang akan menghabiskan lebih banyak waktu dengan Jun selain dirinya. Itu misalnya. Taunya…
Lah? Berarti tadi di dalam Jun negur Bu Sabrina tentang itu?! Waras nggak, sih orang yang mengaku Abangnya itu?!
"Maaf, Kak. Cuma sakit biasa. Masih bisa ketahan, kok. Lain kali kalau saya nggak tahan, saya bilang sama Kakak, deh. Makasih sudah perhatian." Dia menjawab manis. Merasa was - was kalau kena amuk.
Bu Sabrina masih terlihat bete. Mungkin aslinya masih pengen ngomel. Tapi ditahan.
"Ya sudah. Saya cuma kesel dibilang nggak perhatian sama binaan. Apalagi sama Mas Jun. Saya nggak mau reputasi saya di matanya tercoreng setitik pun."
Halah halah….
Tapi April hanya mengangguk mengiyakan. Iyain aja, daripada kena omel. Bisa anjang nanti urusan.
Bu Sabrina berbalik dan berjalan kembali menuju ke kubikelnya. April mengeluarkan nafas yang sedari tadi sebenarnya secara tidak sadar ditahannya.
Seperti dikomando tepat saat itu juga satu per satu divisi - divisi yang sejak sebelum jam makan siang tadi mengadakan eval mingguan masuk. Eval sudah selesai. Tandanya sudah waktunya pulang.
"April bisa ke ruangan saya sebentar?"
Tangannnya yang sedang berkemas berhenti. Wajahnya kaget dan melongo.
Ya Ampun, baru lega lima menit, udah dipanggil lagi. Apaan sih, Jun?!
***
"Saya, Pak."
Maunya April cuek aja, langsung pulang nggak menggubris perintah Jun. Tapi nggak bisa. Di kantor ini, Jun atasannya. Bakal terlihat nggak etis dan bikin heboh kalau dia melakukan hal tersebut. Apalagi tadi banyak saksinya saat dia dipanggil. Jadi dia memang nggak punya pilihan selain datang ke ruangan ini.
"Duduk."
Karena Jun pakai nada formal profesional, makanya dia berani duduk di kursi yang berada di depan mejanya. Biasanya sih dia ogah, apalagi kalau tirai jendela yang membuat ruang Jun bisa dilihat dari luar ruangan ditutup begini. Tau kan, ada dalil yang bilang kalau cewek dan cowok yang nggak terikat pernikahan alias bukan muhrim, nggak boleh berada dalam satu ruangan yang sama. Karena sebagai yang ketiganya nanti adalah setan.
April tau, seharusnya dia nggak perlu kuatir karena setannya ini ya Jun sendiri. Tapi fakta kalau dia naksir berat, nggak, naksir terlalu kekanak - kanakan untuk mendeskripsikan perasaannya pada Jun. Dia sayang, dia cinta nyaris mati sama Jun. Perasaannya sudah terlanjur sedalam itu. Bahkan berada dekat dengan Jun, merasakan keberadaan Jun saja sudah membuat jantungnya kalang kabut begini.
Bukan karena bahagia sih, nggak selalu. Kadang, kehadiran Jun malah membuat April amat sedih dan mendertita. Jadi dia masih bingung, belum memutuskan apakah dia senang atau sedih saat berada di dekat Jun. Yang jelas, jantungnya berpacu lebih cepat dari pacuan normalnya saat Jun ada di dekatnya, dalam jarak pandangnya.
"Tadi sudah ketemu Pak Ano?" Jun masih bersikap profesional padanya. April bersyukur sekali.
"Sudah, Pak." Jawabnya dengan nada professional yang sama.
"Jadi mulai senin minggu depan kamu sudah bukan editor bimbingan Rina lagi. Kamu akan punya peran baru sebagai sekertaris saya. Untuk sementara karena belum ada meja kerjanya, kamu tetap berada di meja kamu saat ini. Nanti mungkin akan diaturkan, meja baru untuk kamu. Entah di luar, atau di dalam ruangan ini bersama saya."
April menelan ludah kasar. Jangan siksa April ya Tuhan… Gimana caranya dia bisa kerja kalau dia satu ruangan sama Jun?! Berat… beraaat….
"Nanti lihat perkembangan. Pasti nanti kamu juga akan diinfo." Katanya lagi. Dia hanya mengangguk. "Pril?"
"Ya, Pak?"
"Pulang bareng gue ya."
***
Tentu saja April menolak ajakan Jun. April masih amat waras untuk pulang kantor bareng dengan Jun. Makasih. Sama yang lain aja, deh.
Dia belum siap jadi dendeng hidup. Dia belum pernah pacaran, belum nikah, masih perawan ting - ting, belum kaya, masih banyak kenikmatan dunia yang belum April cobain. Intinya, masih terlalu dini baginya untuk mati. Dan pulang bareng Jun di siang bolong dengan mata - mata yang terpusat pada cowok itu namanya sama saja dengan bunuh diri.
Jadi. mendengar permintaan Jun tadi April hanya tersenyum profesional dan menjawab.
"Kalau nggak ada lagi yang kita diskusikan, saya permisi dulu, Pak."
Dan setelahnya dia langsung keluar dari ruangan Jun.
Dia sedang memgemasi barangnya, sambil menunggu jam pulang saat salah satu editor yang juga berada di bawah bimbingannya Bu Sabrina, menghampirinya.
"Pst, Pril."
Dia menoleh saat ada yang memanggil namanya. Riana. Teman satu batch nya. Mereka masuk dari seleksi yang sama. Dia mengangkat alisnya, mengisyaratkan pertanyaan tanpa suara ‘ada apa?’
“Lo tadi dipanggi Bu Sabrina. Nggak ikut eval, barusan dipanggil Pak Jun. Lo kenapa, deh?” Tanyanya kepo.
Di kantor ini, April bukan nggak punya teman. Dia akrab sama siapa aja. Hanya sebatas berteman. Nggak sampai cerita - cerita tentang kehidupan pribadi. Nggak tau. April hanya merasa dia perlu membatasi dirinya di sini. Mai Pernah bilang, kehidupan kantoran itu berat. Saling julit, saling jilat, saling injak saling suap. Harus kuat dan nggak gampang ikut sana ikut sini.
Jadi, sebagai adik yang baik yang nurut kata Kakaknya, beginilah cara April mengamalkan nasehat Kakaknya.
“Iya nih, gue akhir akhir ini agak meleng kali ya, kerjaan gue banyak yang salah. Jadi ditegur, deh.” Dia berbohong dengan lancarnya sambil meringis.
Dia nggak mau bilang dulu tentang dia yang ditunjuk sebagai sekertaris Jun pada siapa - siapa dulu. Nggak penting juga. Kan pekerjaan barunya nanti nggak berhubungan sama mereka.
“Tapi lo parah sih, sampai dipanggil uda orang sekaligus.” Tiga woy! Lo nggak tau aja, April menggumam dalam hati.
“Iya hehehehe apes gue.” April cengengesan. Mulai bingung harus menjawab apa.
Dia aslinya memang agak introvert. Atau mungkin bisa dibilang April lebih populer dikalangan teman cowok daripada cewek? Mungkin yang terakhir. Dia bukan tipe orang yang harus dandan sebelum keluar. Touch up setelah makan dan lap keringat. Lagian, apa yang mau di touch up? SMP sampai SMA yang dia punya cuma sun block sama bedak tabur dan lipbalm. Itu juga hasil nabung. Atau hasil hibah dari koleksi Mei.
“Eh tadi dibilang loh, kalo batch kita ada yang mau selesai. Gue nggak mau nakutin sih, Pril. Takutnya itu lo. Gara - gara kerjaan lo nggak beres begini, kan. Tapi semoga nggak, ya.”
Lagi - lagi dia hanya meringis.
“Hehehe… iya. Semoga nggak, ya.”