Icha's Current POV
"Azra, bentar dulu. Aku mau cerita soal Nisya ini." Suaranya mulai terengah - engah tak menentu.
Mereka baru saja pulang kerja dan makan malam. Dia langsung ke kamar berniat membersihkan kamar sebelum di tiduri malam ini karena pagi tadi nggak sempat.
Dia memang membersihkan kamar tidur malam hari sebelum ditiduri selama Jijah menginap kemarin, karena paginya dia biasanya sibuk di dapur menyiapkan sarapan mereka bertiga sebelum menjalani hari.
Tapi siapa yang menyangka kalau dia akan ditubruk oleh suaminya dan langsung menindihnya di atas ranjang. Tangannya dan mulutnya langsung bekerja melumpuhkan semua sistem gerak Icha.
Tadi saat makan, mereka sempat membahas tentang Nisya sejenak yang mendadak akan menikah bulan depan. Dia kira mereka akan melanjutkan membahas itu dulu karena belum selesai. Tapi sepertinya Azra memiliki hal lain untuk dilakukan di dalam kepalanya.
Dia bukannya nggak mau. Hampir seminggu mereka nggak melakukannya, dan dia juga rindu disentuh dengan intim oleh suaminya. Jadi dia nggak ada pikiran untuk melawan.
Hanya saja... ini Nisya gimanaaa.
Dia melenguh saat Azra berhasil melepaskan atasannya dan berhasil membelai di tempat dimana dia amat ingin disentuh.
"Kita bahas itu nanti. Angkat badannya dikit, aku mau lepasin rok kamu. Iya, gitu. Ohh... i love it!" Badannya bergerak mengikuti arahan Azra. "Itu penting, tapi aku lagi pengen kamu banget, dan saat ini, itu lebih penting. Astaga, Cha... are you ready? You're dripping wet, Sweetheart. Tahan. Cause i don't wanna hold myself anymore!"
Dan dia menjerit keras penuh kepuasan saat Azra benar - benar melakukan apa yang dikatakannya.
*
Mereka bergelung berpelukan di atas ranjang. Icha tau, seharusnya mereka mandi wajib, biar besok nggak harus mandi subuh - subuh, mumpung ini juga belum terlalu malam. Tapi masih nyaman begini.
"Jadi akhirnya Abidzar lamar Nisya?" Azra bertanya. Jarinya bergerak pelan memainkan ujung rambut Icha.
"Iya, tapi bukan karena akhirnya dia menyadari perasaannya ke Nisya."
"Lah? Terus?" Azra agak menjauhkan badannya sedikit agar bisa melihat wajah istrinya. Tapi Icha malah membenamkan wajahnya di cerukan leher Azra. Agak asem sih. Tapi.... nggak tau.. nyaman aja.
"Tau kan Abidzar kalo minta tolong soal Aryan ke Nisya kaya gimana. Nggak itungan waktu. Pernah pas Aryan sakit, dia jemput Nisya jam sebelas malem, dan dipulangin paginya. Jam sebelas malem, Sayang." Dia emosi juga kalau mengingat cerita itu. Bisa - bisanya Abidzar secuek itu sama reputasi Nisya. Cinta yang keterlaluan besar pada seseorang atau sesuatu ternyata bikin orang jadi nggak peduli sama hal lain. Norma kesusilaan misalnya.
"Terus? Nisya dimarahin Emak?"
Pertanyaan wajar dari Azra karena memang Emak Nisya orangnya ketat banget. Kebawa sama almarhum Bapak yang juga tegas luar biasa. Habis Maghrib itu saatnya ngaji. Kalo ketahuan bolos, langsung ambil rotan buat disabetkan ke betis anaknya. Habis ngaji makan malam, lanjut belajar buat sekolah besok.
Makanya, sampai Nisya gede, dia nggak terbiasa keluar malam. Malam adalah waktu untuk di rumah, begitu Bapaknya mengajarkan.
"Emak yang nuntut biar Abidzar nikahin Nisya, karena nggak mau reputasi Nisya semakin jelek di kampung. Pilihannya dua. Berhenti berhubungan yang bikin salah paham atau nikahin Nisya. Nisya awalnya yakin Abidzar bakal milih yang pertama. Karena toh selama ini juga mereka nggak ada mengarah ke sana hubungannya."
"Terus kenapa akhirnya malah gitu?"
Icha menangkap nada kesal suaminya. Akhirnya dia merasakan juga bagaimana kesalnya perasaan Hafid melihat Icha dipermainkan cowok semacam dia.
Geram dan kesal bercampur jadi satu. Rasanya ingin mendatangi oknum tersebut dan menempeleng kepalanya agar dia sadar. Tapi apa daya, dia nggak bisa melakukan apa - apa.
"Ini cuma perkiraanku, Nisya nggak bilang apa - apa soal ini, tapi dia pernah cerita tentang ini sekali dulu sama aku." Icha mendongak melihat wajah suaminya.
Dari bawah begini, garis rahang Azra yang tegas dan hidungnya yang mancung adalah pemandangan luar biasa. Dia tau dari dulu bahwa Azra adalah pria yang punya penampilan luar biasa, dan suaminya itu juga menyadari hal itu.
Kalau dicari bandingannya, nggak kalah lah dia sama Jerry Yan, pemeran Dao Ming Tse di serial Mandarin Meteor Garden itu.
Di masa lalu, dia pasti sudah berbuat baik sampai akhirnya Tuhan memberinya hadian berupa suami tampan dan sempurna seperti Azra. Yah, aside from his pervert mind, Azra amat sempurna untuknya.
"Tentang?"
"Dulu aku pernah cerita tentang Amyra yang datang ke rumah Bapak? Di Jogja? Cari aku?"
"Kok sampe Amyra? Hubungannya?" Azra mengerutkan dahinya bingung. Mereka sedang ngobrolin Nisya, sahabat mereka, dan tau - tau ada Amyra?
"Nisya cerita pas itu. Jadi Nisya cerita kalau Aryan itu attached banget sama dia. Bahkan saking dekatnya, anak itu pernah nangis kejer manggil Mama - mama gitu, padahal dia lagi sama Mamanya. Mama kandungnya." Icha menjelaskan. "Menurutku, Mas Abi sedang manfaatin Nisya karena kedekatannya dengan Aryan. Semacam... babysitter dan konseling gratis?"
"Aku no komen tentang Aryan. Dia masih balita. Nggak bisa ambil keputusan sendiri. Anak segitu, aku paham, pasti dia maunya dekat sama orang - orang yang bikin dia nyaman. Insting, kan. Tapi Abidzar beda kasus. Dia punya tanggung jawab dan punya nalar buat mikir. Kok bisa - bisanya dia trapping Nisa sejauh itu." Azra menggeram marah. "Sebagai laki - laki, aku nggak terima ada yang pakai trik murahan kaya gitu, walaupun dalihnya demi anaknya. Jadi orang tua bukan berarti kita jadi nggak punya hati nurani, kan?! Kampret emang dia!"
"Hush jangan gitu." Icha reflek menegur. Dia nggak suka Azra mengumpat atau berkata kasar. Risih aja dengernya.
"Kamu belain dia?" Azra menggulingkan badannya sehingga posisinya berada di atasnya. Mengurungnya di antara lengan kekarnya.
"Aku nggak belain dia! Ah, jangan di situ!" Pekiknya saat tangan Azra memulai agresi nikmatnya.
"Terus itu apa namanya kalau nggak belain? Hmm? Kenapa nggak boleh di sini?"
Nafasnya tersentak keras. "Ah... hmm? Azra... Aku jadi nggak bisa mikir kalo kamu... ya Ampun! Begitu di sana..Yes! Yes! Oh God...." Sengalnya seiring dengan jari Azra yang menggila di daerah selatan tubuhnya.
"Good. Jangan berpikir. Rasain aja. Open your leg, Baby. Lebaran dikit. Oh yeah. Aku suka banget kalo kamu kaya gitu. Bayangin yang kamu gituin... hmmm... you drive me crazy."
Salah! Yang gila di sini itu dia. Jelas dia. Otaknya seketika tumpul, nggak bisa berpikir kalau Azra melakukan 'itu' padanya. Dia suka. Dia nggak pernah bilang apapun tentang hal ini pada Azra, tapi sepertinya suaminya itu tahu.
Dan yang paling mengherankan, tiap kali Azra menyemangati, atau memujinya dengan kalimat nggak senonoh yang normalnya bisa bikin kuping panas dan siapapun malu sendiri saat mendengarnya, dia malah merasa kenikmatannya terasa dua kali lebih intens dan lebih memuaskan jika Azra mulai berbicara padanya seperti itu
Kan, dia pasti nggak normal! Mana ada cewek baik - baik yang kaya dia?!
"Azra!!" Dia memekik saat dia sampai, hanya dengan jari dan mulut nakal suaminya, dia bisa sampai sehebat ini. Mengetahui hal itu membuat Azra tersenyum di belakang telinganya.
"Lega?" Tanyanya pelan. Suaranya jahil, tapi kilatan matanya sama sekali jauh dari jahil.
"Hmm, tapi aku masih sensitif banget, jangan digodain di sana." Protesnya manja, nafasnya masih tidak beraturan, susul menyusul.
"Aku mau kamu beneran siap. No, no. Jangan tidur dulu. Aku belum. Terima aku dulu, Sayang. Siap?"
Dan selanjutnya, seperti yang terjadi beberapa jam yang lalu di kamar ini, yang terdengar hanyalah geraman Azra dan pekikan tertahan Icha.
Untungnya, kamar utama mereka sudah di design kedap suara. Nggak kebayang rasanya jadi tetangga mereka kalau suaranya tembus ke luar. Semalam bisa lebih dari dua kali terdengar yang begitu. Perks of being a newly married.
Judul: Crossroads
Penname: Veedrya
Tersedia di Dreame/ Innovel