Pagi yang cerah di hari Rabu. Tapi tidak secerah wajah Denta yang sejak tadi kusut, setelah pak Handoko kepala sekolahnya, mengumumkan agar semua murid dari kelas 11 IPS 1, 11 IPS 5, dan 11 IPA 4, segera merapat ke aula dua, "Pak Handoko, nggak ada kerjaan banget deh. Kelas pakek acara di gabung-gabung segala," gerutu Denta kesal, di sepanjang langkah menuju aula dua.
"Padahal, gue udah seneng banget tadi. Mau nonton drakor di kelas sama anak-anak. Mikirnya bakal jamkos gara-gara pak Rohimat udah pensiun, belum ada guru ganti. Eh, ini malah di gabung kelasnya," kata Denta lagi masih saja dongkol.
"Iya jingan. Mana sama anak IPA lagi. Bayangin aja coba, IPA sama IPS. Udah kayak air sama minyak, nggak bakal nyatu," seru Dira ikut-ikutan gondok.
Gista mendelik, "Lebay banget sih lo, Dir. Tapi saling berdampingan dong, ler. Kayak lo berdua. Jangan lupa cuy, pacar lo berdua ada di IPA," Gista berseru, di samping Ivon.
"Iya dong, harus IPA. Bakteri aja di perhatiin, apalagi gue?" kata Dira sombong.
"Ngomong-ngomong, ini seriusan kita bakal di ajar bu Cici? Guru yang dempulnya tebel itu, kan? Pacarnya pak Ryan?" oceh Denta serius, menyebutkan guru seni budaya kelas IPA, yang hari ini siap menggantikan sementara pak Rohimat yang pension.
"Iya kali, namanya kepepet, belum ada guru ganti," sahut Dira.
"Emang sekolah semiskin itu apa gimana sih, sampai nggak bisa bayarin guru baru?" omel Denta lagi-lagi. Saat tiba di ambang pintu ruang aula dua, Denta dan yang lain, bergegas melangkah cepat mencari tempat duduk, sebelum benar-benar penuh, dengan sangat rusuh.
Semua pasang mata tertuju ke arah empat gadis yang saling sewot berebut bangku. Tak terkecuali Gasta yang duduk menyandar di kursi paling belakang. Apalagi, saat Denta rusuhnya di bangku depan cowok itu.
"Hai pacar!" sapa Denta tersenyum manis. Gasta hanya mengangguk sekali, lalu Denta kembali melengos melihat ke arah depan.
Tak lama berselang, bu Cici memasuki ruangan. Guru muda berkacamata minus itu, mulai menyuruh semua anak-anak membuka bu cetak seni budaya. Menerangkan bab mengenai penjabaran seni musik. Semua murid mendengarkan dengan hikmat.
"Rencananya, untuk pengambilan nilai semester tahun ini, ibu mau buat pentas seni. Temanya saya ambil tari dan musik," ujar bu Cici menjelaskan.
Denta angkat tangan, "Bu, kami yang anak IPS kan bukan anak kelasnya ibu, tetep harus praktek juga, nggak?"
Bu Cici mengangguk, "Ibu akan konfirmasi sama guru baru kalian nanti."
"Bu, pensinya sendiri-sendiri apa kelompok?" tanya Siti.
"Terserah individu masing-masing, ya! Kalau mau berkelompok boleh, maksimal lima orang. Jangan satu kelas. Nanti malah kayak orang tawuran."
"Yes, kita dance aja! Gimana?" usul Denta. Ke tiga temannya langsung mengangguk.
"Sipp!!"
"Permisi!" Suara pintu di ketuk. Seorang guru muda tampan dengan rahang tegas, melangkah santai memasuki aula, bersama pak Handoko di sebelahnya.
"Wah...cute banget!" gumam Denta tanpa sadar, dia terpesona. Dari belakang, Gasta menendang kursi Denta membuat cewek itu menoleh sebal, "Dasar Chili!" kata Gasta.
Dira membuka mulut, dengan mata mengerjap-ngerjap, "Aduh, kaca mata mana, kaca mata? Silau banget mata gue lihat cogan di depan."
"Najis, Dira!" umpat Alex di belakangnya.
Tidak hanya mereka berdua, nyaris semua siswi sibuk menahan nafas mereka. Mata mereka berbinar, menatap terpesona guru muda itu.
"Itu guru baru?" tanya Gista pada siswi IPA yang duduk di sebelahnya.
"Iya, denger-denger namanya pak Afgan. Pernah jadi guru di Cendrawasih.”
"Afgan?" Kepala Nugraha beralih ke bangku depan, "Afgan yang nyanyi—‘pernahkan kau merasa, hatimu hampa? Pernahkah kau merasa hatimu kosong?'" Dia malah bernyanyi pelan. Leo langsung menjambak rambut Nugraha, "Itu Pasha-Ungu gobl*k!"
"Nah, anak-anak semua. Di sini bapak sampaikan, khususnya untuk murid dari jurusan IPS. Bahwasannya hari ini kalian kedatangan guru baru, pindahan dari Cendrawasih.”
"Wah, namanya siapa pak?" pekik Gista antusias.
"Anak-anak Cendrawasih pada b****k semua kali ya. Sampe gurunya nggak tahan, makanya pindah ke sini," oceh Alex, pelan.
Pak Handoko tersenyum, "Untuk waktu dan tempat, saya kembalikan pada beliau!!"
"Selamat pagi!!"
"Pagi pak!!" sahut mereka membeo.
"Gimana kabarnya hari ini?"
"Baik, paaaakkk!!"
"Bohong pak, bohong! Kami laper pak!" seru Nugraha kencang.
"Buruk pak kalau saya, lagi sakit cacingan soalnya." Alex ikut-ikutan.
"Kalau saya bahagia pak. Habis di tembak bosgeng nya sekolah," seru Denta kencang, Gasta jadi mendelik. Apalagi saat semua murid menyoraki keduanya.
"Kabar saya galau pak, baru putus cinta kemarin!" Leo mengangkat tangannya tinggi.
Pak Afgan hanya tersenyum, "Seperti yang kalian tau, pak Rohimat sudah pensiun dan harus di gantikan guru baru, betul tidak?"
"Betul pak!!" Suara Nugraha, Alex dan Alfan paling kencang sendiri. Denta melirik.
"Nah, saya perlu perkenalan nggak nih?"
"Perlu lah, pak. Biar kita makin akrab. Kalau bisa tukeran ID line sama nomor w******p ya pak!" Denta berseru semangat, Gasta sampai reflek mengumpat pelan.
"Saya juga, pak." Gista mengangkat tangan.
Pak Afgan terkekeh, apalagi saat kelas semakin ramai karena sibuk menyoraki Denta, "Oke, perkenalkan ya, nama saya Afgan Dwi Saputra. Umur saya 27 tahun. Saya nantinya akan mengajar pelajaran seni budaya di kelas sebelas IPS."
"Pak, kalau nama saya Denta Kalla Nayyira. Bapak bisa panggil Denta aja. Saya ratunya sekolah pak, heheh.”
Gasta ternganga melihat gadis yang duduk di depannya.
"Pak-pak, saya Agista Lazuardi. Saya anak cheers."
"Cot, nggak ada yang nanya lo padahal," Sandy ngedumel di belakang, membuat Gista menoleh sebal.
"Kalau, nama saya Dira Cantika. Bisa panggil Dira, bisa panggil cantik, kalau mau panggil sayang juga boleh, heheh," Dira ikutan berdiri dengan heboh, sementara Alex langsung menarik pacarnya itu untuk duduk lagi. Leo menertawainya begitu puas.
"Pak, nama saya Marwah Dwi Anggita. Ngomong-ngomong, nama tengah kita sama loh pak, heheh." Tawa Leo seketika luntur, dan mendelik sebal menatap sang mantan pacar yang ternyata centil juga. Walau suara nya lebih kalem.
Alex tak mau kalah seperti anak cewek pun berdiri, "Pak nama saya Atta Halilintar!"
"Asshiiappp!!" Alfan menyelatuk, yang lain jadi mengumpat.
"Saya Sehun Exo, pak!" Leo langsung lantang.
"Apaan Sehun? Gue dong Justin Bieber," kata Sandy.
"Elo najis bieber.” Denta langsung emosi, dan entahlah, Gasta jadi tertawa pelan melihat emosi gadis itu meledak.
"Kenapa Gas? Denta cantik ya?" goda Sandy, langsung di balas tatapan sinis Gasta.
Nugraha melotot sewot, "Apasih Nta, suka-suka gue dong!"
"Hai Najis Bieber! Masa lupa sama mantan? Selena gemes!” kata Gista cengengesan.
"Pak, saya mau nanya!" Dira kembali mengangkat tangan.
"Ya?"
"Ayahnya pak Afgan tukang ojek ya?"
"Hmm?" Guru muda itu kebingungan.
"Soalnya bapak udah membonceng di hati saya." Dira malu-malu, sedang Alex spontan mencekik leher cewek itu dari belakang.
Tawa Denta pecah begitu saja. Gasta nyaris tersedak mendengarnya. Leo juga sama. Pun dengan se-isi ruangan yang kini menyoraki Dira sambil melemparinya dengan kertas.
"Sudah-sudah, harap tenang semua. Sekarang, bapak yang nanya nama kalian ya!" Jari telunjuk pak Afgan mengarah pada bangku pojok belakang, "Eh, kamu yang ganteng di belakang, namanya siapa?"
"Saya pak?" Nugraha menunjuk dirinya, merasa bangga di bilang ganteng.
"Bukan, sebelah kamu." Nugraha jadi mengumpat sebal, saat Gasta lah yang di maksud guru itu.
"Gasta Nismara Alvredo pak," Gasta berseru kalem, Denta sampai berdecih pelan.
Sok kalem banget anjerr. Padahal mah apa, dewa kematian nya Dharma Wijaya.
Gista menutup mata lebay, "Beuhh, silau mata gue memandang, anjir. Bercahaya banget mukanya."
"Aduh, adem banget anjir gue lihat Gasta begini," kata Pitaloka tiba-tiba.
"Subhanallah, nikmat Tuhan mana lagi yang engkau dustakan?" Nur berseru.
"Dia itu kan Gasta bosgeng nya sekolah, pak. Masa nggak tau? Dia kan sering tawuran sama anak sekolah bapak dulu. Cendrawasih," tutur Denta panjang lebar.
"Ngapain di kasih tau?" Gasta jadi sewot, pada Denta.
"Tes-tes, satu-dua-tiga!" Speaker di setiap ruangan, tiba-tiba bersuara. Ruangan jadi sunyi-senyap. Biasanya, setiap speaker menyala, pasti ada pengumuman.
"Bismillah, semoga pulang cepet!" Ivon berseru.
"Di beritahukan, kepada seluruh murid SMA Dharma Wijaya yang saya cintai..."
"Cinta doang, nggak ada bukti mah, percuma pak!" Nugraha menyelatuk.
"Khususnya kelas 10 dan 11 yang mengikuti ekstrakulikuler basket, cheerliders, voly, futsal dan takrow, di harap semua berkumpul di ruang olahraga, setelah jam pulang sekolah. Sekian terimakasih."
***
"Duduk sebelah gue sini, Nta!" Nugraha bangkit dan langsung menarik kursi di sampingnya, mempersilakan Denta yang baru datang dengan Ivon dan Gista, untuk duduk.
"Lah, terus gue duduk dimana dong? Masa cuma Denta yang lo cariin bangku, gue enggak? Pilih kasih banget," Gista langsung jadi dongkol.
"Dah-dah, nggak usah mendrama, berapa sih? Sini duduk sebelah gue aja!" Leo menepuk-nepuk bangku di sampingnya. "Cih, peka juga ternyata." Gista meledek.
Dari pintu masuk kafetaria, sepasang remaja datang sambil berdebat. Sesekali, tangan cewek itu bergerak mencubit perut kekasihnya, "Gue enek ya Lex, sama kelakuan lo yang hobby banget senyum ke cewek lain," protes Dira sambil mendorong bahu Alex sebal.
"Mereka nyapa gue, yang. Gue sebagai manusia yang tau etika, pasti senyumlah," bantah cowok itu, sambil menarik kursi untuk Dira duduk.
Menurut, Dira duduk. Tapi tak lama, cewek itu kembali ngegas, "Ya tapi gue kesel. Lo harusnya hargai gue dong sebagai cewek lo! Apalagi Lisa tadi centil banget. Jijik gue."
"Bau-baunya ada pertikaian rumah tangga nih," kata Nugraha nyaring.
"Awalnya emang cuma nyapa Dir, tapi entar lama-lama tukeran nomor w******p sama id line, di belakang lo," kompor Leo, langsung di tabok oleh Ivon.
"Tuh, kan! Yang di omongin Leo pasti bener, kan?" Dira merajuk, mencak-mencak.
"Enggak yang, nggak gitu." Alex langsung memelototi Leo, yang kini justru nyengir.
"Eh, Dir lihat deh, Dir! Cowok lo di lirik sama geng adek kelas di bangku pojok sana! Kayaknya mau di incer tuh," Nugraha mengompori.
"Wah, nggak bisa di biarin tuh Dir. Labrak aja, Dir! Takutnya si Alex nanti kecantol beneran sama degem imut," sahut Leo menambahi.
"Kenapa ya, gue ngerasanya Leo sama Nugraha kayak punya ikatan batin banget? Kayak yang satu korek, yang satunya bensin," celatuk Denta.
"Gue jadi inget Alka--sepupu gue. Kurang lebih, seneraka mereka berdua mulutnya," Gasta berkata tenang, lantas menegak es teh manis miliknya. Tawa Denta menyembur begitu saja. Lalu sedetik kemudian Denta tersenyum saat ada siswa IPA 1 menyapanya.
"Hai Nta!!" sapa cowok itu saat melewati bangku Denta.
"Eh, iya No!" Denta nyengir, sambil melirik cowok yang sudah duduk itu.
"Siapa?" tanya Gasta.
"Eno, anak olimpiade,” balasnya agak malu-malu.
Gasta mengangkat alis tinggi, "Lo naksir?" tanyanya meremehkan.
Denta mengatupkan bibir sesaat, lalu nyengir kecil, "Enggak kok, siapa yang naksir? Cuma pernah nge fans dulunya. Sebenarnya pengen gue gebet, eh keduluan lo tembak. Kenapa?” tanyanya sok jutek.
"Gue nanya." Gasta mengusap wajah Denta, dengan telapak tangan besarnya.
"Hih, tangan lo kotor. Nanti gue jerawatan," omel cewek itu langsung sok cantik sendiri.
Sandy datang membawa senampan makanan berisi empat mangkuk bakso. Kemudian duduk di kursinya sendiri, yang ada di samping Ivon, "Es teh nya udah gue pesenin. Ambil sono sendiri. Manja bener. Gue keberatan ya bawain pesenan lo pada." Seakan Sandy tau, Leo dan Nugraha sudah hendak protes karena tidak ada minuman.
"Oke, tapi lo bayarin kan?" Nugraha bangkit, membuat Sandy mengumpat.
"Gue mau pesen dulu kalau gitu. Lo nitip apa, Von, Gis?" Denta mulai berdiri.
"Batagor sama es teh ya! Gulanya di banyakin, es nya dikit aja." Gista memberikan selembar uang sepuluh ribu ke arah Denta.
"Samain!" kata Ivon singkat.
"Cih, diabetes mampus lo! Gue tepokin paling rame," celatuk Nugraha.
"Eh, lo berdiri mau ngapa Gas?" tanya Sandy kebingungan.
Gasta menoleh singkat, "Mpok Een masih jual rokok?" Dia menyebutkan nama penjual di kafetaria. "Ya--masih. Tapi lo jangan gila juga, masa mau nyebat di sekolah?"
"Gue nggak sebego Nugraha. Buat entar di rumah," Gasta melenggang pergi, sedang Nugraha mengumpat ingat betul dia pernah kepergok ngerokok di toilet sekolah.
"Teh Een, pesen mie petir level lima satu, batagor dua, sama es teh tiga ya! Oh iya, es teh punya Gista, gulanya di banyakin, es nya dikit aja," Denta menyebutkan pesanannya.
"Bentar ya, neng!"
"Loh Gas, kok ke sini? Bukannya udah di pesenin bakso sama Sandy?" Denta melangkah ringan mendekati Gasta yang hanya berjarak beberapa langkah darinya.
"Beli rokok. Lo udah pesen?" tanya Gasta sambil merogoh dompet dari dalam saku celana bahannya, "Udah, tapi masih di bikinin. Eh--elo mau ngerokok di sekolah? Lo nggak takut ketauan pak Handoko?" Gasta menyentil kening cewek itu keras-keras, "Gue badboy, tapi tau aturan di sekolah juga."
Denta nyengir, "Kirain. Lo suka banget ngerokok ya?"
"Lumayan, tapi bukan pecandu." Gasta melirik penjaga kafetaria, "Berapa?"
"20.000 den!" Gasta langsung menyerahkan selembar uang lima puluh ribuan pada wanita 35 tahun itu.
"Jangan di biasain. Rokok itu nggak sehat, tau. Kalau lo sayang usus, jangan rokok!"
"Paru-paru, bukan usus." Gasta menyahut cepat.
Denta terkekeh, "Oh, udah ganti ya? Ish gue jadi malu."
"Neng, ini pesenannya!" Teh Een memberikan senampan makanan ukuran lumayan besar pada Denta. Gadis itu menerimanya, sedikit kesusahan.
Alis Gasta bertaut, ketika Denta menyodorkan nampan dari tangan ke arahnya, "Apaan?" tanyanya tidak mengerti.
"Tolong dong, bawain! Peka dikit kek jadi cowok. Lagian kita juga satu meja."
Permintaan Denta sontak membuat se-isi kafetaria terbengong. Bahkan interaksi keduanya, sejak tadi sudah di pantau murid lain. Ada yang berdecak iri, ada yang merengek envy menaboki temannya yang lain, ada pula yang langsung sensi.
"Itu tangan amputasi ajalah, nggak guna!" omel Gasta, tetapi tetap membawakan. Denta mengekor di belakang sambil terkekeh.
***