Akhirnya dia semalem menurut pada Jun untuk pulang. Yah, sebenarnya dia memang butuh, sih. Perutnya sakit melilit karena tamu bulanannya datang, dan Bu Sabrina dengan tanpa tenggang rasa malah menyuruhnya mengerjakan ini itu yang seharusnya bisa dia kerjakan minggu depan.
Ini hari sabtu. Mereka tetap masuk, setengah hari sampai jam dua siang. Harusnya hari ini di isi dengan meeting internal per devisi, tapi… di sinilah dia. Di depan Bu Sabrina, nggak ikut meeting sama teman - temannya yang lain.
“Kan sudah saya bilang! Itu deadline. Hari ini saya mau cek. Kenapa belum selesai? Kenapa selesainya siang sekali?! Kamu tau nggak, ini nanti bakal berpengaruh besar sama KPI kamu! Kamu bisa saja kena SP satu hingga tiga kalau kerjamu lalau gini, April! Atau kamu memang sengaja karena kamu mau resign?”
Hah? Resign? Nggak lah! Dia mau nyenengin Papa Mama dulu, bener. Dalam hati dia mengutuk otak dari segala kejadian ini. Tentu saja tak bukan dan tak lain, satu - satunya biang kerok Junaidi Salim.
“Nggak B… Kak… Saya masih pengen kerja di sini, serius. Maaf. Lain kali saya bakal bener - bener…
“Rin?”
“Mas Juned!”
Perhatian Bu Sabrina langsung tersita tanpa sisa begitu Jun memanggil. Rasanya April ingin salto saja. Bu Sabrina juga, jadi cewek kok lenjeh sih, baru dipanggil udah klepek - klepek aja. April jadi nyinyir sendiri, Sebenarnya, dia iri sama Bu Sabrina yang bisa bebas mengekspresikan perasaan suka dan kagumnya pada Jun. Lah dia? Dari dulu… malah berusaha disembunyikan biar nggak kenotis.
“Rin, bisa ikut saya ke ruangan saya?”
“Baik, Mas!” Bu Sabrina sigap langsung berdiri mengikuti Jun ke ruangannya.
“Oh iya, April?”
“Ya, Pak?”
Kok dia juga, sih?!
“Kamu bisa ke ruangan HR sekarang?”
Mampus! Kok mendadak jadi HR? Tadi si Bu Sabrina barusan ngobrol soal SP 1 - 3. Sampai resign dibawa - bawa, dan sekarang mendadak dia harus menghadap HR? Mendadak badannya lemes. Yah, cita - citanya buat bahagiain Mama dan Papa bakal pupus, nih? Kandas cuma sampai sini saja?”
“Baik, Pak. Terimakasih.”
Tapi memangnya, kalau jadi April, apalagi yang bisa dia lakukan selain menurut? Dia masih bisa menangkap senyum sinis Bu Sabrina sebelum dia menghilang di balik pintu mengikuti Jun ke aquariumnya.
Dia melangkah dengan lemas untuk turun ke ruang HR. Nasibnya di akhir minggu begini amat, yak! Nggak ikut meeting mingguan, kena tegur sama Editor In Chef, dan akhirnya…. Harus masuk ruang HR? Mengenaskan sekali. Dan ini tentu saja semuanya gara - gara Jun! Kalau saja semalam dia nggak nurut sama siluman kecoa itu, pasti ini semua nggak akan kejadian!
Tok Tok Tok
Dia mengetuk pintu sebelum membuka pintu dan melongokkan kepalanya ke dalam.
“Permisi Pak, Ano, saya dikasaih tau Pak Jun katanya Bapak manggil saya?”
Pak Ano, pria paruh baya yang masih dipertahankan di percetakan ini karena rumornya beliau ini masih kerabatan sama yang punya, mendongak dari laptopnya. Di sebelahnya ada sempoa dan kalkulator. April mengangkat alisnya sedikit. 2021 ada yang masih pake sempoa?
“Oh, April. Masuk, masuk.” Dia melambaikan tangannya menyuruh April masuk, kemudian melepas kacamatanya.
Pak Ano ini, selain menjadi HR, juga merangkap jadi accounting budget. Yah, meskipun majalahnya beken, tapi praktek di dalamnya ya kebanyakan memang masih KKN begini. Mungkin dulu pas baru banget berdiri, dibikin begini biar bisa save budget. Tapi keterusan.
Dia masuk, lalu duduk di salah satu dari dua kursi di depan meja Pak Ano. Duh, dia ketar ketir beneran. Mau diapain, ya. Jangan - jangan tadi Pak Ano utak utik di depan komputer itu lagi nyiapin SP tiga buat dia… hiks kok sedih sih memikirkannya.
“Ada yang mau saya sampaikan ke kamu.”
Nah ini!
“Jadi perusahaan kita kan sudah mulai meluas. Ada beberapa cabang juga di beberapa kota di Indonesia untuk cari rubiknya. Kantor marketing juga mulai banyak, nah, karena itu, Pak Jun sebagai Pimred sekarang jadi suka mobile ke sana ke mari sibuk banget.”
Oke, kok jadi Jun? Dia dipanggil mau dikasih SP 3 gara - gara Jun mau ke sana ke mari? Tapi mari kita dengarkan saja sampai selesai ini Pak Ano mau ngobrol apa.
“Nah, karena kesibukan itu, perusahaan akhirnya mengabulkan keinginan Pak Jun untuk memiliki sekertaris biar kesibukannya ada yang assist. Nah kami dari jajaran direksi menunjuk tiga orang kandidat sebenarnya, tapi sepertinya yang cocok untuk posisi itu ya, April.
Hah? Kok begini?
“Saya… kurang ngerti, Pak?”
“Jadi ini hari terakhir April jadi editor…”
Kan! April bilang apa!
“Minggu depan, kamu mulai posisi baru kamu sebagai sekertaris Pak Jun, ya.”
Eh?
“Saya? Sekertaris Pak Jun?”
“Betul.”
“Eh… tapi, Pak…”
“Jangan khawatir, tentu saja ada penyesuaian gaji dan insentif untuk jabatan baru kamu nanti. Saya sedang usulkan nominalnya. Saya mengusulkan 60% kenaikan dari gaji kamu saat ini.”
Whoaaa… Yah, yang itu juga tadinya akan jadi masalah. Tapi mendengar nominal kenaikan yang disulkan, masalah langsung selesai. Tapi masih ada satu masalah! Kenapa dia? Untuk Jun?! Dia nggak pengen terlalu dekat sama cowok itu lagi! Dia lagi proses move on!
“Nah, itu saja. Kamu boleh kembali. Makasih, April.”
Tapi kalau dia ngobrol sama Bapak ini, apa… masalah akan selesai? Kan ini ranahnya masalah pribadi, nggak ada hubungannya sama sekali dengan kehidupan profesional mereka.
"Ada lagi yang ingin ditanyakan, April?"
Dia tersentak kaget. Nggak sadar kalau sudah bengong di sana beberapa lama. "Eh nggak. Nggak ada, Pak. Hehehe saya permisi. Selamat siang."
April kembali ke kubikelnya dengan hati bimbang. Ada yang seperti April? Naik jabatan, naik gaji malah terlihat susah dan nggak bersemangat. Nggak ada? Cuma April saja? Ya sudah, biarkan dia meratapi sebentar nasibnya.
Dia melewati ruang aquarium Jun. Tirainya diturunkan kali ini, membuat yang di dalam tak bisa melihat keluar, dan begitu pula sebaliknya. Tapi dia tahu Bu Sabrina masih ada di sana. Karena mejanya yang berada tepat di sebelah ruangan Jun masih kosong.
Cemburu? Boleh? Rasanya April sudah terlalu eneg merasa cemburu pada Jun. Sampai akhirnya perasaan tersayat di hatinya itu sering sekali dia abaikan. Buat apa? Nggak ada yang sadar juga. Mau bilang terus terang sama Jun tentang perasaannya? Dia belum mau ditertawakan dan diceng - cengin seumur hidup oleh Jun.
Bukan, bukan itu sebenarnya alasannya. Dia nggak ingin Jun menjauh darinya. Dia berharap sikap Jun berubah, memperlakukannya dengan tidak terlalu special agar hatinya tak berharap lagi. Tapi dia belum rela berada jauh dari Jun.
Dia sampai di mejanya. Tak ada lagi yang harus dia lakukan hari ini. Tugas baru untuk minggu depan belum turun, atau belum sampai padanya. Jadi dia hanya memandang nyalang pada layar komputer di depannya.
Nantinya setelah jadi sekertaris Jun, dia masih akan menempati meja ini kah?
Dia bekum sempat mengandaikan jawaban untuk pertanyaan tersebut saat pintu ruangan Jun terbuka dan sebentar kemudian Bu Sabrina sudah berada di depannya menatap penuh kemarahan.
"Kamu! Berani - beraninya!"