11 | Di Kejar

2129 Words
Dentuman musik di seluruh penjuru kamar, membuat tubuh gadis cantik, 16 tahun itu, meliuk-liuk kesana-kemari dengan sangat lincah. Seperti cacing kepanasan, dia tidak sama sekali bisa diam. Kedua tangannya sibuk mengeringkan rambut panjangnya yang basah dengan handuk putih. Memperhatikan penampilannya di depan cermin, yang hanya di balut kaos oblong warna hitam dan celana pendek warna putih, sedang perutnya terus bergerak mengikuti alunan musik dari boyband terkenal Korea bernama Seventeen. Sesekali lantai kamar bekas telapak kakinya yang basah seusai mandi itupun di jadikan tempat untuk melakukan dance dan moonwalk dari satu sisi ke sisi lainnya, belagak seperti Michael Jackson. Padahal lagunya udah beda. “Geunikka nae maerun neoreul da algo sipeo. Neoreul noraehae u hoo, neoreul norahae u hoo!” Ia memegang bawah pusar, melakukan pergerakan berputar dengan cepat untuk bagian reff dari konser kamar tidurnya, “Ipsuri mallado halmareun—“ Gubrak “KAAAAKKK, telur gue di kulkas pada kemana? Kok nggak ada?” pekikan nyaring Vero sang adik yang tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar, sambil menggebraknya kuat. Denta terlonjak kaget, dan tanpa bisa di kendalikan tubuhnya yang tengah berputar mengikuti irama musik terbentur dinding dengan cukup keras. Ia terhempas, ambruk ke lantai. “Adaw!!” Sial sekali. Bagian depan tubuhnya berciuman dengan dinding dan dirinya kini terbanting ke lantai. Dahinya terasa nyut-nyutan sekali, “Sama coklat batang gue yang gede juga nggak ada. Lo cemilin ya?” tuduh Vero memekik sarkas, tidak sama sekali peduli melihat kakaknya sudah terhempas mengenaskan di lantai. “Apa sih lo Ver? Dateng-dateng gedor. Gue mana tau?” gerutu Denta mencoba untuk bangkit sendiri. “Gue mau nyoba resep kue baru ini, kak. Tapi nggak bisa, gara-gara bahannya kurang. Kemarin baru gue cek, masih ada kok lima telur sama coklat batang gede.” “Kemarin versi lo itu kapan, Ver? Minggu lalu?” tanya Denta gemas. Vero nampak berfikir sebentar, “Ya—kemarin pokoknya. Lo bac*t banget deh, kak. Gue inget, kok. Terus ini gue gimana dong mau masaknya?” Denta mendelik. “Yang bac*t itu elo ya Ver. Eh, lama-lama gue aduin ke bokap ya tingkah lo makin hari, makin nggak waras begini. Lo itu cowok Ver, ngapain sih masak-masak segala?” Semakin dewasa, Denta tidak mengerti dengan pola fikir dan tingkah adiknya ini. Kalau ada resep masakan baru di google, bawaannya greget pengen ikutan bikin. Boro-boro kalau enak, lah ini enggak. Pernah satu hari Denta di paksa mencoba resep martabak telur bikinan Vero. Katanya sih, spesial untuk kakaknya. Iya spesial, saking spesialnya kulit martabak itu tebal dan keras sekali. Oh, jangan lupakan rasa asin dan gosongnya. “Tuh kan bac*t. Lo tuh, tau apa sih? Gue ini pengen jadi koki hebat. Awas ya lo ngadu papa!” ancam Vero, karena papanya memang melarangnya masak. “Iwis yi li ngidi pipi,” nyinyir Denta, membuat Vero gemas untuk tidak menabok lengan kakaknya itu. Cowok itu merogoh uang dari dalam saku celana jeans nya, “Kak, beliin gue telur dong di warung! Sekalian sama coklat batang di minimarket depan komplek.” Denta jadi mendelik di buatnya, “Apa sih, malah merintah. Gue sibuk ya, mau prepare. Besok sekolah gue ada acara,” tutur cewek berambut hitam itu. “Tolongin adek lo dong sekali-kali.” Vero mulai mengomel. “Mager. Berangkat sendiri aja sana!” “Ya gue malu dong. Masa iya cowok keren begini harus pergi ke warung beli telur.” “Seh, sok cakep banget.” “Kembaliannya ambil aja nih. Ridho gue. Katanya pengen ice cream.” Mendengar ice cream, wajah Denta langsung berbinar senang, “Gitu kek dari tadi. Kan, gue seneng.” “Hilih.” Vero nampak memutar bola matanya jengah, sementara Denta sudah berlalu dari hadapannya. “Telor sama coklat aja kan ya? Nggak mau nambah, nih?” teriak Denta sambil menuruni tangga menuju lantai satu. “Tepung sekilo. Yang bermerek ya!” pekik Vero lantang. "Siap adek. Kakak berangkat dulu yaaa!!" *** Denta mengayuh sepedanya dengan peluh keringat sudah mulai menetes di wajah. Cewek itu meruntuk, saat sinar matahari yang begitu menyengat, menusuk kulit putihnya. Sesekali ngedumel sendiri, mengumpati Vero yang di rumah. Denta hampir akan terlempar jauh ke depan gara-gara mengerem mendadak saat hendak melewati polisi tidur. Tapi itu tidak penting lagi sekarang, sebab ada hal yang lebih membuat Denta terkejut bukan main, saat tiba-tiba seorang pemuda jangkung terlihat berlari ke arahnya dengan tergesa dan langsung meraih setang sepedanya, mencengkramnya kuat. “Gasta?” jerit Denta tertahan. Barangkali dia salah mengenali pacarnya sendiri, yang kini wajahnya sudah terdapat beberapa lebam dan darah di sudut bibir kiri cowok itu. “Turun, gue pinjem sepeda!” usirnya tak terbantahkan. “Loh-loh, heh gimana sih?” Denta memekik kebingungan, tidak berniat untuk memberikan sepedanya, “Gue pinjem bentaran doang.” Kepala cowok itu tertoleh ke belakang, barangkali yang mengejarnya semakin dekat. “Enggak bisa, gue masih perlu sepeda ini. Lagian lo minjem buat apaan? Mau lo jual?” oceh Denta, mengingat sepeda yang di bawanya ini memang mahal harganya. Sementara Gasta sudah mengusap wajahnya kasar, “Otak lo yang gue jual," umpatnya. “Bangke, tapi buat apa lo pinjem?” “Gue di keroyok,” katanya langsung sewot. “Di keroyok?” Mata Denta melebar sempurna, “Makanya gue pinjem,” katanya langsung ngegas, dengan tangan siap menggaruk wajah Denta kesal. Denta sampai meringis, “Terus, gue pulangnya gimana?” kata Denta pelan, meski begitu dia tetap turun dari sepedanya, walau dengan perasaan dongkol. Gasta mendesah, “Naik, biar gue bonceng,” titahnya sambil menggerakkan kepalanya. Dan tanpa banyak protes Denta naik di belakang punggung cowok itu, sambil berdiri memegangi pundak lebar Gasta. Jangan lupakan tentang tangan kirinya yang masih menenteng kantong belanjaannya tadi. “WOY JANGAN KABUR LO ANJ*NG!” “What the fu*k?” umpat Gasta saat dari arah berlawanan, sekumpulan pemuda berlari ke arahnya sambil mengangkat tongkat tinggi-tinggi. Tak ingin membuang waktunya, Gasta segera menginjak pedal dan mengayuhnya cepat-cepat. “Pegangan!” titahnya. “Cepet-cepet! Woy, mereka makin deket itu. Lo nggak bisa lebih kenceng apa ngayuhnya?” Bukannya menyahuti ucapan Gasta, justru Denta heboh menoleh ke belakang sambil menepuk-nepuk bahu Gasta kencang sekali. “Nggak usah mukul!!" balasnya ketus, sambil mempercepat laju sepedanya. “Sorry, gue reflek,” Denta meringis karena itu. “Mereka masih ngejar?” “Masih.” “Bangs*t!” "Aduh, mas pacar, lisanmu itu loh,” omel Denta. *** “Lo yakin kita aman kalau ngumpet di sini?” tanya Denta, yang masih meringkuk di samping Gasta. Cewek itu melirik kantong belanjaannya, memastikan telur-telur yang di belinya tidak pecah. Syukur deh, masih aman. Sekarang, keduanya sedang bersembunyi di belakang sebuah mobil yang terparkir sembarangan di dekat sana. Tadinya, Denta sudah sempat mencak-mencak karena Gasta melempar sepeda nya ke sembarang arah. Tapi, saat tau niat cowok itu hanya untuk mengecoh sekumpulan tadi, Denta pun menurut saja saat cowok itu membawanya bersembunyi di sini. “Ssstt!!" Pemuda tampan dengan garis wajah lembut itu menatapnya garang. Demi Tuhan, bahkan cowok di sebelahnya tidak cocok di katakan badboy. Imut syekaleee... “Lo ada bikin masalah apa sih, sampai di kejar kayak tadi?” tanyanya menuntut oenjelasan dari cowok ini. “Nggak tau,” balas Gasta jutek. Denta mendelik begitu saja, “Jelas nggak mungkin sampai lo nggak tau. Lo ada bikin masalah sama mereka?” tanya Denta tanpa sadar jadi mengomel kecil. “Gue emang nggak tau,” balasnya dengan nada tegas. Denta menghela napas panjang, “Sial banget nasib gue hari ini.”Cewek itu mendesah frustasi, “Harusnya tadi itu gue nggak nolongin elo. Jadinya gue nggak ikutan ketiban sial, di kejar sama mereka kayak begini. Nyesel bang—hmpp.” Mata Denta membeliak sempurna, saat tanpa komando tangan Gasta membekap mulutnya rapat-rapat dengan telapak tangan. Dan benar saja, perkumpulan berandal tadi sedang berada di dekat mereka. “Setan, kita ketinggalan jejak. Cepet banget sih larinya,” umpat cowok berkulit gelap. “Gue tadi lihat, mereka berdua lari ke arah sini,” sahut yang lain. Denta kali ini memejamkan matanya rapat, pun dengan Gasta. Keduanya mungkin tidak sadar jika kepala mereka saling menempel dan merapat satu sama lain. “Cari! Gue yakin mereka belum jauh dari sini.” “BOS, MEREKA NGUMPET DI SINI!” Teriakan seseorang sangat dekat, membuat mata kedua remaja itu terbelalak sempurna. Mampus gue anying, mampus. Cangkul mana cangkul? Gue pengen ngubur diri hidup-hidup rasanya. BRAKKK Sebuah tendangan keras tepat dari kaki panjang Gasta mengenai d**a seorang pemuda yang mendekat ke arah persembunyian keduanya, dan langsung membuatnya terlempar ke aspal. Pukulan keras juga mendarat di tengkuk laki-laki satunya lagi pun membuat dia terjungkang sembari mengelus bagian yang dia rasa sakit. Sementara ke tujuh pemuda lainnya nampak melebarkan mata dari kejauhan, melihat dua anggota yang melapor mengetahui persembunyian mereka sudah terjatuh tak berdaya. “Aggghrrr!” Denta menjerit tatkala melihat dua orang itu tumbang menghantam aspal secara hampir bersamaan. “Lari b**o!” komando Gasta sambil menarik lengan Denta. Denta mengangguk padanya untuk kemudian ikut lari bersamanya. Sekali, Denta menolehkan kepalanya untuk memastikan apakah mereka masih mengejar atau tidak...Dan ya, mereka masih mengejar. “GASTA BANGS*T, JANGAN KABUR LO SIALAN!” Gasta semakin menarik lengan Denta kuat-kuat, membuat gadis itu sempat merintih kesakitan karena cengkramannya. Dia kemudian beralih untuk menggenggam tangan Denta dan tetap berlari. Cewek itu rasa, ini lebih baik. Walaupun ya...mereka terpaksa harus bergandengan satu sama lain. Nggak papa dong, wajar! Kan pacaran. “WOY BANGS*T! BERHENTI LO! ATAU GUE ABISIN LO ENTAR!” Pemuda-pemuda berwajah sangar itu semakin dekat, tapi Gasta dan Denta tetap mempercepat lari mereka. Denta terus berfikir, bagaimana jika seandainya keduanya tertangkap oleh mereka. Cewek itu bahkan tidak memperdulikan telur-telur yang sudah berjatuhan, bersamaan dengan tepung, ice cream dan yang lainnya. Yang ada di fikirannya sekarang hanyalah, lari, lari dan lari. Mereka berlari bahkan sudah melewati gapura perumahan. Denta mulai kelelahan. Sesekali dia mengatur nafas, namun tetap berlari memegang tangan Gasta. Sebenarnya agak kesal, mengapa Gasta harus mengajaknya berlari? Bukankah dia sangat jago berkelahi? Kenapa keahliannya tidak dia pakai untuk melawan mereka? “Gas, ngapain ke sini?” tanya Denta kebingungan, saat Gasta menariknya masuk ke sebuah warung kopi depan komplek perumahannya. “Udah kita ngumpet di sini aja! Buruan elaaahh!” Gasta menarik tangannya untuk bersembunyi di bawah kolong meja. Mengajaknya berjongkok untuk menutupi diri mereka. “Den Gasta ngapain?” tanya pemilik warung, yang mengenal baik cowok ini. “Mang, ada yang ngejar kami. Jangan ngasih tau kalau saya di sini!” Pria dewasa itu nampak menganggukkan kepala langsung patuh. Melanjutkan aktivitasnya mencuci gelas. Dalam suasana seperti ini, Denta dan Gasta hanya berjarak beberapa inchi saja. Gasta terus memegangi kepala Denta yang tubuhnya meringkuk takut di depannya. Cewek itu bahkan bisa merasakan degup jantungnya yang kencang, sehabis berlari. “Gas, gue takut. Lo sih--” “Shhh! Diem!” kata Gasta melembut, tidak seperti tadi. Denta mengangguk singkat sebagai balasan. “Eh pak, lihat cowok tinggi putih yang mukanya bonyok, lari ke arah sini nggak?” “Oh, mereka yang tadi den? Iya saya lihat. Mereka lari ke arah sana!” Mang Didin menunjuk ke arah selatan. Jelas dia berbohong, untuk melindungi dua remaja yang kini bersembunyi di dalam warungnya. Setelah memberi arahan salah kaprah itu, gerombolan cowok-cowok tadi langsung pergi menuju arah yang di tunjuk mang Didin. “Den, mereka teh sudah pergi.” Mang Didin mendekati keduanya. Gasta dan Denta kompak bernafas lega. “Makasih ya mang!” ujar Gasta tulus. “Gas!” “Apa?” “Gue haus.” Mang Didin dengan cekatan mengambilkan air putih dalam gelas bening tanpa perintah. Denta dengan semangat empat lima menegaknya sampai habis tak tersisa. Gasta melihat itu, reflek menarik senyum miring. “Makasih yang mang!” “Sama-sama neng!” “Nanggung, nggak sekalian gelasnya lo cemilin?" Denta melotot, tidak tahan untuk tidak menabok bahu cowok ini. “Lo kira gue limbad, makannya beling?” katanya sewot. “Kali.” Gasta mengendih acuh. “Heh!” “Den Gasta nggak mau minum?” “Enggak mang, makasih. Udah aman, saya mau langsung pulang.” Cowok itu bangkit lebih dulu, lalu membantu Denta, “Ayo, gue anterin lo balik.” “Sepeda gue?” Denta berseru, teringat sepedanya. “Sekalian kita ambil,” balasnya. “Mang, kami berdua pamit pulang ya!" Seh, kalem banget sih. Kalau sama gue aja ngegas. Mang Didin tersenyum, lalu mengangguk saat keduanya pamit meninggalkan warung kecil miliknya. Meski kondisi sudah aman, mereka masih harus siaga. Tidak ada jaminan, jika mereka tidak akan kembali ke sini lagi. “Lo akrab banget sama pemilik warung tadi? Gue aja yang tinggal di kawasan ini nggak kenal, tuh,” tanya Denta di sepanjang jalan masuk komplek. “Hmm, gue sama anak-anak sering nongkrong di situ.” “Oh, pantes akrab banget.” Setelah itu hening. Mereka tidak saling berbicara lagi. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD