Bangke, nyampah mulu heran!
Rasanya, mulut Denta hendak anjlok ke lantai, melihat lokernya yang sudah penuh oleh coklat, kado dan bunga mawar. Rasanya dia siap mengumpat, karena saking banyak dan penuhnya, barang-barang itu terjatuh, dan tercecer di lantai, saat Denta membuka loker, hendak mencari seragam ganti. Tadi pagi udah gue masukin tas loh, ini ngapa masih ada lagi, buset dah. Bahkan Denta heran, apa para pengirim coklat dan kado ini tidak menyayangkan uang jajan mereka? Kan, lumayan buat fotocopy tugas atau nongkrong sama temen.
Denta berjongkok dengan wajah bersungut, memunguti coklat-coklat yang berserakan di lantai itu dengan tidak sabaran. Sekali lagi, Denta mendengus sebal. Pinggangnya terasa akan rontok, karna pelajaran olahraga di lapangan. Dan sekarang, dia masih memiliki kesibukan untuk ini. Benar-benar, sial.
"Dapet coklat lagi, Nta?" tanya seorang cewek dari belakang Denta.
Denta mengangguk singkat.
"Cih, berasa ulang tahun tiap hari dong lo?" celoteh gadis itu dengan kekehan.
"Ivon mana?" tanya Denta, sambil menutup lokernya. Tak ketinggalan, di tangannya memeluk seragamnya.
"Di kantin. Gue mau kesana, nyusulin dia. Lo mau ikut gak?"
Denta mengangguk, "Yuk! Tapi anterin gue ke toilet dulu ya. Mau ganti baju. Gerah banget." Dira langsung mengangguk setuju.
***
Keduanya tiba di kantin yang sudah mulai rame. Sedikit celingukan mencari keberadaan Ivon--teman mereka. Tak sampai makan waktu lama, mereka mendengus geli melihat Ivon terlihat rakus sekali menyantap sepiring batagor di depannya.
"Ivon!" panggil Denta, si empu nama jadi tersentak, dan menoleh.
"Eh Nta, sini-sini!" Tangan Ivon melambai pelan.
"Denta doang yang di ajak, gue nya enggak?" Dira mendecak sinis.
"Cih, ngambekan! Lo pada nggak pesen?" tanya Ivon.
Dira mengangguk, "Mau pesen apa Nta? Biar gue aja yang pesenin."
"Gue es Milo aja, deh. Pakek es batu yang banyak ya, abisnya gue haus."
"Duit mana, duit?" Tagih Dira. Denta langsung menyerahkan selembar uang dua puluh ribuan ke arah Dira, "Eh Dira, sama pesenin roti bakar ya! Pakek selai ovomaltine," teriaknya, langsung di acungi jempol oleh Dira.
"Enak Von? Bagi dikit, dong!" Denta membuka mulutnya, dan Ivon langsung memasukkan sesuap batagor ke dalam mulut Denta.
"Lo kok tadi lama? Gue kira nggak ke sini."
"Biasa lah, para penggemar bikin gue repot. Mereka bikin loker gue full sesek."
"Seh, sok ngartis."
"Sorry, gue emang artis. Lo lupa gue ini selebgram? Eh, lo mau coklat, nggak? Ada banyak tadi di loker."
"Bol—“
BRUAKK
Se-isi kantin kompak memekik kaget, mendengar suara benda berdentum dengan sangat nyaring. Pun dengan Denta yang tak kalah terkejutnya. Ivon bahkan sampai tersedak, buru-buru mengambil minum.
"Eh-eh, ada apaan, sih?" Denta langsung bangkit, berlari keluar kantin dengan sangat heboh.
Dan seketika, pupil mata Denta di buat melebar, tak kala melihat Arkan sudah tersungkur ke bawah menubruk tong sampah di dekat sana, sementara Gasta tengah membabi buta cowok itu dengan pukulan.
"BANGS*T!!" umpat Gasta menarik kerah Arkan. Sementara Denta jadi melongo.
"LAWAN LO ITU GUE ANJ*NG! BUKAN LEO," Gasta kembali menyentak.
"Terus?" Arkan menyahut santai. Denta meringis melihat Gasta terlihat semakin murka karena jawaban Arkan barusan. Denta tentu siapa cowok itu. Ayolah, siapa sih yang tidak mengenal Gasta di sekolah ini?
The KING Senior High School. BOSGENG Utama sekolah.
Julukannya saja sudah bikin ngeri. Dia satu-satunya murid yang paling di takuti dan berpengaruh di sekolah ini. Anak donatur terbesar di sekolah, pewaris tunggal keluarga Alvredo. Dia tampan, populer dan begitu di segani di sekolah. Gasta selalu menjadi sorotan dan memiliki tempat terbaik dimanapun dia berada. Teman-teman di kelasnya banyak yang menggilai cowok itu. Inti dari segala inti, dia adalah badboy yang tidak akan puas, jika tidak membuat sekolahnya gempar barang sehari saja. Denta memang mengenalnya, walau tidak akrab. Bahkan setahun ini sejak kejadian di lapangan waktu dia di hukum bersama Gasta, cowok itu tidak pernah menyapanya atau sekedar tersenyum saja—tidak.
"BANGS*T, GUE MATIIN LO!"
"Cih!" Arkan berdecih pelan.
"GUE NGGAK MAIN-MAIN LAGI SEKARANG!" sentaknya murka.
"Udah Gas, udah! Nggak kasihan lo sama Arkan?" Kini Sandy mengambil langkah maju, menarik tangan Gasta agar cowok itu menjauh. Tapi Gasta dengan cepat menepisnya.
"Nggak usah nahan gue, sialan!"
"Gas, lo bisa bunuh dia kalau nggak berhenti sekarang," kata Sandy lagi.
"Justru itu tujuan gue. Dia yang udah bikin Leo sekarat di rumah sakit sekarang."
Arkan meringis, memegang sudut bibirnya yang pecah, "Temen lo banci Gas, beraninya ngadu ke leader," Arkan terbahak sinis, "Lagian dia manja banget. Gue baru mukul dikit, dia udah tepar aja, masuk rumah sakit."
"LO BERANINYA KEROYOKAN BRENGS*K!" Gasta yang murka, kembali menarik kerah seragam Arkan. Membenturkan kepalanya pada wajah Arkan, membuat bunyi krek, di susul cairan kental keluar dari hidungnya.
Patah coy idungnya!!!
"Aghhrr, anj*ng!" Arkan meringis memegangi hidungnya. Gasta terkekeh sinis, memandang Arkan puas sekali.
Semua murid langsung meringis. Ada yang terang-terangan menutup mata mereka dengan tangan. Teman-teman Arkan hanya diam di belakang cowok itu. Sangat percuma jika membantu, Gasta terlalu kalap kali ini. Itu akan sangat beresiko.
"Gas, kontrol emosi lo, dong! Udah cukup!" Alex kali ini bersuara.
"Mending kita balik, sebelum ketauan sama guru." Sandy menambahi.
"Udahlah, biarin aja. Ngapain di tahan-tahan? Mampusin aja deh Gas, kalau gue boleh saran," Kompor Nugraha, langsung di tatap garang oleh semua orang. Bukannya ciut, Nugraha malah memelototi mereka satu-satu.
Gasta kembali melirik Arkan, cowok itu meludah di samping badan Arkan yang sudah terkulai lemas, "Lo emang nggak ada kapoknya Ar, berurusan sama gue."
Arkan terkekeh, "Ya nggak, lah. Gue justru seneng, dan begitu menikmati pukulan lo,” katanya menyeringai tengil.
"Lo tinggal di kutub mana—“
"Eh, pada berisik banget kenapa, sih?! Bikin tenang sekolah sehari kenapa, sih? Kalau mau ribut ya jangan di sini! Ini kantin, tempatnya orang makan,” katanya sewot.
Gasta yang baru berniat meraih kembali kerah seragam Arkan, jadi terhenti saat sebuah intrupsi terdengar dari mulut siswi. Alis cowok itu terangkat sebelah, menoleh pada gadis berkuncir ekor kuda. Sedetik, Gasta di buat terkejut, saat tau siapa gadis itu. Lalu, senyum miring terpatri di wajah tampannya. Ahh, Denta.
Cowok itu menyeringai iblis. Denta mengangkat alis, kebingungan. Sebelum akhirnya, cewek itu di buat terkejut, saat Gasta mengambil langkah mendekat ke arahnya.
"Eh, mau ngapain?"
Gasta merunduk, memandangi gadis cantik yang memiliki ukuran tinggi lebih pendek darinya itu, tanpa fikir panjang, dia langsung mendekatkan wajah keduanya. Mata Denta di buat melebar seperkian detik. Wajahnya langsung panas seketika. Cewek itu menahan nafas gugup, sebelum akhirnya mengambil ancang-ancang untuk mundur, cari aman. Dia merasa tidak nyaman berada di posisi sedekat ini dengan Gasta. Baru akan berniat, Gasta yang sadar langsung menahan pinggang gadis itu dengan tangannya. Denta langsung terkesiap.
"A-apa sih?" tanya Denta menepis tangan Gasta.
"Elo siapa berani ikut campur urusan gue?” tanya Gasta dingin tanpa basa-basi.
Denta agak menarik dirinya mundur dengan gugup, “Gue? Siswi di sekolah ini juga. Yang ngerasa terganggu sama keributan kalian.”
Gasta terkekeh sinis mendengar penuturannya, "Terus yang enak di lihat versi lo itu gimana?" Hembusan nafas segar berbau mint menyeruak ke indra penciuman Denta. Cewek itu mendongak menatap manik-manik mata Gasta. Denta sedikit tercengang melihat wajah Gasta sedekat ini.
Eh, kok makin ganteng aja, ya? Bening amat nih cowok. Skincare-nya apaan, ya?
"Apanya?"
Denta terlihat melebarkan mata, saat Gasta berjalan lebih dekat ke arahnya. Denta langsung mundur satu langkah, dengan tangan terulur ke depan, menghalau badan cowok itu, "E-eh, lo jangan—“
“Hay Nta. Lo cantik,” bisik Gasta.
CUP!
“YANG LAIN NGONTRAK!” kelakar Nugraha saat Gasta tiba-tiba mengecup pipi Denta, membuat tubuh cewek itu menegang kaku di tempat.
Berikutnya, Denta dengan kesal menendang kaki Gasta membuatnya mengaduh kesakitan.
“Nggak usah berani lo ya!” kata Denta galak sambil menggebuki badan Gasta yang memekik.
***
“ALEX!!” Cowok bermata bulat itu menoleh kaget saat asik bermain bola basket bersama Gasta dan temannya yang lain di lapangan outdoor sekolah. Ia mengeryit, kemudian mendecak dan melengos begitu saja.
“ALEX KU!!” teriak Dira kembali, kali ini cewek itu lompat-lompat di tempat.
“Lex,di panggil gebetan lo, noh! Gih samperin, nimbang bikin ribut lapangan begitu.” Nugraha menunjuk Dira yang berdiri di dekat lapangan.
“Bodo amat. Gue masih ngambek sama dia,” sahut Alex sambil berlari menyusul Gasta yang sedang menggiring bola sekarang.
“Dih, ngapa? Tumben-tumbenan. Biasanya selalu mesra tiap waktu dan suasana.” Nugraha ikut menyusul.
“Nu, lo kenal Eno anak IPA 1? Wakil OSIS temennya Sandy,” Alex bertanya.
“Kagak kenal lah. Cupu begitu. Temen gue di sekolah mah, cuma yang sangar-sangar. Gue Cuma tau anaknya, ngapa?”
“Kenapa sih, gue sering banget lihat si Dira histeris tiap lihat tuh anak. Muka kayak kadal aja di idola in,” runtuk Alex kesal. Tapi dia tidak memperdulikan Dira dan kembali melanjutkan berlari mengejar lawan untuk bermain.
“Loh anjir, cupu-cupu gitu, Eno ganteng sat!” Nugraha membela, Alex semakin kesal.
"Lo temen gue bukan sih, nyet?" umpat Alex.
“Fan, oper ke gue bolanya!” teriak Gasta pada Alfan—teman satu tim nya kali ini, membuat Alfan mengangguk faham dan segera mengoper bola di tangannya pada Gasta.
Dira yang masih berdiri di pinggir lapangan jadi mengumpat.
“WOY, PANDA!! LO SENGAJA BUDEG YA?”
“Cih, panda-bunda!” Gasta mencibir, saat dia mendengar Dira memanggil Alex dari pinggir lapangan dengan sebutan itu. Tapi tetap melanjutkan berlari menggiring bola. Alex mengumpat kasar. Langsung berhenti dan menoleh sebal pada Dira yang kini tengah di hampiri oleh Denta.
“Apaan? Nggak usah ganggu gue!” balas Alex judes, membuat mulut Dira menganga.
“WOY, LO MAH KALAU NGAMBEK SAMA GUE, YA NGAMBEK AJA. TAPI NGGAK USAH KAYAK CABE JUGA KALE!” Dira berteriak langsung sewot, membuat Denta di sebelahnya terbahak pelan.
“Wah, pantes. Bau-bau nya ada pertengkaran rumah tangga bung,” Alfan berseru penuh meledek, membuat yang lain tertawa.
“Apasih, bac*t!” Alex tidak memperdulikan, dan kembali bermain.
Dira menggerutu kesal di pinggir lapangan. Dia lantas mendengus keras. Menoleh pada teman di sampingnya, “Nta, panggilin dong anjir! Gue mau minjem duit ke dia, buat bayar kas. Nunggak sebulan gue," katanya, "Sialan emang si Nur, baru ngasih tau pas udah double begini. Mana duit jajan gue abis.”
Cewek cantik itu mencibir. Ia lantas menipiskan bibir sejenak, “ALEX BIN ABDUL HAMID!!” teriak Denta nafsu sekali. Alex berhenti lagi, menoleh seutuhnya. Kali ini bukan hanya Alex, tapi cowok-cowok yang bermain basket mendadak berhenti dengan kompak juga ikut menolehkan kepala mendengar suara gadis yang lebih cempreng dari sebelumnya. Mereka memandang ke arah pinggir lapangan, melebarkan mata kompak melihat si primadona berdiri di sebelah Dira.
“APA DENTAKU??” balas Alex dari tempatnya berdiri. Dira sampai mendecih dengan kesal. Syukur cowok itu tidak di sini. Bisa botak abis kepalanya, karena dia jambak.
Masih selamat lo ya, buat hari ini. Batin Dira memaki gebetannya itu.
“Sini dong! Dira ada perlu katanya,” kata Denta, masih tidak sadar anak-anak basket yang lain tengah memandanginya sekarang.
“Males ah, bilangin sama temen lo, ngapain nyari gue, kalau masih hobby menelin cowok lain,” sahut Alex malas, Dira jadi melotot.
“Siapa yang hobby menel? Elo tuh yang buaya Ciliwung. Demen banget caper ke adek kelas,” sahut Dira sengit.
“Nugraha itu, bukan gue,” Alex menyahut langsung sewot. Nugraha jadi medelik sebal mendengarnya, "Apasih kok bawa-bawa gue?" protesnya.
"Lex, lo ke sini dong!" seru Denta lagi.
"Ogah." Denta jadi kesal, lalu melirik Nugraha.
"NUNU!!" teriak Denta bermaksud pada Nugraha.
“Iya Adinda, ada apa?" seru Nugraha lantang dan langsung riang.
"Sandy mana? Dia di kelas?"
"Iya kayaknya, sibuk bikin proposal OSIS," serunya.
“Oke deh, thanks!" Denta menyelatuk kali ini. Lalu menolehkan kepala pada Dira, “Dah yok Dir, mending kita balik ke kelas. Entar gue kasih pinjem duit gue, buat bayar kas lo. Tapi bantuin gue jualin coklat-coklat di loker. Lumayan anjer, dapet duit. Coklat kan mahal.”
“Boleh-boleh!” sahut Dira jadi riang, lalu mengumpat saat melihat Alex. Fu*k You—adalah gerakan bibir Dira dengan jelas. Dan sialnya, Alex jadi geli melihatnya.
Saat kedua cewek itu sudah agak jauh, dia kembali melirik teman-temannya yang di lapangan. Mereka nampak melongo. Alex menepuk-nepuk kedua tangan dengan gerakan memanggil burung membuat para temannya mengerjap tersadar dan menoleh.
“Weh, lo pada kenapa lihatin Dira segitunya? Udah punya gue, yee.” Alex jadi mendelik, kemudian berlari kecil melanjutkan permainan. Beberapa temannya mengumpat, tapi secara reflek segera mengikuti Alex kembali ke permainan.
“Yang sebelah cewek lo tadi, itu Denta kan?” tanya Alfan tiba-tiba.
“Lah iya, yang primadona sekolah itu kan, Fan? Gue sering denger anak- anak kelas gue ngomongin dia. Beh, emang beneran cantik ya?” sahut Zelo tanpa dosa.
“Gue baru inget, kalau cewek lo se-geng sama primadona sekolah,” sahut yang lain.
Alex nampak jengah, “Udah dari lama kali. Kenapa?” Heran saat melihat teman-temannya saling tatap satu sama lain.
“Lex, minta in nomor Denta ke Dira dong! Denta jomblo, kan?” celatuk Zelo, membuat Gasta ikutan melihat sekarang.
“Lah, apasih Zel. Gue duluan yang nanyain tadi, anj*r,” umpat Alfan.
“WOY SETAN, INCERANNYA GASTA ITU SAT!” Nugraha langsung heboh, menunjuk-nunjuk Gasta yang nampak mendrible bola.
“Yang tadi pagi lo cium di kantin, itu Denta Gas?” Zelo langsung melongo, sedang Gasta melengos tidak peduli.
“Mantep anjer!! Seru kali ya, kalau ratu sekolah sama raja sekolah di satuin?” Alfan terkekeh.
***