Gara - gara satu kalimat yang diucapkan tanpa berpikir. Bikin dua orang di rumah yang saling bersisihan itu jadi sulit tidur. April masih menyesali mulutnya yang ceplas ceplos sampai bisa keceplosan parah begitu. Rahasianya. Rahasia yang dia simpan rapat dan dalam untuknya sendiri, malah dengan cerobohnya dia buka untuk orang lain. Dan bukan sembarang orang lain, tapi Juni! Dan Mei!
Walaupun Mei sekarang sudah bersama Didit, dan sepertinya mereka sudah baik - baik saja lagi setelah malam mereka bertengkar di perayaan ulang tahun Mei kemarin dulu, tapi kan… tetap saja, nggak enak. Siapa yang bisa menjamin Jun sudah move on? Memang sih, Jun sering keluar buat kencan. Maksud April, tipe kencan yang… yah, bukan tipe kencan yang jemput mbaknya di rumah, makan di restoran, ke bioskop atau ke toko buku, terus dianter pulang kalau jam sepuluh malam.
Demi Tuhan, nggak yang begitu. Jun udah tiga puluh tahun. Jenis kencannya sudah pasti adalah jenis kencan yang nggak pernah April bayangin sebelumnya. Maklum saja, jomblo dari lahir mana relate.
Meskipun begitu, bisa saja kan, Jun melakukan itu sebagai caranya rebound dari Mei? Kalau memang begitu keadaannya, April bakal merasa bersalah banget karena kalau sampai Jun tau perasaannya, kemungkinan Jun bakal menjauh, atau tetap dekat karena kasihan saja pada April. Dua - duanya, dia nggak suka.
April menampol - nampol kecil mulutnya lagi sambil meringis.
“Jadi laper gue. Harusnya kaum bokek banyakin aja tidur. Biar nggak laper, nggak usah makan. Jadi bisa nabung.” Gerutunya beranjak turun dari ranjangnya dan keluar kamar, berniat menjarah kulkas. “Kosong… Ya iyalah, kan gue belum belanja, gimana sih.” Gerutunya lagi. Lalu dua bergeser ke lemari penyimpanan makanan kering dan mengambil sebungkus mie instan dan masih tersisa beberapa di sana. “Remukin mie aja lah.”
Dia membawa satu bungkus mie goreng mentah dan satu sendok masuk kembali ke dalam kamar.
“Sambil nonton drama.” Katanya mengeluarkan notebook hasil kredit jaman dia masih kuliah dulu. Agak bulik sih, sekarang, apalagi kan keluaran terbaru modelnya bagus - bagus. Tapi jelek begitu, dia yang mengantarkan April wisuda. Dan masih berguna di saat - saat seperti ini sampai sekarang.
Dia membawa notebooknya ke meja pendek di tengah ruangan kamarnya dan menyalakannya. Mengeklik folder film hasil unduhannya pada link - link haram yang lazim disebar para mahasiswa kere tapi butuh hiburan dulu. Lumayan lagi, investasi.
Sebenarnya, dia sudah nonton semua film dan drama yang tersimpan di sana, tapi ngulang kan nggak papa kalau bagus. Dia memilih satu judul yang menurutnya menarik, memutarnya dan menyamankan duduknya sambil menyiapkan camilannya.
Sebentar saja, dia sudah larut dalam alur kisah yang ditontonnya, bahkan setelah camilannya habis. Dan seperti kebanyakan dari penikmat drakor. Janjinya hanya satu episode, taunya satu drama habis nyaris sekali duduk. Benar, April berakhir begadang menonton drama dan nggak tidur sampai subuh.
***
“Astaga, Dek!” Mei berseru kaget saat April keluar dari kamar.
Tersangka bikin kagetnya malah hanya melihatnya dengan mata disipitkan dan wajah penuh tanya. “Hm?”
“Lo begadang sampe jam berapa, sih?!”
“Nggak tidur gue. Sekarang mata gue pedes.” Jawabnya.
Mei mendengus. “Mata gue juga pedes liat bentukan lo. Masuk kamar gue dulu sini! Jangan bikin dunia gonjang - ganjing dengan keluar rumah pas mukanya kaya gitu.”
April mengernyitkan dahinya. “Muka gue kenapa?” Tapi dia menurut juga, mengikuti Mei yang berbalik lagi menuju kamarnya.
“Duduk.” Instruksi Mei. April menurut. "agak rebahan."meskipun bikin bingung, tapi April tetap nurut.
Mei kemudian sibuk di depan meja riasnya mengambil beberapa hal. April yang dibiarkan duduk sendiri kini sudah merem terkantuk - kantuk. Memang bener kata orang tua, jangan begadang. Paginya jadi ngantuk dan nggak bisa maksimal melakukan kewajiban. Ya sekolah ya kerja.
“Bhuset! Apaan ini?!” April berseru kaget saat tau - tau Mei menempeklan sesuatu yang basah dan dingin ke wajahnya tanpa peringatan.
“Ih, tangannya nggak usah gatel. Tahanin dulu. Gue lagi nolongin lo.” Mei menepuk tangan April yang sudah terangkat hendak menyingkirkan apapun yang ditempelkan Mei di sana. “Ngapain coba nggak tidur? Mikirin cowok yang lo bilang cuma temen itu? Atau ada yang lain lagi yang lo pikirin?”
“Ck, dibilang dia bukan cowok gue. Cuma temen kantor doang, kok!”
“Walaupun dia cuma temen, lain kali jangan pergi berdua aja kek semalem. Mana sampe malem banget.”
April dan Mei kompak noleh ke arah pintu pas denger suara ngebas khas cowok tapi bukan suara Papa,
“Juni! Ini kamar cewek tau!”
“Kecuali Mei baru - baru ini operasi kelamin jadi cowo ya iya, dari dulu kamar ini emang kamar cewek.” Jun menjawab tanpa mikir, membuat Mei dengan sebal melemparnya dengan magic balm yang wadahnya segede buah pinus itu.
“Sia*an lo, Bang.”
“Woy, sakit tau! Mana kena dahi. Benjol deh dahi gue!”
Mei meleletkan lidahnya sementara April terkikik. “Ini sampe kapan deh gue kaya gini, Kak?” Dia menunjuk benda entah apa yang tadi ditempelkan Mei ke wajahnya.
“Harusnya lima belas menit, tapi karena waktu kita terbatas, jadiin lima menit aja. Bentar lagi.”
April mengangguk. Memejamkan mata karena sensasi dingin kulit wajah, terutama kelopak matanya yang terasa panas karena nyalang memandangi layar semalaman. Badannya juga rileks. Mei sibuk menyiapkan apapun yang dia butuhkan untuk mungkin di templokkan ke wajah April selanjutnya setelah ini.
Jun? Kalau kalian mengira raksasa itu sudah keluar dari kamar Mei, maka, mohon maaf, jawaban kalian salah. Tentu saja Jun kalau dengan April dan Mei nggak akan mendadak berubah jadi gentleman. Alih - alih keluar dari kamar Mei, dia malah masuk dan duduk di kursi rias Mei. Memperhatikan apa yang akan dilakukan kakak beradik ini layaknya bapak - bapak mengawasi anak perempuannya main make up - make up an.
“Udah lima menit, gue lepas ye. Tetep rebahan aja begitu.”
“Abis ini masih ada lagi emang?” April bertanya gelisah. Dia nggak terlalu suka memakai make up. Make upnya selama ini juga make up formalitas yang terdiri dari bedak tabur dan konco - konconya yang lazim ditemukan di meja rias anak - anak SD atau bahkan SMP jaman sekarang. “Nggak mau gue kalo di make up tebel - tebel.”
Belum - belum April sudah banyak protes, membuat Mei gemas sampai menyentil dahi adiknya. “Diem. Nggak usah banyak protes. Salah sendiri nggak tidur semaleman. Lo ngapain? Pinter banget sih jadi orang.”
“Ngapain sih sampe nggak tidur semaleman?” Jun ikut - ikut bertanya.
Tentu saja April nggak jawab. Masa iya, April mau jawab, gara - gara lo, sih, gue keceplosan. Terus jadinya gue kepikiran. Kan nggak mungkin April bilang begitu. Mereka berdua kayak nggak ada yang ngeh apa yang dia bilang kemarin rasanya April pengen sujud syukur.
April bersyukur karena kali ini dia nggak harus dapat interogasi macam - macam yang bikin kepalanya pusing mencari jawaban dan alasan lain yang masuk akal. Karena lagi - lagi April kan nggak mungkin bilang kalau orang yang dia sukai itu sebenarnya Jun. Memang perasaannya ini bikin susah aja. Mana yang kata orang bilang Cinta bikin bahagia. April cinta loh, sama Jun. Tapi nggak ada bahagia - bahagianya tuh. Malah sering bingung, panik sama diem - diem sakit hati aja adanya.
“Pril.”
“Hmm?” Dia menjawab sekenanya panggilan Jun karena sekarang Mei sedang mengoleskan entah apa ke mukanya. Ini sudah yang ketiga kalinya sejak masker wajahnya dilepas. Entah ini masih harus berapa kali.
“Lo bilang Janu cuma temen kantor lo.”
“Hmm.”
“Dan lo udah punya orang yang lo suka. Siapa?”